Jumat, 23 Oktober 2009

EGO

Stang sepeda motorku terasa tidak nyaman dan cenderung mengarah ke sebelah kiri. Kedua tanganku harus sekuat tenaga mempertahankan agar posisinya tetap berada di tengah tapi itu malah membuatku sakit dan tersiksa dari punggung atas hingga pinggang bawah. Sedikit demi sedikit aku merasa kram pada bagian pinggang padahal jarak yang ku tempuh masih duapuluh lima kilometer lagi untuk sampai ke kos baru Arifa. Rasa sakit di pinggangku sudah hampir tidak tertahankan begitu juga dengan hatiku sekarang yang hampir meledak bahagia. Aku sering rela menempuh perjalanan sejauh empatpuluh kilometer hanya untuk curhat. Arifa tahu segala hal tentang diriku dan kehidupanku. Ia sahabat terbaik tempat berbagi segalanya dalam kata “ terima kasih, aku sayang kamu, semuanya akan baik-baik saja, kau harus bersemangat, berjuanglah, dan maaf aku bad mood kemarin ”.
Sudah hampir lima tahun ibu meninggal karena kanker hati yang dideritanya, baru hampir lima tahun pula aku berprofesi sebagai mahasiswa merangkap jadi anak, kakak, sekaligus adik rumah tangga atau apapun istilahnya. Ia telah mengambil apa yang menjadi milikNya, yaitu harta kami yang paling berharga, perhiasan rumah kami yang tiada duanya, seorang ibu yang telah ia pinjamkan padaku dan keluargaku. Kehilangan ibu meninggalkan jejak trauma yang mendalam di hati semua orang. Bukan hanya karena ketiadaan dirinya lagi di rumah tapi juga alasan kematiannya akibat kanker tak terdeteksi yang ia derita. Perasaan shock juga bersalah menggelayuti hati masing-masing dari kami akan kehilangan dia yang begitu cepat. Kadang aku bertanya pada Tuhan kenapa ia harus pergi karena kanker. Memikirkan hal ini seringkali membuatku menghela napas yang teramat panjang demi membayangkan rasa sakit yang harus ia tanggung di hari-hari itu kemudian ini membuat kepalaku berdenyut-denyut.
Sejak ibu meninggal otomatis segala hal yang berhubungan dengan rumah dan tetek-bengeknya jatuh padaku dan kakak perempuanku. Namun ia telah menikah setengah tahun lalu dan kini tinggal dengan suaminya. Beberapa bulan sebelum ia menikah ia tak jadi seseorang yang ku harap bisa membantu di rumah karena ia sibuk dengan tetek-bengek pra nikah. Seringkali ia mengeluh tentang orang-orang rumah yang tidak membantunya sama sekali. Ia merasa memikirkan segala hal sendiri padahal apa yang tidak aku dan orang rumah lakukan untuknya. Tidak tahu apakah ia terlalu tertekan dengan urusan pernikahan ataukah terlampau bersemangat dengan semuanya. Kakak perempuanku beranggapan bahwa sedari itu aku harus mulai bertanggung jawab sendiri atas segalanya. Bolehkah jika ku bilang aku belum siap?
Tradisi-tradisi ritual sebelum pernikahan menyita tenaga dan perhatianku di rumah. Hari dimana kakakku mengadakan acara lamaran adalah dua hari sebelum aku sidang skripsi, dan seluruh konsentrasiku menguap akibat hiruk-pikuknya keadaan. Aku merasa sesak dan butuh ruang sendiri tanpa ada orang-orang lain yang terus menerus meneriakiku setiap waktu. Sementara di lain pihak aku masih harus pusing memikirkan laporan dan tugas-tugas menumpuk dari dosen sekaligus menu-menu makanan setiap hari, pekerjaan harian rumah tangga, jadi akuntan keuangan dan bagaimana menghemat pengeluaran anggaran belanja, listrik, ledeng, sampai menjaga perasaan Dede yang sensitif dan macam-macam lagi. Aku merasa komputerku lah yang banyak membantu meringankan pikiranku karena aku tidak perlu membagi waktu antara pergi ke rental komputer dan pekerjaan rumah tangga. Komputer ini dibeli dengan uang asuransi ibu yang baru keluar setahun sesudah kematian beliau. Kurasa komputer inilah salah satu peninggalan ibu yang paling berharga. Ayah sungguh baik meskipun hanya barang second namun beliau masih ingat bahwa sebagai seorang mahasiswa seperti aku, memiliki komputer cukup penting.
Kini aku kesal, marah, lelah yang tidak tertahankan. Beranggapan bahwa kehidupanku menjadi kacau seperti sistem komputer yang terkena virus W32 Amburadul dan membuat programnya berjalan lambat, mengobrak-abrik semua data, hingga semua sistem menjadi kacau-balau bahkan mematikannya. Semester sebelas sudah, skripsiku tidak kunjung selesai, aku hampir saja gagal di final test dua mata kuliah penting yang membuatku mencapai nilai kurang memuaskan, dan aku terlalu takut untuk mengangkat topik uang persiapan wisuda. Aku berpikir andai saja masih bekerja memberi les privat mungkin aku bisa menyisihkan sedikit untuk membuat kebaya dan membayar uang bimbingan skripsi dan sidang. Tapi tiga bulan lalu aku memutuskan berhenti. Aku terlalu capai untuk bisa meraih semua hal dalam satu waktu dan menciptakan gambaran sempurna terhadap diriku sendiri. Terlalu lelah untuk merasa bersalah pada murid-murid privatku bahwa aku sudah kehilangan semangat dan tenaga untuk mendukung belajar mereka dari hari ke hari. Terlalu egois untuk mulai membebankan segalanya pada bapak. Terlalu sakit untuk mengakui bahwa aku begitu menderita semenjak ibu tidak ada. Hatiku diam-diam menyembunyikan ketakutan dan depresiku.
Ketakutan menghantui hidupku mulai dari itu bahwa Tuhan mungkin akan menganggapku kurang bersyukur dan tidak tahu diuntung. Aku pergi ke pengajian empat kali seminggu mendengarkan petuah guru tapi masih saja jadi orang berpenyakit hati dengan shalat yang tidak khusyu. Mungkinkah aku terlalu rese terhadap hidupku sendiri dengan berusaha ikut campur dengan sunatullah-Nya yang telah digariskan. Membebani diriku dengan hal-hal yang seharusnya ku ikuti saja kemana arusnya menuju tanpa harus memikirkan semuanya dalam ruang otakku. Barangkali aku perlu satu batu bersyukur seperti yang dimiliki salah satu narasumber di film The Secret yang ku tonton tempo lalu untuk membantuku mengingat semua hal baik yang sudah Tuhan berikan. Atau mungkin bagus juga kalau aku punya satu pensieve seperti milik Prof. Dumbledore dalam novel Harry Potter yang bisa membantu menyimpan kelebihan beban pada memoriku, hingga pada saat-saat yang diinginkan aku bisa masuk ke dalam pensieve yang berbentuk seperti baskom besar itu untuk menilik kembali hal-hal yang telah terjadi.
Seringkali aku bercanda dengan Arifa tentang statusku ini. Berseloroh soal aku yang sudah jadi ibu rumah tangga bahkan sebelum menikah lalu tenggelam dalam ironi yang pada ujungnya membuat kami bingung apakah harus berkaca-kaca ataukah geli. Nasib Arifa sebagai mahasiswa mungkin lebih mengharukan dariku. Orangtuanya sudah tak pernah mengiriminya uang SPP dan bulanan dengan lancar semenjak semester tiga. Keadaan bertambah parah ketika ayahnya yang berada di kampung terkena stroke. Segala hal yang berhubungan dengan finansial bisa dikatakan terputus setelah semester lima. Siang dan malam dia bekerja sebagai guru privat untuk membayar kos, makan, dan SPP, sekalipun demikian dia tidak pernah dapat beasiswa. Birokrasi yang terlalu bertele-tele di kampus mengurungkannya mendekati kantor tata usaha atau mungkin juga pemberian beasiswa yang seringkali tidak merata dan tepat sasaran.
Fakta adalah, bahwa para penerima beasiswa merupakan mahasiswa berprestasi dan tidak mampu, dan ada banyak juga diantara para mahasiswa berprestasi itu yang mampu bahkan bisa mendapatkan beasiswa lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan adalah fakta menyakitkan nomer dua sebenarnya dari sebuah rahasia umum di kalangan mahasiswa yang lain, namun lebih banyaknya mahasiswa kurang mampu, kurang berprestasi, bekerja untuk membiayai kuliah, juga tidak mendapatkan beasiswa adalah fakta menyedihkan nomer satu yang sesungguhnya. Sepertiga dari teman-teman sekelasku adalah orang-orang membanggakan dalam kategori terakhir ini. Mungkin ada lebih banyak lagi yang seperti mereka di tempat lain. Aku mengenal teman-temanku ini sebagai para mahasiswa yang bekerja dan berbuat lebih keras untuk studinya dibandingkan orang lain dan diriku sendiri, karena bagi mereka tak ada yang namanya santai. Saat mereka rehat memikirkan sulitnya perkuliahan maka waktu akan diisi dengan bagaimana caranya menambah pemasukan. Saat masalah uang terselesaikan mereka memikirkan bagaimana caranya membagi waktu antara kerja dan perkuliahan, juga tenaga, otak, hingga perasaan pada dua hal sekaligus yakni kuliah plus dosen berhati super sensitif karena mahasiswanya nampak lebih suka kerja daripada perkuliahannya. Berada dalam posisi seperti ini ibarat dua sisi mata pedang. Namun sedikit sekali yang mau memandang isu tersebut dari sudut pandang mereka dan menghargainya lebih dari sekedar angka-angka pencapaian akademis. Kebanyakan dosen menunjukkan ketidakpedulian tanpa berusaha melakukan pendekatan yang lebih baik demi membantu mengatasi masalah. Bagiku, usaha keras mereka untuk mempertahankan kuliah di tengah himpitan kehidupan adalah sebuah nilai A+ serta saksi bisu dari magna cumalaude tersembunyi mereka.
“Sulit dimengerti padahal aku ‘ggak minta uang universitas buat beasiswanya, tapi minta surat keterangan aktif kuliahnya saja kok susah!” keluh Arifa suatu hari padaku.
Sekarang Arifa dihadapkan pada kenyataan berada di semester duabelas dengan skripsi yang dipersulit, kredit motor menunggak, biaya skripsi, juga wisuda yang belum ada dananya. Tentu saja ini bukan hanya masalah kami berdua. Aku mengenal banyak teman lainnya yang menghadapi masalah dengan latar cerita kurang lebih sama bahkan ada yang setiap semesternya tetap membayar SPP namun tidak mengambil satu mata kuliahpun karena harus bekerja. Membayar SPP tetap dilakukan sekedar untuk mempertahankan status mahasiswa meskipun sesungguhnya ini menyakitkan bagi mereka. Yah, dengan sedikit harapan keberuntungan kalau-kalau nanti bisa meneruskan sampai skripsi dan memakai toga. Mungkin isu seperti ini hanya populer di kalangan mahasiswanya saja atau memang karena tidak ada pembuat dan pelaksana kebijakan dari pihak universitas maupun pemerintah yang peduli dengan isu semacam ini. Sungguh status sebagai orang berpendidikan haruslah dibayar mahal dan teman-temanku yang sepertiga itu sangat berprestasi dibidangnya. Mereka patutlah mendapat award sebagai mahasiswa rajin. Rajin kuliah, rajin bekerja, rajin dapat C serta rajin tawakkal.
“Mengeluh dan curhatpun percuma sama mereka, soalnya tetap sulit membuat dosen kita bertanya, ‘Kenapa sudah semester duabelas masih bergumul dengan skripsi atau kenapa raut muka kamu kelihatan lebih mementingkan pekerjaan daripada saya, atau kenapa setiap kali konsultasi garis-garis di wajah kamu menunjukkan penuh beban dan tampak lebih banyak daripada garis-garis di muka saya?’. Mungkin kalau aku dapat suntikan dana kuliah dan ‘ggak lebih banyak jam kerja daripada jam kuliah setiap hari pasti nilaiku lumayan bagus. ‘Ggak perlu banyak ngulang”, kata Arifa.
“Andaikan baru semester-semester awal plus banyak uang kayaknya bagusan kalo kita transfer kuliah ke program mandiri. Gosipnya nilainya cakep-cakep, mahasiswanya juga!” sahut Fairuz.
“Program mandiri. APAAN TUCH!!!”, lontar Rima ketus sambil membuang muka. Hidungnya kembang-kembis dengan bibir yang sudah seperti puncak makam Fir’aun. “Kapitalisme sialan!” ujarnya lagi. Menurut kami she’s terribly angry.
Opini-opini ini timbul suatu hari setelah kami mendengar kabar dari Salma tentang teman kosnya dari jurusan lain yang mendapat dua beasiswa sekaligus padahal dia mampu.
“Memang sih IPnya tiga terus!” kata Salma. “Dia nanya kenapa aku ‘ggak dapat scholarship juga padahal IPku lewat dari dua koma tujuh lima. Ku bilang aja andaikan otomatis dapat aku juga ‘ggak mau. Coba ya? Kan banyak teman-teman kita yang lebih pantas. Mereka ogah survey aja. Habis ku bilang gitu tetep aja mereka ngelonyor shopping ke Ambassador Mall make scholarship fundnya”, komentar Salma pedas padahal biasanya dia tipe gadis lembut.
Ironis memang. Kalau sudah begini, masih adakah yang tega menetapkan lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara yang disinyalir cenderung bersifat kapitalis dan kurang berpihak pada kaum pengenyam pendidikan yang pada umumnya berstatus sebagai warga kebanyakan. Kapitalisme tidak selayaknya menjadi penguasa dalam dunia pendidikan kita seperti tidak layaknya sebuah penelitian tindakan kelas karena dianggap kurang manusiawi terhadap subjek siswa yang diberi perlakuan percobaan. Pendidikan bukanlah sebuah bisnis, namun pendidikan adalah hajat hidup orang banyak. Bukankah negara ini melindungi hak setiap warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang layak, namun fakta menunjukkan bahwa semakin hari target pendidikan semakin tidak tepat sasaran akibat sebuah sindrom yang dinamakan keserakahan dan setiap hari manusia semakin sulit memahami arti belas kasih. Andaikan tidak ada lagi yang gratis di dunia ini apakak salah jika setidaknya yang terjangkau masih tersisa.
Sahabatku Arifa punya sebuah motor hasil kredit yang menjadi pahlawannya dalam bekerja siang dan malam, motor itu mengantarkannya bahkan sampai ke sudut-sudut kota manapun tempat murid-muridnya berada. Motor itu juga dirinya telah mengalami beberapa kali kecelakaan bersama yang seringnya terjadi sebelum atau sesudah ia pergi mengajar privat dan sekalipun ia tak pernah memberi tahu orang rumah mengenai hal-hal buruk yang menimpanya. Baru-baru ini dia mengambil konsekuensi dengan menambah satu murid yang tadinya tiga menjadi empat hingga membuatnya berada selama enam jam atau lebih di luar rumah untuk mengajar privat agar kredit motornya tetap terbayar serta kehidupan kampus dan pekerjaan menjadi lancar namun sekaligus juga mengurangi fokus kuliahnya yang tetap ia usahakan sampai jungkir-balik macam pemain akrobat. Pada awal semester tiga ia bekerja untuk menutupi kekurangan kiriman dari orang tua, tapi dua semester sesudahnya dia bekerja untuk mengganti uang kiriman yang tak pernah lagi ada.
“Andai dosenmu tahu kalau ini yang harus kamu lakukan setiap hari mungkin beliau takkan tega memberi coretan besar-besar di atas skripsimu dengan hanya meninggalkan jejak berupa tanda-tanda tanya dan seru besar warna merah plus strip-strip ‘ggak jelas memenuhi setiap paragraph tanpa ada penjelasan sedikitpun,” ujarku padanya suatu ketika saat kami sedang menikmati minum es di hari panas menyengat di bawah gazebo kampus sehabis konsultasi skripsi melelahkan. Tanggapan Arifa waktu itu hanya sebuah senyum kaku yang menurut definisi Bill Cosby termasuk dalam kategori senyum seperempat bagian.
“Aku tahu makna belajar mandiri sebagai mahasiswa, apalagi inikan penelitian kita. Tapi ngomong dikit, sekalimat dua kan gak ada salahnya”.
Dengan demikian berarti aku jauh lebih beruntung daripada Arifa karena memiliki dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dan mendukungku dengan sepenuh hati yang langka didapatkan hingga aku harus dengan sedih hati meninggalkan kampus tanpa bersama-sama dengannya di akhir semester sebelas lalu. Hingga hatiku seringkali menjadi kelu saat memandang wajah Arifa tak ada dalam foto-foto yudisiumku karena ketidakhadirannya. Masalahnya hanya padaku yang sering kekurangan waktu untuk menyelami skripsi. Seringkali aku tercekat dan tenggelam dalam kerongkonganku sendiri akibat teriakanku yang tidak keluar bahwa aku butuh ruang untuk menyepi, bersikap egois sesekali, dan butuh waktu dimana ingin memikirkan diriku juga urusan-urusanku sendiri. Tenggelam dengan tugas-tugas yang harus ku buat, coretan-coretan tinta hitam biru berisi keterangan-keterangan kesalahan laporan perkembangan skripsiku, ditambah sms-sms curhat teman-teman seperjuangan yang masuk ke handphone tuaku yang seringkali sulit terbalas karena masalah pulsa.
Lulus kuliah memang sangat melegakan namun bukan berarti segala bebanku jadi berkurang. Aku bekerja sebagai seorang guru honor dengan gaji duaratus empatpuluh ribu rupiah sebulan dan selalu terbersit keinginan untuk menyudahi saja pekerjaan itu. Mempertahankan pekerjaan inilah alasan terbesar yang menimbulkan dilema baru di hatiku. Harapan-harapan bapak serta harapan-harapanku sendiri memenuhi tiap-tiap rongga tubuhku hingga aku merasa semakin menggelembung membengkak dari waktu ke waktu. Baik jika kau merasa larger than life (lebih besar daripada hidup) seperti satu syair dalam lagu boyband Back Street Boy, tapi tidak jika larger than body (lebih besar daripada tubuh) yang menjadikanmu sesak dengan dirimu sendiri. Bila kau mulai merasakan gejala-gejala kedua mungkin saja kau sedang mengalami sindrom kemunduran identitas.
Ada kalanya aku merasa bersalah jika memikirkan ingin punya seseorang yang mau mendengarkan, memahami apa yang menjadi kebahagiaanmu dan mendukung cita-citamu sepenuhnya, terlebih jika itu adalah orang tua. Itulah sebabnya pula aku senang menonton acara Nanny 911 di salah satu televisi swasta karena menurutku aku harus belajar banyak sebelum memiliki keluarga.
Terdapat satu pertanyaan besar dalam benakku akan suatu gejala di masyarakat yang apakah sudah ada sejak dulu kala ataukah sejak pemerintah menaikkan standar gaji dan tunjangan untuk PNS maka banyak orang tua terkena sindrom “ingin anaknya jadi PNS”. Padahal jika ditilik kembali, sebagai manusia kita terlahir dengan fisik yang berbeda dan tentu saja dengan keinginan yang berbeda-beda pula. Betapa baiknya jika kita belajar memandang keinginan orang lain dari sisi orang itu bukan hanya dari kacamata kita semata. Dunia menjadi indah dengan beragam manusia yang memiliki keinginan berbeda-beda dalam mengarungi hidupnya. Barangkali tiap-tiap orang boleh saja memiliki latar yang sama, namun ke depannya apakah segala sesuatu harus terlihat sebagaimana yang kasat mata? Jawabannya adalah tidak, karena setiap kita menempuh alasan yang berbeda-beda terhadap judul dan latar yang menjadi pola-pola pada kehidupan tersebut. Suatu hari aku pernah mendaftarkan lamaran pekerjaan di sebuah perusahaan dan berencana berhenti bila diterima disana. Aku pun menanyakan perihal pendapat bapak tentang hal ini yang beliau tanggapi dengan diplomatis dan menyerahkan keputusan di tanganku, bahwa aku tahu apa yang ku inginkan. Tapi aku sulit menerima jawaban itu sebagai sesuatu yang terlontar dengan jujur mengacu kepada volume suara bapak yang frekuensinya pelan sekali serta kurang tegas seperti biasa. Aku menangis dalam hati, mungkin aku salah kalau merasa agak kehilangan bapak selama setahun terakhir.
Menjaga rumah memilliki arti menjaganya secara fisik dan non-fisik. Kau melakukan tugas-tugas kerumahan baik yang bersifat material maupun spiritual. Spiritual yang dimaksud adalah menjaga perasaan orang rumah agar tetap merasa nyaman selelah apapun fisik dan jiwamu. Kemungkinan bahwa mereka jadi kurang sensitif dengan perasaanmu adalah hal biasa. Mereka selalu mengharapkan kau menjadi sosok yang sempurna karena kau jadi manajer rumah tangga. Alih-alih menjadi egois kau adalah sosok yang kurang peduli pada diri sendiri. Itulah yang mungkin dulu sering dirasakan kakak perempuanku dan tentu saja aku. Dengan begini aku mengerti benar rasanya jadi ibu dulu. Benar saja kalau kakakku senang bukan main bisa kabur dari tugas itu sekarang. Ya Tuhan, jangan biarkan aku tidak dapat pahala karena berperasaan seperti ini. Sering aku bicara atau berteriak pada otakku sendiri dan orang rumah “Stop pretending mom” atau berhenti bermain pura-pura menjadi ibu tapi keluargaku tidak mendengarnya.
Setelah menikah kakak perempuanku dan suaminya masih tinggal di rumah selama tiga bulan. Kami jadi sering bertengkar karena ku rasakan rumah penuh sesak dan ia menjadi semakin egois, mudah tersinggung, juga cepat marah. Ia selalu mengemukakan ide-ide bahwa kami haruslah menjaga perasaan suaminya yang tak bisa sepenuhnya aku terima. Memutuskan untuk tinggal bersama berarti mengambil konsekuensi menanggung segala hal bersama pula apakah itu baik ataukah buruk. Tidak dapat lebih mementingkan satu dari lainnya. Lagipula kami telah mengenal suaminya jauh bertahun-tahun sebelum mereka menikah. Kurasa dia tahu bagaimana saat-saat damai dan kemelut di rumah. Atau mungkin juga kenyataan bahwa teman berbagi kamar bertahun-tahunku ini kini lebih peduli pada orang asing daripada saudaranya sendiri telah mengiritasi perasaanku hingga membuatku lebih perasa. Ada saat aku sering mengurung diri dalam kamar dan menangis demi menghindari pertengkaran lebih jauh. Kini mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumah dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, ini berdampak pada hubungan kami yang membaik kembali.
Suatu ketika aku ingat akan pesan Tuhan yang mengatakan bahwa sering kali kita tidak menyukai sesuatu yang mungkin ada banyak kebaikan dalam hal tersebut yang telah Tuhan ciptakan bagi kita. Ini menjadikanku berpikir kembali tentang segala hal yang telah terjadi hingga memberiku dilema gaya baru, namun Tuhan juga memintaku untuk percaya pada-Nya, percaya akan kekuatan doa-doa, serta percaya pada hatiku.
Puncak dari semuanya adalah dengan aku yang memutuskan mencoba menempuh jalanku sendiri dan mengundurkan diri sebagai guru honor setelah bertahan selama satu semester. Hampir setiap orang yang ku kenal sedikit menyesalkan tindakanku yang melepaskan semua kesempatan-kesempatan menyoal jadi PNS, tunjangan bulanan, tahunan, pensiun, gaji ke tigabelas, idealismeku, dan lain sebagainya. Aku sungguh-sungguh bicara pada bapak serta memohon ridho beliau sebagai orang tuaku satu-satunya yang akan membuka jalan kebahagiaanku. Aku tahu bahwa bapak percaya akan keinginanku untuk membuat beliau bahagia begitu kuat, tapi aku memiliki cara dan jalanku sendiri. Aku mau beliau membantuku sekali lagi untuk mencapai setiap impian yang pernah ku ucapkan saat aku masih seorang anak-anak dengan ridhonya yang utama.
Sepeda motorku berhenti di sebuah rumah kontrakan berpagar kayu. Arifa menyambutku gembira, mencium pipi kiri dan kananku sebelum aku memeluknya hangat. Dia memberitahuku bahwa ia akan sidang skripsi satu minggu lagi dan bahwa kekasihnya Mas Nugie sudah bekerja di sebuah bank pemerintah yang artinya masalah bea wisuda sedikit banyak akan teratasi karena ia berjanji akan membantunya. Saat mendengar bahwa aku akan bekerja di kota ini dia mengajakku tinggal di rumah kontrakan yang bisa kami sewa bersama. Katanya untuk mencari suasana baru dari kos. Ini kali pertama aku mengunjungi tempat ini. Sebuah rumah yang memiliki dua kamar, satu untuknya dan satu kamar untukku. Tak lama lagi aku akan memulai pekerjaan baru dalam divisi yang berbeda di tempat yang selama ini kami impikan masing-masing. Pengalaman selalu diberikan kepada mereka yang percaya tentang memulai segala sesuatunya dari sebuah awal yang dinamakan kesempatan dan keyakinan hati.
Dengan percaya aku belajar menulis dan mengingat masa lalu dengan kaca mata yang hanya berisi nilai-nilai penuh kebaikan dari kehidupanku. Belajar melihat hidup lewat apa yang aku percaya akan diriku yang sesungguhnya, mencoba mencari tahu apa yang Tuhan inginkan dari keberadaanku, bukan lewat apa yang menjadi keinginanku dan bukan lewat apa yang orang lain lihat dan mau dariku. Karena kita semua adalah tentang apa yang kita percayai bukan tentang apa yang kita inginkan. Dengan percaya maka segala hal menjadi begitu mudah untuk dicapai.
Aku percaya bahwa dari sekian banyak hal yang telah kau lakukan untuk mewujudkan mimpi-mimpimu tidak mungkin satupun tidak ada yang tercapai. Dulu aku pernah mencoba pekerjaan semacam itu dan gagal, tapi saat waktu memberiku kesempatan sekali lagi, aku kembali datang untuk jadi pemenang, meskipun tidak pada tempat dan waktu yang sama. Dan aku juga selalu percaya bahwa alam semesta begitu luas tak terbatas karena Tuhan begitu Maha Besarnya, maka ada lebih dari cukup persediaan untuk semua keinginan, ada lebih dari satu atau dua bahkan ribuan kesempatan yang datang dalam kehidupan pada diri setiap orang. Tanpa pernah memandang apakah kau sudah mendapatkannya sekali kemarin atau dua kali hari ini, tetaplah percaya akan kesempatan yang selalu datang setiap saat. Dan aku berucap pada Tuhan “Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk mengabulkan semua doa akan kekuatan dan kesabaran serta hidup yang penuh dengan kelimpahan”. Aku belajar bahagia dengan diriku.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar