Jumat, 23 Oktober 2009

Sawah-sawah


“Sawahku sayang sawahku malang,” gumam ayah di suatu sore sembari menghela napas pendek dari pinggir jendela rumah tua nenek.
Gumaman itu sepertinya mirip dengan sebuah judul sinetron bertahun-tahun lalu yang pernah ku tonton sewaktu masih di sekolah dasar. Mata ayah menatap nanar pada pemandangan di sekitarnya yang kini telah banyak berubah semenjak kami pindah ke kota lain yang berjarak duapuluh kilometer dari sini lebih dari dua puluh tahun lalu. Rumah panggung tua dari kayu ulin peninggalan nenek letaknya tepat menghadap persawahan di pinggir sebuah jalan kampung. Kira-kira delapanratus meter dari jalan raya utama kota kecil penghasil beras ini. Pemandangan kurang alami bangunan-bangunan pabrik dan gudang-gudang raksasa telah mengambil tempat yang seluas-luasnya di sepanjang jalan utama kota, merampas dengan paksa tanah-tanah persawahan, tempat di mana lumbung-lumbung padi rakyat dulu pernah berjaya pada eranya. Mereka mengalahkan rumah-rumah panggung rakyat yang paling besar sekalipun yang ada disini. Bibir ayah bergetar menyaksikan mirisnya lanscape persawahan yang semakin berkurang.
Ayah adalah seorang pegawai negeri sipil biasa pada Dinas Perkebunan berstatus tiga A di kota kecil tempat kami bermukim sekarang. Satu tahun lagi ia sudah akan pensiun, namun kantung matanya seperti masih menyimpan sebuah pengharapan besar dari bidang pekerjaan yang ia geluti. Akhir-akhir ini ayah jarang berada di rumah. Sepulang dari kantor, ia akan mengambil kail pancing, topi, dan keranjang bambunya lalu pergi memancing sampai sore tiba. Dua puluh tahun lebih sudah lamanya kami tinggal di kota ini. Ku kira, kami semua merasa senang berada di sini, tapi aku salah. Tampak jelas bagi ayah bahwa ia merasa belum menemukan ketenangan yang sejati dari hidupnya.
Akhir-akhir ini ayah selalu bilang bahwa ia ingin hidup tenang, jauh dari kebisingan dan sesaknya rumah-rumah tetangga. Punya sebuah rumah di desa dan mengawali karir baru sebagai seorang petani. Kalau sudah begini, ibu akan menggerundel sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar ungkapan cita-cita suami terkasihnya.
“Ayah ini, kok pikirannya tinggal di desa terus! Lama-lama nanti jadi ndeso loh,” komentar ibu suatu hari menirukan satu istilah umum yang jadi populer karena Tukul sering menyebutkannya di sebuah acara bincang-bincang malam ringan bobot, meskipun aku sangsi apakah ibu benar-benar paham dengan istilah yang telah diucapkannya.
Rasanya kata-kata “ndeso” terdengar seperti istilah marginalisasi bagi kaum kecil. Sepintas nampak bagai candaan, namun ayah punya pendapat lain dengan istilah “ndeso”. Hal itu diungkapkan ayah saat kakak yang sedang bercanda denganku sambil mengatai aku ndeso terkena tegur. Sontak ini membuat beliau geram lalu berkata.
“’Ndeso’ itu gak sopan buat diucapkan, meskipun cuma buat bercanda. Sama seperti mengucapkan kata ‘negro’ bagi kaum keturunan Afro-Amerika karena mengandung konotasi yang kurang baik. Kata ‘N’ itu cuma diucapkan oleh orang-orang pada zaman perbudakan dan kaum anti ras. Bagusnya N buat ndeso di Indonesia juga begitu.”
Mungkin ayah berpendapat bahwa “ndeso” yang mengacu pada sifat-sifat yang oleh orang-orang pengaku aliran moderen sebagai kampungan ini umumnya adalah kaum petani yang tinggal di pedesaan. Maklumlah kalau ayah sedikit agak konservatif. Itu dikarenakan beliau yang sangat menjunjung tinggi kata-kata Bung Karno bahwa “Petani adalah sokogurunya bangsa”. Kata-kata ayah ini rupanya benar-benar melekat pada anak-anaknya.
Menurut ayah siapa bilang orang yang sikapnya kekota-kotaan lebih baik dari mereka yang kedesa-desaan. Sungguh, orang yang pola pikirnya terbatas seperti ini kemungkinan kurang pengetahuan tentang geografi atau melewatkan pelajaran ini dengan tertidur atau mengobrol saat mereka bersekolah karena kota sebenarnya berkembang dari sebuah desa.
Maka kami berdua menjadi terkesima dengan penjelasan panjang lebar ayah. Wajah ayah memang tidak merah padam dan intonasinya tidak tinggi sama sekali, tapi tekanan yang terpancar pada ketegasan mimik wajah beliau cukup untuk membuat kami merasa malu pada diri sendiri. Sejak dari itu, kami berjanji tidak akan pernah menggunakannya lagi meski hanya untuk sekedar bercanda kepada siapapun. Namun sungguh tidak disangka, malah terlontar dari mulut ibu.
Dan ayah cuma mengerucutkan bibir sedikit mendengar komentar miris ibu tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk menyahut. Kasihan ayah. Ia terduduk penuh keprihatinan di ruang tengah sambil menyaksikan berita sore di televisi mengenai panen tidak memuaskan di beberapa daerah. Menyeruput teh panasnya setelah mengucapkan bismillah dan kata alhamdulillah penuh makna sesudah menyelesaikan tegukan pertamanya. Wajah beliau tampak berat meyaksikan nasib-nasib petani yang kebanyakan kurang beruntung di negeri agrikulture ini. Harus ku katakan bahwa sedikit banyak ayah merasa kecewa dengan bagaimana tata cara pertanian dan perkebunan ditangani.
Seringkali usaha penghidupan rakyat kecil ini harus terbentur dengan kepentingan segelintir orang. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pesat dengan masuknya modal asing, maka sektor pertanian dan perkebunan rakyat ikut tersingkir dengan pesat pula. Di mana-mana bisnis-bisnis perkebunan dan pertanian dibuka di atas lahan-lahan negara yang dibeli oleh para pengusaha. Umumnya usaha semacam ini memang memberi rakyat lahan pekerjaan namun tidak memberdayakan kehidupan mereka lebih jauh. Rakyat dijadikan kumbang pekerja tanpa diberi kesempatan lebih luas untuk mengolah lahan mereka sendiri. Padahal dengan melakukan yang sebaliknya maka dapat memajukan ekonomi lewat sektor pertanian rakyat yang mandiri dari campur tangan modal asing maupun kepentingan pengusaha besar yang kurang berpihak pada mereka.
Di akhir pekan, seminggu kemudian kami berkunjung lagi ke rumah nenek. Tapi kali ini hanya aku berdua dengan ayah. Ayah menunjukkan padaku dengan tangannya beberapa bangunan pabrik dan gudang sepanjang berkilo-kilo meter jauhnya. Bangunan-bangunan itu nampak bagai kotak-kotak kardus yang berjajar bila dilihat dari jendela rumah nenek yang kecil.
“Kamu lihat itu! Masih ingat tidak, dulunya semuanya adalah areal persawahan yang luas. Tapi kini jumlahnya sudah menurun tajam digantikan dengan pemandangan simbol-simbol industrialisme. Kadang kita memang tidak punya pilihan, tapi sebenarnya kita pasti bisa membuat pilihan yang memberi dampak paling minim terhadap lingkungan dan kepentingan masyarakat luas.”
Nada suara ayah nampak sedih, semakin ke ujung kalimat nadanya semakin rendah. Dan hembusan napas pelan yang panjang menjadi sentuhan terakhirnya. Di kota tempat kami tinggal sebenarnya ada sebuah daerah kurang produktif yang bisa di peruntukkan bagi banyak pabrik-pabrik maupun industri dapat bercokol dengan kokoh tanpa harus mengorbankan satus kota kecil ini sebagai penghasil beras terbesar menurunkan jumlah produksinya. Namun rupanya, begitu banyak kepentingan yang bermain di sini. Masing-masing daerah mencoba sekuat-kuatnya bersaing dalam menarik kalangan pengusaha untuk berdomisili di tempat mereka dengan mengorbankan apa saja. Lumbung padi, lahan gambut penyimpan kelebihan air, hutan, atau apapun namanya. Kita semua seringkali melalaikan komitmen-komitmen kita terhadap alam dan kepentingan manusia. Dan segelintir manusia seringnya hanya berkompromi terhadap kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompoknya sendiri saja.
Memang, seringkali idealisme kita tidak selalu sama dengan idealisme dan kepentingan orang lain. Hampir selama satu tahun terakhir ini, ayah berjuang untuk mempertahankan lahan persawahan seluas empat hektar warisan keluarga agar tidak di jual kepada sebuah perusahaan alat berat oleh adiknya sendiri. Dan bagian dari empat hektar lahan tersebut terletak di pinggir jalanan kota di mana ramai dengan hutan-hutan beton gaya baru kurang ramah lahan gambut. Gedung-gedung itu otomatis mengurangi jumlah areal untuk pertanian dan tampungan air karena dibangun diatas sawah-sawah yang diuruk tanah dengan kejamnya.
Ayah kecewa terhadap adik satu-satunya. Sangkaan kurang mengenakkan yang terlontar dari bibir pamanku benar-benar melumpuhkan pertahanan terakhir ayah. Asumsi paman adalah bahwa ayah berambisi menguasai harta peninggalan keluarga untuk dirinya sendiri. Adiknya itu sungguhnya tahu bahwa apa yang dikatakannya tidaklah benar, tapi, keinginan paman untuk mendapatkan modal berdagang intan lebih besar dari rasa sayangnya terhadap sawah-sawah itu.
“Sebenarnya tidak ada ruginya menjual tanah itu. Kita mendapatkan penawaran yang pantas, harga tanah di sini sedang naik sekali,” kata paman suatu sore di sela-sela obrolan sore mereka.
“Tidak perlu khawatir, uang itu nanti dibagi dua secara adil. Kakak masih bisa membeli sawah lain kalau mau”, ujar paman lagi dengan senyum puas setelah menerima kelengkapan surat-surat-surat tanah yang masih atas nama kakek di tangannya.
Sudah tujuh bulan berlalu semenjak kejadian sore itu. Sawah-sawah tempat dimana ayah sering berlarian di atas pematang bersama adiknya semasa kecil telah terjual. Tempat itu adalah harta berharga bagi ayahku yang menjadi simbol kebahagiaan masa lalunya. Sawah itulah yang menjadi tumpuan biaya sekolah ayah hingga ke universitas.
Ayah sering bercerita padaku kalau ia sering membantu kakek dan nenek di sawah sewaktu kecil, juga bagaimana ia mengisi waktu libur panjang semesternya dengan pulang kampung dan bertani. Aku juga percaya saat ayah bilang bahwa ia masih ingat bagaimana segarnya rasa buah blewah yang ditanam di pinggiran pematang sawahnya. Sebesar apapun harganya, petak-petak sawah itu takkan tergantikan. Namun, mempertahankan hubungan baik dengan adiknyalah yang paling penting sekarang yang mengalahkan idealisme hijau ayah.
Ayah menggunakan uang bagiannya untuk merenovasi rumah peninggalan kakek dan nenek, karena hanya tempat inilah yang tersisa sekarang dari masa kanak-kanaknya. Sisanya ditabung dan digunakan untuk membeli dua hektar lahan kebun tanaman keras yang terletak jauh di luar kota dimana ayah meletakkan impian sederhananya untuk berkebun.
Kisah terakhir memang sungguh miris. Tak lama setelah penjualan dilakukan, paman yang empat puluh delapan tahun kini terbaring lemah tak berdaya setelah mengalami stroke dan komplikasi jantung akibat menjadi perokok berat selama hampir tiga puluh tahun. Bayangkan saja, paman sudah mulai menghisap tembakau semenjak beliau duduk di bangku sekolah menengah secara diam-diam. Setelah stroke ia harus dengan terpaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan pada sebuah perusahaan swasta. Uang keuntungan hasil menjual sawah sudah banyak habis untuk biaya operasi karena salah satu pembuluh darahnya yang pecah. Istri beliau yang tidak bekerja sama tak berdayanya. Kini yang harus keluarga mereka lakukan hanyalah berusaha menghemat uang yang tersisa karena tak ada lagi yang bekerja sementara putra tertua paman hanyalah berstatus seorang mahasiswa semester lima. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hanya peribahasa inilah yang kelihatannya sesuai untuk menggambarkan kondisi paman sekarang. Keluargaku sungguh prihatin dengan musibah yang menimpa keluarga paman.
Ibu adalah orang yang sangat prihatin terhadap ayah. Bagaimanapun juga, ibu sekaligus orang yang paling tahu apa yang begitu diinginkan suaminya di dunia. Ayah kehilangan dua hal dalam waktu yang hampir dekat. Sawah-sawah penuh kenangan dan sekaligus senyum indah dari teman bermain semasa kecilnya yang sering beliau gendong di belakang punggung yakni adiknya. Namun aku yakin, sungguhnya ayah adalah sosok yang kuat dan bijaksana. Akhir-akhir ini aku sering melihat ayah sibuk berada di depan laptop berlabel green monitor ramah lingkungan. Sepertinya beliau sedang sibuk membuat tulisan-tulisan di antara waktu luang setelah pulang kantor dan mengunjungi paman tiga hari sekali. Memancing tak lagi menjadi rutinitas harian. Ayah kini mulai menuangkan pandangan-pandangan beliau mengenai dunia agrikulture dalam bentuk artikel dan kerut yang menghiasi pipi ayah dalam beberapa bulan terakhir telah jauh berkurang. Nampaknya beliau telah menemukan kembali bagian dari jiwanya yang pernah tenggelam.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar