Jumat, 23 Oktober 2009

Cermin

Musim panas yang sungguh memabukkan tahun ini. Peduli apapun kata orang sinis tentang hanya menghabiskannya dengan tinggal di dalam rumah, berebah di atas lantai yang dingin, atau menonton televisi sampai kepalaku pusing. Semua yang ku inginkan hanyalah rehat sebentar. Hawa begitu gerahnya, bisa menguarkan semua cairan dalam tubuhmu bahkan mungkin akal sehatmu juga. Aku banyak berpikir bulan lalu saat berebah di atas lantai yang sejuk dengan angin hangat yang memainkan nadanya, berayun lewat gorden tilai yang melambai-lambai merdu. Aku merasa tidak semakin sehat dengan berpikir lebih ini, kecuali membuat hormonku jadi makin tidak seimbang. Intinya adalah ada ketidakbahagiaan dalam diriku Ya, boleh ku katakan dengan lantang, ADA KETIDAKBAHAGIAAN DALAM DIRIKU. Ada ketidakpuasan dengan karirku sekarang, yang padahal berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Seperti yang Mario Teguh katakan, setiap orang memiliki dorongan berbeda-beda terhadap karir, tapi aku merasa tak punya dorongan apapun untuk mencintai pekerjaan ini yang dengan, masya Allah, semua kekurangannya di luar dan di dalam diriku, kecuali ketika aku berceramah pentingnya pendidikan bagi murid-muridku dan sesekali membacakan satu kisah yang ku petik dari buku Chicken Soup sambil memandangi mata mereka yang hening, saat itulah aku menyukai pekerjaan ini.
Aku ingin hal yang lebih sebagai seorang wanita. Ingin menantang diri sendiri walau tak punya keberanian menghadapi, ingin meraup lebih banyak pengalaman meski sebenarnya tak punya nyali untuk mencoba, ingin mempelajari hal-hal baru bahkan dengan kecerdasan yang terbatas, ingin menjejaki tanah-tanah di dunia biarpun tak punya uang, ingin bertemu orang-orang mengagumkan tanpa peduli tampangku yang pas-pasan. Aku berpikir mungkin aku terlalu feminis, mungkin aku harus mengerem sedikit isme ku itu. Adik laki-lakiku mulai sering berdebat denganku tentang ini, dia kelihatan agak senewen. Aku suka mengatakan gendernya sok superior, ia juga suka beranggapan bahwa perempuan adalah yang pantas menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam. D.A.M.N... Ku katakan padanya, bukan permintaannya yang membuatku keberatan, mintalah padaku karena aku sebagai perempuan memang berbakat dan bisa melakukannya, bukan karena itu sudah suratan. Dia bilang aku kebarat-baratan. Sialan, lalu ku lontarkan padanya kalau sebagai seorang muslimah, aku keberatan dengannya. Bagiku; nilai-nilai agamaku, pendidikanku, konservatismeku, demokratismeku, berpikirku, atau apapun cara orang orang menyebutnya merupakan dasarku, pondasiku, pilar hidupku yang tak bisa di tawar. Menjunjung tinggi kedudukan pria dan wanita dalam ketetapan nilai-nilai religius yang ku anut, itu sebabnya aku menuntut penghargaan yang sudah sepantasnya wanita terima menurut ajaran agama. Ia harus dihormati, dihargai, disayangi, bukan untuk dieksploitasi. Aku murka!
Bermula saat aku kesal karena seringkali dia mengeluh jika harus menyiapkan makan malam pada hari-hari tertentu. Setelah seharian bekerja siapa saja pasti lelah kan, aku juga begitu, jika tidak aku tidak mengeluh harus mengerjakannya. Aku ingin istirahat supaya bisa meluruskan kaki. Pagi di sekolah, sore di lembaga. Aku menghabiskan tiga puluh jam seminggu untuk mengajar secara keseluruhan, dan makan angin di jalan bolak-balik antara sekolah, lembaga, juga les privat. Terus terang, aku benci sekali kalau salah satu temanku yang sudah punya status tetap bicara soal betapa lelahnya dia, berpikir kalau guru honorer itu tukang santai hanya karena jadwal masuk kantor tidak full enam hari seminggu. Dia tidak tahu bagaimana rasanya berada di jalan seharian dan berhenti mengenal yang namanya tidur siang ditambah lagi tunjangan yang ala kadarnya. Bayangkan, siapa coba yang mau hidup begitu!!!
Sulit menguasai kenyataan saat kau sadari kesenangan musim panasmu akhirnya mengering seperti tanah berdebu di halaman rumah yang tak tega kau sirami dengan air ledeng. Libur musim panas hanya berlangsung satu bulan, tetapi panas yang sama masih akan kau rasakan sampai November mendatang. Setidaknya begitu menurut ramalan cuaca. Ku pikir ramalannya ada benarnya, pemanasan global tidak bisa disalahkan atas semua ini. Yang harus disalahkan adalah kita sendiri. Oh, andai aku bisa pergi kemana-mana naik sepeda seperti wanita tahun limapuluhan yang ada di film Monalisa Smile yang ku tonton beberapa menit yang lalu. Film yang sangat menginspirasi, sanggup membuat wanita manapun tergerak hati bercita-cita jadi pejuang hak-hak perempuan. Meskipun sungguh, aku takkan sanggup atau mungkin tidak terlalu sudi menjadi mirip dengan Miss Katherine Watson bahkan saat ku temukan beberapa persamaan yang sangat menonjol dalam diri kami berdua dan juga hidup kami. Bagaimanapun juga beberapa kelakuannya tidak bisa ku toleransi. Kebebasannya agak tak beradab menurutku. Kutemukan istilah baru di film ini untuk diriku; subversif, progesif. Agak keterlaluan, bahkan untukku sendiri.
Ada hal yang ku sesali dari film ini. Aku menyesal sekali kenapa tidak menontonnya lebih awal, yakni beberapa tahun lalu saat baru di luncurkan dan teman kuliahku meminjamkannya dari rental film. Samar-samar rasanya aku ingat kalau dia pernah bilang film ini tidak terlalu bagus. Mungkin karena dia adalah pria, yang ingin berdiri menjulang di atas karang rumah tangganya kelak di hadapan istri tercintanya, meskipun akhirnya waktu membantuku menemukan bukti kalau dia tidak berbakat untuk itu kecuali berada di bawah ketiak pacarnya. Teman satu kos ku yang punya VCD player adalah macam perempuan yang agak kuno. Yang mencintai kesensualan pemikiran-pemikiran terbatas atas keseksiannya sebagai perempuan, yang mungkin kecerdasan Katherine Watson tidak akan masuk daftarnya. Dan tentu saja wajahnya langsung menyuguhkan mimik bosan saat aku menyorongkan film macam Monalisa Smile untuknya. Yah, karena terakhir kali aku menemaninya pergi ke rental film dia memenuhi tasnya dengan film-film trio lawak paling kawakan di negeri ini. Wajah sahabatku Nina memberengut sembunyi-sembunyi di balik punggungnya. Maka film itu teronggok saja di atas meja kamarku, menunggu untuk di kembalikan dalam dua hari dan kami tak sudi nonton film komedi semacam yang dia tonton. Kami berhenti mengunjunginya sampai dia selesai menonton semua film itu. Untunglah. Andai aku sudah menontonnya, mungkin aku bisa langsung menyemburkan bisa pada Roni yang meminjamkan VCD itu, seperti semburan yang pernah kulakukan padanya setelah dia berkomentar kalau film semi porno yang ditontonnya dapat bintang dua. Wow, ternyata ismeku tidak separah itu. Smile for my self .
Monalisa Smile the movie mengingatkanku pada hari kemarin. Siang yang terik dan rasanya aku sudah kehabisan tenaga untuk berdiri lagi di depan kelas di atas terompahku pada jam-jam terakhir lalu berkoar-koar tentang tenses. Bagian otakku yang jahat membayangkan enaknya es kopyor kelapa muda, damn... padahal aku lagi puasa. Aku sedang mengabsen mereka untuk menjawab pertanyaan di depan kelas saat tiba pada satu wajah, dua bangku di belakangku. Gadis berwajah bundar yang nampak tidak puas. Mungkin karena karena dia merasa aku kurang memperhatikan ke arah mejanya, bathinku. Mataku melirik skema posisi duduk yang tertempel di atas meja dan ku temukan nama yang mirip dengan namaku, hanya meleset dua huruf. Ku panggil dia, ternyata itu bukan namanya. Dia hanyalah anak baru makanya wajahnya agak tegang memperhatikan aku yang kegerahan. Sialnya, harus ku akui bahwa sebagai wali kelas aku sangat mengecewakan. Seharusnya aku yang memperkenalkan dia pada teman-temannya bukan sebaliknya dan mengatakan “Gadis-gadis, ada murid baru di sekolah, dan kebetulan dia berada di kelas kita. Silahkan memperkenalkan diri” sambil mendorong lembut bahunya yang malu-malu sedikit ke depan. Tak ada yang memberitahuku kalau ada murid baru di kelasku, padahal aku wali kelas ini (for heaven’s shake!), kecuali murid-muridku sendiri. Ku tanyakan di mana gadis yang namanya mirip namaku itu, teman-temannya menjawab “dia menikah” dengan tampang takut-takut yang sangat kentara. Mungkin mereka ingat bagaimana gelegar suara dan seramnya tampangku saat menyampaikan wejangan-wejangan menggebu-gebu tentang “Pendidikan, modal utama menjadi wanita sejati” saat pertama kali aku memperkenalkan diri sebagai wali kelas mereka pada awal semester lalu .
Harus ku akui, aku sendiri merasa bukan guru yang baik. Waktu yang ku habiskan untuk menggembleng muridku dalam wejangan-wejangan filosofi kehidupan sama besarnya dengan yang ku habiskan untuk berkhotbah sampai serak tentang grammar dan vokabulari. Bila ku temukan mereka bercanda atau tidak memperhatikan pelajaran, maka aku akan mulai ceramah panjang. Menghabiskan setengah jam pelajaran untuk memberitahu mereka pentingnya education and educated bagi wanita. Nah! Kalau sudah begini apa bedanya dengan membiarkan mereka tertidur saja. Tokh pelajaran utama jadi tertunda.
Hatiku tidak terlalu patah kemarin, meskipun aku sempat shock hingga konsentrasi jadi buyar saat mengajar untuk kemudian nyerocos lagi betapa kecewanya aku di depan murid-murid yang kelihatannya emosi mereka ikut terbakar bersamaku. Tak ada yang tahu atau mungkin rela menjawab pertanyaanku kenapa dia menikah. Kacau. Aku mengucapkan doa bagi para orang tua dari murid-muridku yang tersisa, semoga mereka diberkahi dengan wawasan yang luas dan terbuka agar tetap membiarkan gadis-gadis yang manis itu bersekolah sampai tamat yang mereka timpali dengan “amin” yang lantang. Ya Tuhan, namanya hanya berbeda dua huruf dariku, tapi kami layaknya dua kutub medan magnet selatan-selatan yang sesungguhnya berlawanan. Tak ada yang bisa membuat kami menyatu. Kesamaan di satu sisi tak selamanya membawaku dan muridku itu pada jalur yang serupa. Gadis itu bahkan belum sampai menjalani seperempat semester ini. Tapi bukankah seperti pesan yang disampaikan dalam film itu bahwa kita harus menghargai segala sesuatu dari sudut pandang lainnya alih-alih hanya dari satu sisi saja. Seperti memahami lukisan Van Gogh dan Da Vinci. Semoga menikah ada baiknya bagi dirimya. Ngomong-ngomong aku belum pernah melihat lukisan Van Gogh dan Da Vinci kecuali di tivi, ensiklopedia, dan sebuah tas jinjing kertas milik temanku bergambar Mona Lisa bersenyum tanggung.
Tadi aku menangis meyaksikan film itu dan ingat takdir muridku. Hatiku miris kemarin dan kini, dipenuhi kemarahan yang persis sama seperti yang dipikirkan Katherine Watson. Jika sedari awal tidak berkomitmen tinggi untuk bersekolah, kenapa harus dengan cara begini. Kenapa tidak sekalian saja membuang-buang waktu diam di rumah sampai ada yang datang melamar. Aku sudah sering menghadapinya semester lalu. Murid-murid yang menikah pada pertengahan tahun mereka di kelas dua, gadis-gadis yang pamitan pada semester awal di kelas tiga bahkan mereka yang menciumi tangan-tangan kami pada bulan-bulan terakhir menjelang ujian nasional. Ada pula yang langsung menikah begitu ujian selesai, persetan dengan pengumuman kelulusan dan status yang sebenarnya masih sebagai murid karena belum ditasbihkan sebagai alumnus. Beberapa rekanku menganggap sikap terakhir ini keterlaluan, sedangkan aku pribadi menganggapnya sebuah kelancangan, sikap tidak hormat terhadap institusi pendidikan. Mereka akan datang ke kantor lalu menempelkan punggung tangan para guru satu-satu pada dahi untuk pamit. Penyesalanku tak sebesar ini waktu itu, kesalku juga tak semeradang ini, karena aku bukan wali kelas mereka. Semester lalu aku belum dinobatkan sebagai salah satu wali untuk kelas satu seperti yang ku terima sekarang. Tapi kemarin, mengetahui itu terjadi pada bawahan sendiri yang baru sebulan menjadi muridku ternyata menyakitkan.
Tunggulah nak, kataku dalam hati, sampai kau benar-benar siap. Sampai hati sekali orang-orang yang membiarkan hal seperti ini terjadi pada anak-anak perempuan. Seberapapun aku mencintai keberadaannya sebagai muridku, aku tak berdaya menentang orang tuanya, nasibnya, dan budaya ini. Ku tempelkan di dinding kelas tulisan indah dari Andrea Hirata yang menjadi sinopsis pada sampul belakang novel Edensor dan berdoa semoga itu menjadi inspirasi mereka. Biarlah ku letakkan di tempat dimana mereka semua bisa terus memandang dan membacanya. Sesuatu yang akan menggugah dan menyemangati murid-muridku yang hidup di zaman yang menantang kini. Juga sebuah doa bagi diriku sendiri, karena pesan dalam film Monalisa Smile dan novel Edensor benar adanya; ketika kita berusaha mencari sesuatu dalam diri orang lain, sesungguhnya itu juga merupakan sebuah pencarian terhadap diri kita sendiri. Untukku sekarang, mendapat kesempatan dari Tuhan untuk mendidik mereka sama dengan mendidik diriku sendiri. Aku sendiri merasa tak ubahnya dengan si Mona Lisa, tersenyum di luar, meradang di dalam. Tapi aku berjanji takkan selamanya begini, aku ingin berubah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar