Kamis, 17 Desember 2009

Jeff Arch


Aku sudah setengah jalan mengetik naskah sesuai aslinya sebelum sadar kalau mungkin aku akan bermasalah dengan hak paten, maka ku putuskan untuk menghapus yang ada dan memulainya dari sudut pandangku sendiri. Kisah nyata tentang seseorang yang tak pernah ku kenal tapi salah satu hasil tulisannya sangat ku kagumi. Penulis naskah film Sleepless in Seattle, salah satu film drama komedi romantis terbaik yang pernah kutonton, dan aku sama sekali tidak menyangka kalau akan membaca kisahnya dari buku Chicken Soup for the Writer’s Soul yang kubeli. Ini salah salah satu kisah mengagumkan yang paling ku sukai dari buku itu dan aku ingin membaginya bersama kalian. May you like it too..!


Jeff Arch
Penulis naskah film drama komedi romantis paling terkenal sepanjang masa Sleepless in Seattle, Jeff Arch, tidak memulai karir menulisnya di bidang film secara mulus. Memerlukan waktu hampir seumur hidup ditambah delapan tahun usaha tanpa henti baginya untuk menghasilkan suatu naskah film yang box office serta melambungkan namanya itu. Suatu kebangkitan yang muncul dari sebuah keterpurukan yang dalam serta penuh keputusasaan.
Meskipun merasa yakin bahwa ia telah berada pada jalur yang tepat dalam hidupnya dengan menjalani karir sebagai seorang penulis naskah film dan drama, Jeff dihantui krisis kepercayaan diri yang besar terhadap karya-karya yang ia hasilkan. Ia menganggap keputusannya untuk melakukan pembukaan pementasan dramanya di New York pada bulan Juni tahun 1985 adalah terlalu berani. Sejak awal dia sudah tahu kalau pertunjukkan itu akan gagal dan resensi dari para kritikus di koran-koran yang ia baca juga tidak menambah baik perasaannya terhadap apa yang terjadi. Sebagian dirinya tak dapat menerima kritikan kejam mengerikan semacam itu. Meskipun dari luar ia nampak optimis, tapi itu hanyalah suatu kepura-puraan di depan keluarga, kolega, serta relasinya, jauh di dalam Jeff menemukan hatinya hancur.
Selama beberapa waktu kemudian Jeff berusaha menilik ulang semua hal yang telah dia lakukan; semua usaha kerasnya, setiap pengorbanannya, seluruh perjuangannya selama dua tahun demi menghasilkan tulisan yang benar-benar bagus untuk dipertunjukkan kini sia-sia, tak ada yang dihasilkan kecuali rasa lelah, derita, dan kecewa. Ia harus memilih apakah akan terus di jalur ini ataukah mencari hal lain sebagai ganti bagi kehidupannya dengan seorang istri dan seorang anak perempuan berumur empat bulan yang perlu diberi makan, Jeff tak tahu bagaimana harus memberitahu mereka tentang kegagalannya. Ia berpikir untuk mencari sesuatu yang lebih nyata.
Selama bekerja Jeff melakukannya bersama seorang teman yang telah ia kenal semenjak kuliah yang sama terpukulnya seperti dia. Saat mereka berada di sebuah restoran tempat pesta paska pertunjukkan diadakan, tiba-tiba Jeff berkata lirih pada temannya, “Ini adalah hadiah,” yang ditanggapi temannya dengan penuh ketakpercayaan. Dia menyarankan agar mereka melepaskan semua yang telah mereka perjuangka, namun Jeff menolak untuk melakukannya. Jeff telah mulai berpikir positif tentang apa yang terjadi.
Dia berpikir bahwa tulisan-tulisan serta pertunjukkan drama yang telah ia hasilkan seumur hidupnya tidaklah salah, yang salah adalah dirinya. Ada sesuatu yang tidak beres dengannya saat itu yang menuntut untuk dibereskan. Di usia tigapuluh tahun ia menyadari bahwa ketidakbahagiaannya selama ini mempengaruhi setiap hal yang dia kerjakan, dan itu membawa dampak negatif di mana keberhasilan pergi menjauhinya. Ia mulai mencari tahu akar masalah dan berjanji pada dirinya sendiri akan berusaha untuk mengubah keadaannya menjadi lebih baik. Malam itu Jeff mulai memandang kegagalannya bagai sebuah koin yang cuma separuh, sedangkan separuhnya lagi harus ia ciptakan sendiri.
Dengan penuh keyakinan hati, Jeff berusaha memulai semuanya dari awal lagi, meskipun itu akan memerlukan waktu yang lama. Dan kemudian apapun yang terjadi, baik atau buruk, ia akan tetap merasa bahagia karena telah menyelesaikannya. Itulah yang pada akhirnya akan menjadi hadiah yang dimaksud Jeff.
Musim panas tahun 1993 pun tiba. Jeff kembali ke New York, hampir persis di tempat yang sama saat dia membaca resensi mengerikan tentang pertunjukkan dramanya delapan tahun lalu. Dia datang atas undangan untuk menjadi pembicara di sebuah kelas film dengan ratusan peserta yang menyambutnya penuh antusiasme. Mereka semua terpukau dengan keberhasilannya, bahkan Jeff lebih terpukau lagi pada orang-orang yang banyak itu.
Naskah film yang telah dibuat Jeff mengguncang AS pada tahun 1993. Sleepless in Seattle, sebuah film yang belum pernah dibuat sebelumnya, kisah menyentuh tentang dua tokohnya yang tak pernah bertemu sebelumnya kecuali pada bagian akhir adegan. Diperankan oleh aktor kawakan Tom Hanks dan Aktris papan atas Meg Ryan dengan sangat memikat.
Seperti yang di katakan Jeff tentang film tersebut kepada para audiens yang antusias, “Tidak ada senjata, tidak ada kekerasan, tidak ada seks, tidak ada kejar-mengejar mobil, tidak ada bahasa kasar, tidak ada penjahat. Kami telah melanggar semua aturan, dan orang-orang datang berbondong-bondong.”
Jeff telah melengkapi kekurangan dari sisi separuh koinnya delapan tahun lalu. Itu adalah sebuah perayaan cinta bagi Jeff yang tidak pernah melupakan untuk memenuhi janji pada dirinya sendiri atas apa yang harus ia lakukan.
“Aku memberi diriku sendiri sebuah hadiah,” katanya.
Kini kita dapat memahami bahwa sebuah karya tulis yang dihasilkan dengan hati yang tulus dan jujur akan selalu memancarkan suatu keyakinan yang tidak hanya menyentuh kehidupan penulisnya tapi juga kehidupan orang lain. Itulah sebabnya kenapa Sleepless in Seattle begitu sukses luar biasa.


To you who’s struggling of being a writer or whatever you want to be, do not ever let the fear stop you to fight. Let your dream go and on and on then you’ll be amazed on how time has brought you there, something that beyond your imagination. Keep fighting.

The Curious Case of Benjamin Button


The Curious Case of Benjamin Button



Diangkat dari kisah pendek memukau milik penulis hebat dan ternama Amerika, F. Scott. Fitzgerald yang juga menulis The Great Gatsby, The Curious Case of Benjamin Button mengisahkan perjalanan hidup luar biasa dari seseorang yang dilahirkan dengan keistimewaan seumur hidupnya, Benjamin Button (Brad Pitt). Lahir di masa-masa sulit AS dari seorang Ayah pengusaha pemilik pabrik pembuat kancing Button’s Button’s. Tidak seperti kebanyakan bayi-bayi normal pada umumnya, Benjamin bukanlah seorang bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Kematian ibunya setelah melahirkannya, menambah daftar tragis dari kehadiran bayi ini ke dunia, juga tak lama kemudian terjadi hal paling menyakitkan dari semua yakni penolakan ayahnya terhadapnya. Benjamin Button bayi dilahirkan dalam keadaan fisik seperti seorang manula dengan kulit yang keriput dan kendur. Siapapun mungkin alan berpikir bahwa ia telah kena kutuk.
Segera setelah dilahirkan Benjamin langsung dibuang oleh ayahnya yang putus asa sekaligus shock, Thomas Button (Jason Fleyming), dan diletakkan di tangga teras sebuah panti Jompo. Queenie (Taraji P. Henson), salah satu pengurus di rumah jompo awalnya terkejut saat melihatnya, namun karena insting keibuan serta kasih sayangnya yang besar maka ia mengangkat Benjamin sebagai anaknya tanpa syarat. Queenie merawat Benjamin dengan penuh kesabaran dan cinta, Benjamin memanggilnya Mama. Ia diterima dengan sangat baik oleh para penghuni panti yang seluruhnya adalah para lansia yang mengganggapnya tidak jauh berbeda dengan mereka.
Dia tumbuh dengan mempelajari hal-hal baru, hampir normal layaknya anak-anak seusianya; bertambah tinggi, tumbuh rambut dan gigi, serta semakin mandiri meskipun fisik yang menipu mengatakan kalau ia adalah pria renta. Benjamin belajar bagaimana caranya makan, minum, bicara, berjalan, bermain piano bersama para lansia sahabatnya Tahap pertumbuhan Benjamin berbalik arah dari kebanyakan manusia normal. Secara fisik ia berkembang dengan menjadi semakin muda. Kemudian ia bertemu dengan Daisy Fuller yang cantik dan periang (Cate Blanchett), cucu salah seorang penghuni di rumah jompo tempatnya tinggal. Mereka menjadi teman baik dan berbagi banyak hal sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Waktu membawa Benjamin remaja bertemu dengan Thomas Button yang tidak lain adalah ayahnya. Saat itu Thomas belum siap memberitahu anak laki-laki itu tentang siapa dirinya dan lebih memilih menjadi salah satu teman bagi putranya. Tak lama berselang Benjamin merasa bahwa ia telah cukup siap untuk bekerja, pergi meninggalkan rumah tempat ia dibesarkan dan berkelana mengarungi samudra bersama seorang kapten sebuah kapal yang juga adalah temannya. Sebelum berpisah Daisy memberitahu bahwa Benjamin harus selalu mengiriminya kartu pos di manapun ia berada dan apapun yang terjadi.
Lama kemudian Benjamin kembali bertemu dengan Thomas yang telah tua dan sakit-sakitan. Pria itu memperlihatkan pada Benjamin rumah serta pabrik pembuat kancingnya, menceritakan tentang sejarah keluarganya setelah memberitahu Benjamin bahwa ia adalah ayah yang telah membuangnya sebelum meminta maaf. Thomas mewariskan semua kekayaannya kepada Benjamin setelah ia meninggal dalam perawatan putranya. Tak lama berselang Benjamin harus pergi lagi untuk mengejar petualangan.
Bertahun-tahun kemudian ia kembali, semakin tinggi, tegap, tampan, dan dengan kerutan yang jauh sangat berkurang. Daisy juga semakin dewasa, dan telah menjadi seorang balerina yang memesona. Selama bertahun-tahun, Daisy telah menjadi cinta pertama sekaligus cinta terakhir bagi Benjamin. Namun terkadang segala sesuatu tidak persis seperti yang kita bayangkan. Seiring kedewasaan maka merekapun memiliki kehidupan masing-masing. Daisy menikmati hidup glamor dari profesinya di dunia balet, ia juga memiliki seorang kekasih.
Suatu hari Benjamin mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa Daisy mengalami kecelakaan yang parah. Sebuah mobil telah menabrak orang yang paling ia cintai. Walau akhirnya Daisy sudah dapat berjalan kembali secara normal, kecelakaan itu menyebabkannya takkan pernah bisa meneruskan karir dengan menari balet, sebaik apapun kesembuhannya dan sekuat apapun ia berlatih. Dalam keputusasaan, Benjamin selalu menjadi orang pertama tempat Daisy kembali dan menemukan cinta.
Beberapa tahun hidup bersama akhirnya bayi Caroline hadir ke dunia mereka. Ia begitu cantik dan normal, sesuatu yang jauh dari bayangan Benjamin bahwa bayinya akan seperti dirinya. Di saat yang sama ini menjadikan Benjamin bimbang, ia khawatir takkan mampu menjadi ayah yang bisa merawat, menjaga, serta membesarkan Caroline dengan baik. Meskipun Daisy telah berusaha mencegahnya sekuat tenaga, Benjamin tetap memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka serta berpesan pada Daisy agar mencari ayah pengganti yang sangat normal bagi Caroline. Ia pergi berkelana hingga ke India, mengirimkan begitu banyak kartu ucapan selamat penuh pesan di setiap ulang tahun Caroline yang disembunyikan Daisy hingga putrinya dewasa. Tigabelas tahun menjelang, Benjamin pulang untuk mengetahui kabar Daisy dan melihat putrinya yang telah tumbuh remaja. Sesuai harapan Benjamin, Daisy menikah dengan seorang pria baik bernama Robert, yang mencintainya dan mencintai putrinya.
Tahun-tahun setelah Robert meninggal, Daisy mendapat telepon mengenai keberadaan Benjamin yang ditemukan oleh petugas pengawas kesejahteraan anak-anak New Orleans. Selama beberapa waktu Benjamin tinggal di bawah reruntuhan sebuah rumah dengan kesehatan yang sangat buruk. Ia tak lagi ingat siapa dirinya, orang-orang yang telah dikenalnya, atau di mana ia berada. Secara umur Benjamin semakin tua walau secara fisik semakin muda, Daisy menemukan Benjamin remaja yang tak ingat pernah mengenalnya. Tak ada yang mampu bertahan selamanya kecuali Tuhan. Waktu terus berjalan membawakan nampan ketakberdayaan pada Benjamin yang fisiknya berubah menjadi anak-anak, Daisy membawanya pulang ke rumah dan menghabiskan hari demi hari untuk merawat Benjamin bagaikan seorang ibu, hingga akhirnya Benjamin pergi dalam pelukannya sebagai seorang bayi. Bagaimanapun juga Benjamin adalah manusia, ia dapat lari dari apapun juga tapi waktu akan selalu berjalan mengiringinya.


***
Jelas sekali F. Scott Fitzgerald telah menulis sebuah kisah yang jenius dan luar biasa. Ia mencoba membawa kita untuk melihat sisi lain perjalanan dan pengalaman hidup manusia seperti Benjamin yang melihat hidupnya dari sudut pandang keistimewaan fisik. Ia membuat kita memahami bahwa mereka yang memiliki kekurangan secara fisik. Tapi bahasa tetaplah bahasa, ia adalah suatu sebutan verbal, di luar itu mereka sama normalnya seperti manusia layaknya. Punya kehidupan, punya cinta, punya cita-cita, punya ketakutan, punya semangat, dan punya cerita yang sama menyentuhnya seperti orang lain. Benjamin yang optimis di saat yang sama juga dapat anda temukan sebagai seorang pesimis. Benjamin yang dalam ketenangannya menyembunyikan banyak hal.
Menggunakan alur maju mundur walaupun tidak terlalu kentara. Anda akan tersentuh dengan cara film ini dinaratori oleh Brad pitt sebagai Benjamin. Ia juga mengisi suara Benjamin muda dan Benjamin tua sendiri, memukau bagaimana Tuan Pitt berhasil melakukannya sehingga terdengar begitu alami. Para bintang lain juga bermain sangat hebat. Dalam wawancara dengan Oprah Whinfrey pada tahun 2008, Blanchett membenarkan bahwa dia khusus mempelajari balet secara serius untuk perannya sebagai Daisy. Sedangkan Henson berhasil memukau Fincher tanpa audisi apapun sebagai Queenie.
David Fincher sang sutradara yang perfeksionis telah berhasil menterjemahkan naskah ini ke dalam bentuk film dengan sangat baik (Gak bisa ngasih komen lebih besar dari ini). Visual efek yang diciptakan untuk menghasilkan tokoh Benjamin yang persis seperti imajinasi Fitzgerald digarap secara serius, hampir sempurna. Latar belakang tempat dan waktu juga tidak kalah, mampu menangkap secara tepat setiap hal yang berhubungan dengan perubahan di tiap era seperti kondisi, fashion, tekhnologi, bangunan, dan lain-lain, dimulai dari dekade tahun duapuluhan, sampai terakhir di tahun duaribuan. Betapa Benjamin hidup menembus berbagai perubahan zaman.
Kalau anda menonton kaset aslinya, ada bonus track behind the scene dari film ini yang akan memberitahu anda apapun selama proses penggarapan. Jadi saran penulis; beli yang asli atau kalau tak mampu/mau beli, pergi ke rental film resmi seperti saya , bisa juga menonton gratis dengan berlangganan TV kabel yang menyediakan channel HBO seperti teman saya dan tunggu kapan filmnya ditayangkan lagi :P, karena film ini sudah sangat kelewat masa bioskopnya. Anda yang menyukai film drama dan belum pernah nonton TCCOBB tidak akan menyesal memasukkan judul ini dalam daftar film yang pernah anda tonton.

***** Bintang lima karena sangat memukau

Minggu, 06 Desember 2009

Kita bukan menjadi sahabat kecuali mencoba menjadi sahabat

Kita bukan menjadi sahabat kecuali mencoba menjadi sahabat

Kita tidak pernah saling menyayangi, kecuali selalu berusaha menyayangi
Kita tidak pernah saling menghargai, kecuali selalu berusaha untuk menghargai
Kau dan Aku takkan sekalipun sama-sama mengerti, kecuali mencoba menjadi pengertian setiap saat
Kau dan aku bahkan enggan sama-sama menerima, kecuali mencoba menyesuaikan setiap waktu...

Beginilah cara hati kita ditautkan
Momen-momen yang penuh dengan pemahaman
Beginilah kasih sayang kita dianyam
Di atas rumitnya cinta dan penghormatan
Beginilah persahabatan kita dibuat
Usaha yang takkan mengenal kata habisnya...

Mencoba menjadi sahabat adalah perjalanan tanpa henti kita
Melelahkan, tapi bersamamu membuatnya mudah
Mencoba menjadi sahabat adalah labirin ujian kita
Menyulitkan, tapi denganmu menjadikannya lapang
Kita tak mau jadi sahabat kecuali mencoba menjadi sahabat sepanjang waktu
Karena setelah menjadi sahabat semua bisa berakhir, tapi mencoba menjadi sahabat adalah selamanya
Dan dengan cara ini ia bertahan...


Especially to Nina and whole of my best friends ever, who’s been walking with me understanding this process.

****************************************************************************************
To my entire best friends whom I love them so much; Thank you for being such important parts of my life. One of them is the very best friend ever on earth. Plenty of them share craziness with me. A few of them hold trust on me. In a small group of these people dream the same dream as I do. A lot of them together with Allah always love me unconditionally. Two or more of them cheer me up by their wise.
I <3 U
*~Nina, Memey, Erline, Pikri, Potter, Irma, Sam, Isna, Ninis, Aspi, Idah, Mada, Kak Aina~*
****************************************************************************************










Menjadi sahabat adalah proses seumur hidup (A lifetime process)

Membaca tulisan Isna Izama Hilmi “The Ultimate Friendship” membuatku mengingat kembali tentang perasaanku sendiri. Betapa bertahun-tahun aku berusaha memahaminya. Bagaimana persahabatan itu ada dan terjadi. Ku kira setelah memenangkan hati sahabatku maka proses itu selesai sudah, tapi aku salah dan aku banyak melakukan kesalahan. Justru inilah saat-saat dimulainya hal yang bernama “persahabatan”.
Ketika kau telah menjadi sahabat bagi orang lain, itu bisa menjadikanmu seorang momok*, momok yang membuatmu kehilangan kendali akan siapa kau dan siapa sahabatmu sebenarnya. Sahabat-sahabat adalah antar individu dan jiwa yang berbeda. Apapun yang terjadi ia takkan pernah sama atau benar-benar menyatu. Ada suatu jarak yang disebabkan oleh ego-ego* pribadi bernama privasi* yang meminta kita untuk membuat batasan-batasan. Inilah sebabnya kenapa dia disebut demikian sakral dan agung “persahabatan”, sesuatu yang memerlukan pemahaman yang dalam, mungkin juga intelegensia. Sesuatu yang nampaknya tak boleh jauh-jauh dari kesuciannya yang punya daya merekatkan individu-individu. Karena ada selalu ada usaha tanpa henti untuk menjadikannya baik dan indah bahkan saat kerumitan muncul.
Dibutuhkan alasan-alasan atau bahkan tidak sama sekali untuk mencintai sahabat-sahabat kita. Tapi selalu ada alasan-alasan untuk harus menghormati dan menghargai mereka. Inilah yang seringnya kita abaikan lalu melupakan sampai batasan mana kita dapat masuk ke dalam dunia sahabat-sahabat kita. Karena persahabatan itu seringnya hancur sebab hilangnya penghargaan, sebab sikap kita yang memperlakukan sahabat layaknya tawanan perang*.
Sahabat-sahabat datang dan pergi, ada yang kembali, atau hilang sama sekali. Beberapa diantara mereka bahkan telah salah kita artikan sebagai sahabat. Semakin erat nilai hubungan yang terjalin, maka semakin besar pula ego yang mengendalikan persahabatan ini. Disinilah proses penting itu bagi kita. Menjadi sahabat bisa mengantarkan kita pada ego; sikap suka ikut campur, ingin tahu segala hal, berhak memutuskan atau tidak, membuat penilaian, menentukan standar, menimbang benar-salah, mengukur baik-tidak, menjadi pahlawan di siang bolong, sampai menciptakan kloning diri kita dengan beragam paksaan terhadap sahabat karena ego telah berkuasa dalam lingkaran apinya. Mencoba menjadi sahabat adalah perihal yang berbeda dengan menjadi sahabat. Dengan begini kita akan selalu menjadi seseorang yang berusaha menjaga hati sahabat-sahabat kita setiap saat. Itulah sebabnya kenapa persahabatan adalah suatu proses seumur hidup dalam mencintai, memahami, menerima, serta menyesuaikan antar satu dengan lainnya.
Sahabat datang seperti sebuah kejutan, begitu didapatkan harus dijaga apik-apik, mereka adalah kado-kado terindah dari Tuhan. Dan ini tentang adaptasi dua arah seumur hidup kita selama terus berinteraksi. Berusaha membuat sahabat kita merasa bahagia tidak akan menjadi sesuatu yang penting tanpa berusaha membuat mereka merasa berharga terlebih dahulu. Dan persahabatan bukan tentang materi, bukan tentang fisik, bukan tentang genetic, bukan tentang isme, apalagi simbiosis mutualisme. Persahabatan yang agung adalah tentang jiwa dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Persahabatan itu seperti keramik China dan kristal Perancis, ia begitu indah sekaligus begitu rapuh.

Nurul Sutarmaji Khaliq
November 4th 2009 - 07:35 pm

The Holiday


The Holiday

London, Iris Simpkins dimainkan oleh pemeran The Eternal Sunshine of the Spotless Mind (Kate Winslet), wanita cerdas sekaligus tertutup yang selama tiga tahun berselang Iris jatuh cinta setengah mati (desperately in love) pada pria plin-plan yang tak tahu bagaimana cara menghargai dirinya, Jasper Bloom (Rufus Sewell), yang notabene adalah salah satu kolega. Sementara itu Amanda (Cameron Diaz) adalah seorang wanita mapan pemilik perusahaan periklanan film di Hollywood yang punya sifat periang dan terbuka (lihat betapa kontrasnya). Keduanya disatukan oleh permasalahan yang sama akibat kecewa pada orang-orang yang mereka cintai.
Di sebuah pesta kantor menjelang liburan natal, Iris mendapat kejutan pahit dari editornya sendiri yang membuat pengumuman tentang pertunangan Jasper dan Sarah, perempuan lain yang juga dikencani Jasper saat mereka masih bersama
(For God shakes). Di belahan barat bumi lainnya, Amanda Woods mendapati kekasihnya, Ethan (Edward Burns), berselingkuh dengan resepsionisnya sendiri (What a man!!).
Iris yang cengeng menangisi Jasper sepanjang malam setelah melewati pesta dengan seteguh hati, sementara Amanda berusaha keras menitikkan airmata atas kepergian Ethan namun gagal. Dalam keadaan linglung keduanya memutuskan untuk melakukan liburan di tempat yang jauh demi menenangkan diri dan mencari semangat baru. Iris dan Amanda bertemu lewat sebuah situs liburan yang menawarkan untuk saling bertukar rumah. Iris akan berlibur di rumah Amanda yang terletak di Beverly Hills, Hollywood. Dan Amanda yang mencari kesunyian akan tinggal selama dua minggu di rumah Iris di sebuah desa kecil bagai dongeng dalam tulisan-tulisan Shakespeare di Surrey, Inggris (walau saya lebih suka seperti di novel Jane Austen coz belum pernah baca tulisan Shakespeare jadi gak ngerti).
Seperti dialog dalam film ini “Anything can happen”, apapun bisa terjadi. Niat dan tujuan terkadang bisa saja berubah karena beberapa hal dan kejutan cinta dalam hidup itu bisa datang kapan saja, pada orang yang sangat asing, tak terduga, dan berada di tempat yang sangat jauh sekalipun. Selama liburannya Iris bertemu dengan Arthur Abbot (Eli Wallach), pria lanjut usia pensiunan penulis naskah film yang sangat terkenal di Hollywood dan Miles (Jack Black), seorang komposer film muda yang punya kepribadian hangat dan romantis. Wanita Inggris yang ramah dan baik namun patah hati ini akhirnya memikat hati Miles untuk berteman dengannya dan bersama mereka menjadi sahabat baik Arthur. Dengan Miles, Iris menemukan sisi humorusnya yang terpendam dan Arthur membantunya memahami dirinya dengan menyarankan Iris menonton film-film drama romantis lama.
Saat menemani Iris di toko video suatu malam, Miles melihat kekasihnya, Maggie, tengah berselingkuh dengan orang lain. Iris yang lembut dan sensitif menjadi kawan penuh pengertian karena ia juga tengah menghadapi masalah yang sama. Iris menceritakan masalahnya pada Miles yang malah balik menghiburnya. Sayangnya, romantisme yang mulai menghinggapi mereka harus terganggu dengan kedatangan Jasper ke Amerika untuk menemui Iris dan permintaan Maggie untuk kembali pada Miles. Nampaknya tak ada yang bisa merusak kebahagiaan Iris kecuali fakta bahwa Jasper masih menjadi tunangan Sarah. Tapi momen ini membangkitkan kesadaran Iris atas apa yang telah dia lakukan terhadap hidupnya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak lagi bersikap membodohi diri sendiri dan menjadi wanita yang kuat, yang harus bisa melepaskan Jasper dan memulai hidup baru. Di sisi lain, Miles juga melakukan hal sama. Dia menginginkan wanita baik-baik yang tulus mencintainya, bukan wanita yang hanya kembali padanya setelah dicampakkan seorang selingkuhan.
Berada di Surrey memperkenalkan Amanda pada Graham, kakak Iris yang menjadi editor buku, diperankan penuh pesona oleh aktor tampan Jude Law. Amanda yang cantik plus sangat ekstrovert dan Graham yang bertipikal womanizer akhirnya terlibat dalam nuansa romansa yang rumit (Unbelievable! Did I say that ‘nuansa romansa’?, hopes won’t hear too Kuch-kuch Hota Hai). Amanda sama sekali tidak ingin terlibat hubungan dengan pria manapun karena keberadaannya di Inggris hanyalah untuk sementara, namun Graham adalah subjek yang terlampau memesona untuk dilewatkan meskipun hubungan mereka diwarnai pasang surut selama dua minggu bersama. Romansa tanpa komitmen serius ini semakin sulit saat Graham menyadari bahwa ia sungguh-sungguh jatuh cinta pada Amanda sekaligus terlalu takut mengakui status dudanya dengan dua anak perempuan secantik malaikat, ia takut Amanda tak dapat menerimanya. Dan bagian akhir bagi dua pasangan ini dapat anda tebak sendiri.
Film ini tentang beberapa orang yang memiliki kepribadian, cara hidup, juga sudut pandang yang berbeda tentang cinta, tentu saja ini adalah film drama komedi romantis antar bangsa.
Terkadang saat menghadapi masalah kita membutuhkan waktu sebentar untuk rehat menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Makna film ini adalah bahwa sesulit apapun kehidupan yang kita jalani, kebahagiaan serta kelayakan atas cinta yang baik adalah hak kita. Namun untuk menjadi bahagia atau tidak itu merupakan pilihan karena sikap kitalah yang menentukan.
Kate Winslet menjadi narator yang memukau di bagian intro film, banyak kata-kata bijak terutama soal cinta yang diambil dari tulisan Shakespeare. Musik bagian intro juga sangat manis dan meyakinkan kita kalau keseluruhan musik di film ini digarap dengan sangat apik (Ingat pertama kali nonton The Importance of being Ernest). Musiknya mencerminkan kepribadian, semangat, dan suasana yang dihadapi tokoh-tokohnya dimana secara kebetulan tokoh Miles oleh Jack Black adalah seorang komposer yang tahu banyak tentang musik film. Setting of placenya juga tidak mengecewakan, khususnya gambar-gambar yang diambil di Inggris. Nuansa alam pedesaan Inggris yang kental bisa dicaptured dan disimpan sebagai wallpaper di komputer.
Harus diakui bahwa kisah di beberapa bagian film ini agak datar. Tentu saja bukan karena akting pemainnya. Misalnya, bagian yang menceritakan antara Amanda dan Graham (terutama) seperti berputar disitu-situ saja, plus bonus adegan berlarian di taman kelewat India (Zighh!). Tapi rangkaian kisah antara Iris dan Miles (mungkin juga coz lebih dekat dengan cerita saya sendiri. Hueks...!) plus Arthur menurut sangat menyentuh. Mengajarkan kebaikan hati itu adalah pesona luar biasa dari manusia. Darisini bisa dilihat kalau ada dua pendekatan dalam cinta (I please you to think on your own) meskipun menurut acara “Naked Science” keduanya berhubungan.


Bagian-bagian Pendapat pribadi penulis:

Menurut aku sih Kate Winslet cocok banget meranin tokoh Iris yang sensitif dan sentimentil. Jelas terbukti kalau Winslet selalu berhasil menghayati tokohnya dengan baik kayak di film Titanic sama DiCaprio atau beradu akting sama aktor hebat Johny Deep dalam Finding Neverland.
Aku juga gak nyangka kalau bisa sejatuh cinta ini sama tokoh Milesnya Jack Black (I never really count on him before). Memang perannya gak terlalu jauh dengan tokohnya di film School of Rock kecuali keurakannya yang digantiin sama sikap gentle, respectful, setia, dan punya sense of humor yang bagus dari Miles (lots of women must want such an intelligence and sweet humorist guy like Miles, Ahh...). Disini dia gak cuma akting doank tapi juga main musik.
Cameron Diaz cocok sebagai Amanda tapi keliatannya gak beda-beda amat sama kebanyakan film-film yang dia mainkan (tipikal sassy girl walau gak semua sih. Tapi film My Sister’s Keeper berbeda). Jude Law sangat tak terkatakan (Agagagh... :P), physically enchanting (baru disini aku sadar kalo dia tinggi and very British).

(Sinopsis ini kerasa agak datar bahkan datar banget kayaknya. Pas nulisnya agak2 kecapean, tapi coz harus cepet selesai sblm kasetnya dikembaliin, jadi ngebut. Memang harus diedit lagi).
Special buat mbak Lien, mudahan suka .

Tips menonton: Dalam film ini banyak alih kode (bahasa kalee..) atau pindah dari satu fokus cerita ke fokus cerita lain (Misalnya, dari adegan di Amerika lalu Inggris). Karena plotnya yang agak datar, jadi menontonnya seperti melihat pemandangan Surrey di pagi hari dari balik kabut (maaf, bingung harus makai ungkapan apa). Keindahannya memang tidak terlalu jelas, tapi kalau anda jeli maka bisa menangkap makna dari setiap momen (especially leading way between Iris and Miles).

*** Bintang tiga lebih cocok untuk film ini coz akting Kate Winslet dan Jack Black yang memikat. (Apa namanya beneran Jack Black, kedengarannya kayak kartu remi).

Riding Cars with The Boys



Riding Cars with The Boys

Sejak kecil Beverly Donofrio adalah pemimpi yang ahli. Ia dapat memimpikan dengan jelas bagaimana kelak bila ia dewasa. Namun jauh di atas semua itu, dia seorang calon penulis yang berbakat. Malam musim panas tahun 1965 di Wallingford, Connecticut akan menjadi saat paling tidak terlupakan dalam hidupnya. Malam yang merubah seluruh jalan impiannya untuk selamanya. Patah hati karena ditolak cinta oleh pemuda yang paling dikaguminya sejak kanak-kanak di sebuah pesta, Beverly bertemu Ray Hasek. Pemuda yang kurang diketahui asal-usulnya ini tak lama harus menjadi suaminya dalam sebuah acara pernikahan dini yang menyesakkan dada.
Orangtua selalu menjadi penyelamat, bahkan saat anak-anak mereka melakukan sesuatu yang menyakitkan serta mengecewakan mereka. Pernikahan Bev dan Ray takkan dapat bertahan tanpa campur tangan orangtua Bev karena Ray bukanlah tipe pria bertanggung jawab dan berpikiran dewasa. Selama empat tahun pernikahan, Beverly menelan pahit semua kenyataan bahwa suaminya adalah seorang pria yang tak becus dalam bekerja dan selalu pulang dengan mulut bau alkohol setiap malam. Tapi saat Ray diketahui menjadi pecandu heroin, Bev mulai kehilangan keyakinannya terhadap pernikahan yang ia jalani dan memutuskan untuk bercerai.
Bev, wanita muda yang jadi dewasa karena keadaan juga adalah seseorang yang memiliki ambisi dan cita-cita. Yakin dengan bakat terpendamnya semenjak dia menulis surat yang sangat menyentuh saat mencoba memberitahu kehamilannya pada usia limebelas tahun pada orangtuanya, Bev bercita-cita menjadi penulis. Ia menginginkan rumah juga kehidupan yang lebih layak bagi putranya dan dirinya sendiri. Karena hampir tak dapat diyakini bahwa Ray akan berubah, Jason yang sangat mencintai ayahnya terpaksa harus mengucapkan salam perpisahan yang menyakitkan di suatu malam. Kaki kecilnya berlari mengejar Ray tanpa daya dalam tangis dan kecewa. Di tengah keputusaan memulai hidup tanpa Ray, Bev berusaha meyakinkan Jason bahwa kepergian Ray adalah yang terbaik. Dan mengejar impian bagi Bev tak semudah membayangkannya. Bev menghadapi begitu banyak tantangan yang datang dari dalam dan luar dirinya.
Tanpa disadarinya, Bev mengganggap Jason, putranya, sebagai sebuah kesalahan dan halangan dalam hidup. Kesalahan pertama yang terekam Jason adalah kegagalan Bev mendapatkan beasiswa ke New York University. Kerja keras pada siang hari sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji, pengurus tunggal putranya, dan belajar pada malam hari bukanlah sesuatu yang akan membuat tertarik pemberi beasiswa manapun. Bev harus belajar untuk menerima nasibnya atau ia akan terkubur hidup-hidup. Dalam keputusasaan ia dan putranya bertekad melanjutkan hidup dan menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Jason tumbuh menjadi pemuda tampan dan pandai serta normal. Setidaknya itulah yang bisa diharapkan Bev, tetapi tidak Jason. Selama bertahun-tahun Putranya menyimpan semua kenangan pahit keretakan keluarga juga penolakan Bev atas dirinya.
Jason yang berumur duapuluh tahun merasa tersiksa karena tak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang ibunya. Perasaan bersalah menggantung rendah di dadanya hingga membuatnya tak kuasa untuk memberitahu Bev bahwa ia ingin memilih jalan hidupnya sendiri. Tinggal di Eropa dan belajar di Wina Austria alih-alih menyelesaikan studi di NYU seperti mimpi Bev untuk dirinya, mimpi yang selama ini gagal diraih Bev. Pagi yang beku di New York City tahun 1986, mimpi Bev menjadi penulis nampaknya akan menemukan cahayanya. Ia akan menerbitkan buku yang diangkat dari kisah nyata hidupnya sendiri. Namun masih ada sebuah hal yang mengganjal, satu izin yang belum ia selesaikan atas nama Ray menyangkut keberadaannya di dalam tulisan Bev. Tantangan datang sekali lagi dalam hidup Bev dan Jason karena meyakinkan diri bahwa mereka ingin bertemu Ray setelah bertahun-tahun sangatlah tidak mudah. Pertemuan dengan Ray membuka semua tabir luka dan kecewa yang masing-masing tersimpan dalam hati mereka. Jason dengan ikhlas menerima semua fakta tentang ayahnya dan menjelaskan bagaimana perasaannya pada ibunya selama ini sementara Bev larut dalam kepedihan serta derai air mata.
Film ini layak ditonton oleh siapa saja (tentu saja anak-anak harus dengan bimbingan orang tua). Dimainkan dengan sangat apik oleh Drew Barrymore (Bev) sang aktris walk of fame dan Adam Garcia (Jason), Riding Cars with the Boys menyentuh dan memberi pelajaran paling berharga akan arti orang-orang dekat dalam hidup kita, kedewasaan, dan tentang mimpi yang memungkinkan kita untuk terus berjuang menuju hidup yang kita inginkan.


Tips menonton: Film ini menggunakan alur maju-mundur, jadi di beberapa bagian perlu pengamatan terhadap catatan tahun dan tempat supaya anda tidak tertukar merangkaikan adegan serita lalu menjadi bingung.

**** Kisahnya penuh pelajaran berharga, akting Drew Barrymore sudah sangat terasah sekali (Memuaskan).

Kamis, 03 Desember 2009

Allah, aku belum memaafkan Bagikan

November 6th 2009 03:50 pm

Allah, aku belum memaafkan,
Memaafkan diriku sendiri
Memaafkan orang lain
Memaafkan hidup Yang membuatku terluka kini.

Allah, aku belum memberi,
Memberi pengampunan pada diriku sendiri
Memberi pengampunan kepada mereka
Memberi pengampunan pada masa lalu
Yang menciptakan kekosongan rasa bahagiaku kini

Allah, aku belum menerima,
Menerima sepenuhnya kekuranganku
Menerima sepenuhnya kekurangan orang lain
Menerima sepenuhnya kekurangan nasibku
Yang memberi bentuk kekerasan hatiku ini

Allah, aku belum memahami,
Arti menjadi diri sendiri dan Makna jujur pada diri sendiri
Sebab aku tenggelam dalam dasar egoku ini
Yang menghentikan langkahku sebelum berlari

Allah, aku ingin meraih,
Hati yang penuh dengan keikhlasan
Jiwa yang menampung penerimaan
Punggung yg mampu memikul kesabaran
Tangan yg sanggup menuangkan cinta
Kaki yang dapat menopang kekuatan

Dari besarnya anugerahMu
Pada tubuh yg rapuh ini
Aku mengiba pengampunan
Dalam kekotoran, jiwa
Agar lurus ibadahku, hatiku, jiwaku, pikiranku, hidupku

"AMAZING" Journey to the Past

29 November 2009 jam 14:23

Td pagi jalan sama keluarga ke tempat kelahiran.. Ngelewatin perkebunan karet lg, meliat rumah dinas bapak dulu lg (stlah dtgalin jd sekarat), lwt jalan2 tanah berlanscape pegunungan meratus lg. Ahh... Sejuk bget pmandanganx. Semua tetangga yg dikunjungi ramah2 bget. Rasax gak ada tetangga sebaik n seramah mereka (apa yg ada yg dihidangkan harap ditelan).. Desa, memang selalu menawarkan cinta, keeksotisan n pesona yg tiada duax.. Lahir, tumbuh, hidup slma 20thn lbh dsana mbtw kmi gak bsa lupa desa kecil dtengah2 perkebunan karet.. Nostalgia lg, mengobati kerinduan. Ingat pohon2 kelapa, jeruk, dan rambutanx yg bbuah lebat. Rindu halaman rumputx yg tebal dan pohon2x yg rindang hijau. Kangen waktu almh Ibu msh ada.. Hati tercabik antara haru n bhgia. Desa oh desa! Selamax anak desa tetap anak desa. Tp q selalu bangga, inilah tempat hidup dimana kau bisa belajar segalanya.

"A tribute to an adorable favourite Reporter, Y. S. Daya"

25 November 2009 jam 19:39

Emank susah ya kalo udah suka aplg jd idola.. Diganti yg laen jg te2p ogah rasax. Hbs gmana ya, mslh tampang kategori manis,, tp yg lebih2 dr itu, kecerdasan n kepribadianx yg luar biasa gakda yg nyamain.. (: ini bru ordinary man but extraordinary characteristics :). Coba deh baca di blogx. Oke bget sich!
Tp kalo dpikir2 lg, dia gk mkn slmax harus mgrjakn project yg sama (itu2 aja!).. Programx yg ada skrg udah bgus2 bget, tp dia hrus lebih maju n berkembang kan.. Jgn sampe kecerdasanx tersia sia mcm ketampanan Sirius Black yg tjatuh k dlm selubung dpartmen misteri.. Hee,, Dia hrus mgerjakn smthing new yg lbh brbobot n menantang.. Mkn jg krja behind the scene.. Jd producer? editor? Atw jd ky Clark Kent or Peter Parker (Mmmm...maybe he needs chasing smtg bigger that what he has 2day, myb BBC, VOA, Reuters, CNN?#%??) Agagagh... Yaach, coz aq sayang ma dia bkn krna tampang tp kpribadianx, so musti relain kalo one day bkal jrang2 liat dia lg. Tp kisah hidupx akan jd inspirasiq slalu,, itu smtg yg gakkan hilang dr dia slmax. Semangatx, low profilex, kpinteranx, kesholehanx, senyumx, suarax, carax ngmong "Asikin Aja!". Weh3, semuax dech.. !
So, reporter favoritq, tetep semangat ya!!! Jgn tinggalin pgemarmu coz kmi tetap setia.. Ditunggu slalu program2 barumu n keep success. Countless prayers be with you n may Allah guides your way.. Makasih byk coz sdh ksih btumpuk2 pgetahuan n m'inspirasi q bwt mjalani hidup. Mdhn q bsa sesemangat n shebat km..
Yours faithfully Nuna <3 U (jambu mode on).. :P

Rabu, 18 November 2009

Soul’s part

Tak pernah ku bayangkan di masa kanak-kanakku bahwa ini akan menjadi impian seumur hidup yang paling ingin ku lakukan, melebihi semua hasratku terhadap apapun juga. Yang aku tak bisa menolaknya atau bahkan berpura-pura tidak merasakannya. Aku bersyukur dengan semua ini walaupun terasa begitu berat untuk dijalani. Karena banyak orang berkata idealismeku melambung terlampau tinggi atau bahwa aku sedang menggali sumur yang takkan pernah berair.
Rasanya sulit membayangkan bagaimana cerita-cerita bapak akan sedemikian mempengaruhi hidup dan tujuan hidupku. Aku masih ingat dengan baik bagaimana dia selalu mengantarkan anak-anaknya pergi tidur lalu menceritakan dongeng tradisional sebelum tidur. Ya, bapakku pandai mendongeng. Suatu siklus yang telah diturunkan dari nenek dan ibunya. Ia telah menceritakan kisah-kisahnya berulang-ulang kali sepanjang masa kanak-kanakku dan saudara-saudaraku. Kisah-kisah yang senantiasa membiusku dengan imajinasi yang berkeliaran. Tentang kebijaksanaan, keberanian, dan kebaikan hati. Bapak adalah wujud nyata ayah impian semua anak-anak. Dia begitu mencintai sastra meskipun tidak pernah membaca The Great Gatsby atau The Old Man and the Sea, satu-satunya novel yang dimilikinya hanyalah Tenggelamnya Kapal Van der Wick oleh Hamka dan bacaan favoritnya saat remaja yakni novel-novel koboy.
Monsoon awal-awal tahun 1990, setiap sore bapak akan duduk di atas ranjang kayu kamarku yang berderit sambil memutar radio tua kami, mencari-cari frekuensi RRI programa tiga atau saluran lainnya yang tak kalah berkerisik, bunyinya itu juga senang sekali naik turun dan timbul tenggelam, Wuuit-wuuit. Selama itu yang sering ku tangkap adalah bapak gemar mendengarkan berita tentang Perang Teluk.
“Kok perang terus sih Pak? Kapan selesainya?”, itu tanyaku di sore yang gerimis itu.
Bapak yang duduk di sebelahku lalu menjawab diplomatis “Ya, ini perang antara Irak, Kuwait sama Amerika”.
Sebenarnya itu bukan jawaban pasti yang kuharapkan, namun sebagai anak-anak aku segera melupakannya walau tak pernah mengurangi rasa kagumku pada bagaimana berita dibuat. Hingga aku tersentak menyadari perang sudah usai sepuluh tahun kemudian pada pelajaran sejarah saat aku kelas dua SMA.
Bapak menyukai opera sabun tahun 80an seperti Bill Cosby dan Full House yang pernah tayang di TVRI. Dan aku akan duduk di lantai ikut-ikutan menonton juga. Bapak menularkan banyak kebiasaannya padaku. Aku menelan apa saja yang dia lakukan; membaca, menonton, mendengarkan RRI, VOA, Deutsche Welle, BBC, Radio Australia, berkebun, bercerita dan banyak lagi. Semua orang yang dekat denganku mengenalku sebagai si gadis yang suka ngomong. Aku juga mendapatkan bakat ini dari bapak yang suka bercerita tentang apa saja hingga ingin rasanya aku menuliskan semua itu.
Tapi ada satu yang paling mengena di hatiku. Bapak terus menyukai film-film dokumenter flora dan fauna dari National Geographic. Bagiku juga mereka sangat memesona. Aku kagum dengan bagaimana film itu dikisahkan, ditulis, digambarkan, sampai dibawakan oleh naraternya. Bill Burud, aku senantiasa mengingat nama itu. Seorang pria setengah baya berkulit putih yang jadi agak tanned* karena sering disiram matahari. Berpakaian safari, Ia akan membawakan acaranya sembari mengelus-elus macan atau singa Afrika. Aku menontonnya mulai dari rambutnya berwarna hitam keabu-abuan sampai jadi putih keperakan. Kenangan yang sudah lama sekali tapi masih begitu dekat di ingatanku sampai sekarang.
Saat kelas empat SD aku tertarik membaca artikel-artikel pada majalah warna sari bapak yang banyak berisi pengetahuan umum. Dan bagian yang paling kusukai adalah banyak artikel tentang putri Diana. Ada juga artikel tentang bom atom di Jepang, lengkap dengan gambar jamur payung raksasanya. Aku juga mulai rajin menjadi pengunjung perpustakaan sekolah untuk membaca novel-novel sastra anak-anak. Tapi sebuah buku kumpulan cerita pendek dari Enyd Blyton adalah yang paling membuatku jatuh cinta. Berisi beberapa judul cerpen yang mengajarkan kebaikan hati, mencintai binatang, serta menjaga lingkungan, selamanya bagiku mereka bukan sekedar cerita.
Aku menyukai hampir semua kisah hingga membuatku ingin menjadi bagian dari semua itu. Aku ingin terlibat di dalamnya. Aku mulai jatuh cinta pada dunia menulis. Diam-diam hatiku dirayapi obsesi ini. Tumbuh jadi gadis kecil yang menyukai pelajaran mengarang walaupun dalam pelajaran Bahasa Indonesia waktu itu jarang sekali dilakukan. Kakak perempuanku bercerita bagaimana sulitnya ulangan CAWU Bahasa Indonesia setelah berada di kelas empat, karena murid-murid diharuskan membuat karangan dari urutan gambar. Tak ku sangka dalam kecemasanku, semuanya berjalan begitu mudah. Aku tidak menemukan kesulitan pada debut menulis amatir pertamaku di tahun 1994. meskipun tulisanku hanya terbatas saat pelajaran mengarang saja.
Aku menginjak masa remaja, kelas dua SMP saat untuk pertama kalinya menulis sebuah cerita pendek tentang dua orang adik dan kakak. Sampai sekarang aku bahkan sulit percaya kalau aku telah menulisnya dalam bahasa Inggris. Dan saat ku cek bertahun-tahun kemudian ketika di bangku kuliah, ku temukan hanya sedikit sekali kesalahan grammar dan vocab yang telah ku buat. Di kelas tiga aku mulai membuat cerpen pendek berbau tema cinta monyet. Mungkin karena pengaruh majalah Aneka Yes atau Gadis Sampul yang ku baca waktu itu. Aku mencoba mengirimkannya ke Gadis Sampul, tapi aku tidak pernah menerima surat penolakan dengan pengembalian apalagi cerpen itu dimuat. Tapi ini menjadi awal dari keseriusanku untuk menggeluti menulis. Aku belum tahu bagaimana rasanya patah hati karena ditolak editor.
Masa-masa ini aku mulai senang mengurung diri di kamar sepulang sekolah. Berenang dalam hamparan kertas-kertas bekas dan buku tulis, aku mencoba mulai menulis novel. Novel pertamaku yang pertama berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Laura dengan setting masyarakat western abad 18. Ini terpengaruh dari sebuah serial klasik Canada di TVRI Road to Avonlea. Novel kedua bertema petualangan tiga sahabat semacam milik Enyd Blyton dengan Lima Sekawannya. Petualangan jadi sasaranku selanjutnya karena aku sering menonton film-film drama western anak-anak di televisi. Aku berencana menyelesaikan dua judul, tapi hanya satu judul yang selesai. Yang ketiga adalah menulis beberapa judul novel remaja, dulu belum kenal istilah teenlit. Mulai ditulis saat kelas satu SMA. Ini juga karena aku mulai suka nonton film drama remaja dan dewasa. Aku masih menyimpan buku-buku tempat aku menuliskan novel-novelku. Satu buku untuk tiap judul, dan semuanya tidak ada yang selesai. (Z.i.i.g.h.h..)
Kelas dua SMA, teman sebangkuku yang agak dibenci teman-teman sekelas waktu itu (tapi mereka tidak membenciku) suka menulis puisi. Aku yang agak melupakan hobi menulis karena harus konsentrasi pada pelajaran akibat persaingan yang ketat supaya bisa masuk peringkat sepuluh besar mendapat gairah kembali. Yang tidak pernah membuat puisi mulai menulis beberapa puisi norak. Tentunya saja yang paling penting yaitu, aku menulis beberapa judul cerpen lagi (semuanya selesai ditulis). Inspirasinya datang dari teman sebangku yang naksir teman sekelas juga (menerawang ?@!#$?%, MODE: ON, mungkin itu sebabnya dia agak dibenci). Ku anggap cerpen-cerpen itu bagus plus menarik. Tapi sayang, waktu aku kuliah keluargaku pindah rumah dan kakak perempuanku yang egois cuma ingat menyelamatkan barangnya saja (waktu itu aku kos). Alhasil naskah-naskah cerpen itu hilang tanpa jejak sampai sekarang (aku putus asa) L. Aku juga sempat menulis satu naskah drama pendek sebagai tugas pelajaran Bahasa Indonesia di kelas dua yang malah mirip iklan layanan masyarakat tentang TBC dengan hasil akhir pertunjukanku dan teman sebangku kalah PAMOR (menerawang mode ON: mungkin harus mulai memikirkan potensi jadi penulis naskah iklan layanan masyarakat). Kesempatan yang lain lagi guru Bahasa Indonesia kami menugaskan membuat naskah deskripsi di hari hujan yang kelabu. Beliau bilang inspirasi bisa datang dari mana saja, tapi tidak ku nyana, objek yang ku pilih malah lalat yang bersliweran jorok depan kelas. Kalah HEBOH dibanding teman sebangku yang menulis tentang “cowok kecengannya” (Waktu itu aku berusaha menyaingi judul anak kelas II. 5 yang menulis tentang kotoran kucing lalu menjadi naskah terbaik di kelasnya). WHAT AN UNBELIEVABLE ME!!!
Dua tahun semenjak mulai kuliah pada 2002, aku bertemu teman-teman sesama pemimpi (Izama) dan pengkhayal (Piqri) yang juga hobi menulis saat duniaku yang satu itu vakum lagi. Bersama mereka aku mulai semangat 45 menulis kembali satu judul novel yang sudah ku pikirkan selama dua tahun. Novel ini agak berbau India-Indonesia (Izama kalau baca ini pasti ketawa HAHAHA...J dan aku pasti kebanyakan nonton Shah Rukh Khan), novel ini juga belum kelar sampai sekarang plus beberapa judul novel lagi yang terkatung-katung. Hmmffh... Saking kelewat berhasratnya, aku dan dua kroniku mendirikan sebuah perkumpulan menulis amatir yang namanya secara egois ku pilih sendiri yakni Independence Ink* (teganya aku yang tak peduli apa mereka setuju atau tidak / masih ku simpan sampai sekarang karena di masa depan aku juga ingin menjalankan penerbitan sendiri dengan nama ini*). Perkumpulan amatir ini anehnya jadi seperti perkumpulan SPEW* milik Hermione Granger yang cuma beranggotakan tiga orang plus Harry dan Ron, kami juga begitu (naas). Tanpa perkembangan, tanpa uang, tanpa hasil. (Hueksz...)
Masa-masa kuliah berakhir, hidupku agak tertekan dengan status baru sebagai pengangguran. Tapi ini jadi inspirasi yang lainnya lagi. Benar, kau takkan pernah tahu apa yang bisa dibawakan waktu kepadamu. Saat-saat sulit ini membantu mengembangkan bakatku ke arah tulisan yang lebih dewasa dan berbobot. Tulisanku mulai banyak terpengaruh ide-ide filosofi kehidupan dari masalah-masalah yang sedang ku hadapi; puisi, essay, cerpen sampai artikel. Aku juga mulai menemukan gaya menulisku sendiri yang banyak dipengaruhi buku-buku yang ku baca khususnya chicken soup. Aku suka gaya ini, natural dan personal walau banyak orang bilang bahasanya kurang segar namun selalu berusaha untuk menyampaikan sesuatu dan jauh dari sifat menggurui (I keep learning). Aku ingin menulis buku semacam ini yang berisi kisah-kisah nyata inspirasional. Kadang rasa GEER pada tulisanku sendiri berkata bahwa kisah nyata dan fiksi yang ku tulis hampir tak ada bedanya. Sekarang ini menulis jadi ajang curhatku yang khas. Aku menjadi tertarik pada hal-hal yang berbau psikologi manusia dan alam serta bagaimana dua hal ini berpengaruh pada cara manusia berjalan di muka bumi. Mencontek kutipan tokoh favoritku Yulika Satria Daya, “Wanna be the agent of change!” J.
Hanya ada satu hal yang membuatku benci dengan keadaan ini, aku belum punya kedisiplinan yang cukup untuk menuntunku menjadi penulis profesional. Karena Mike Price bilang “Lebih banyak orang mempunyai bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar lebih tinggi”. Sekarang, aku harus punya disiplin itu. Jika dia tidak mengejarku sekarang juga, maka aku yang akan mengejarnya sampai dia lari terbirit-birit. Hoshh hoshh... DICIPLINE! COME TO MAMMA!!! Alex Haley juga bilang “Sikapmu adalah segalanya. Yakinlah kepada dirirmu sendiri dan percayalah pada materimu. Untuk menjadi penulis berhasil, menulislah setiap hari entah kau menginginkannya atau tidak. Jangan pernah putus asa, dan dunia akan memberimu anugerah yang melampaui impianmu yang paling mustahil”. (Arrggghh... aku bahkan belum pernah baca tulisan dua orang ini kecuali kutipannya di Chicken Soup :P, tapi aku percaya ini). Suatu hari aku harus mencari tahu lebih banyak tentang tulisan mereka.
Melakukan ini membuatku belajar melihat berbagai hal secara unik. Setiap saat selalu ada beragam hal sebagai inspirasi untuk dikisahkan, untuk dijadikan artikel, essay, cerpen, novel, atau karya ilmiah. Tak peduli pakah itu topik berat sampai yang paling tidak penting (semuanya penting!). Tulisan membantuku mengungkapkan hal-hal yang tak pernah ku katakan secara verbal atau ku tunjukkan lewat tindakan. Ada satu hal yang paling berharga adalah bercerita tentang bapak lewat tulisan membuatku tahu betapa besar rasa sayangku untuknya, sesuatu yang tak sanggup ku sampaikan lewat cara lainnya. Tulisanku sendiri maupun tulisan-tulisan orang lain membantuku melewati masa-masa sulit, membagi kebahagiaan, mengungkapkan cinta, mempelajari hal-hal baru, dan mencari tahu siapa diriku. Ia adalah sesuatu yang ingin ku lakukan tanpa aku harus tahu apa alasannya. Saat-saat menulis membuatku merasa dapat melepaskan egoku pergi. Setiap hal yang ku tulis tak pernah terpikirkan untukku membuat siapapun atau apapun menjadi terpojok atau terhakimi (maafkan aku bila kau pernah merasa begitu L). Aku menulis demi tulisan itu sendiri karena memang itulah yang sedang ku pikirkan. Berharap lewat tulisan dapat berbagi dan belajar sesuatu bersama orang lain. Sewaktu mata menerawang menyambut inspirasi datang, sewaktu tangan menggenggam pena erat di atas kertas, sewaktu jari-jariku menyentuh keyboard di depan layar komputer, saat itulah aku seperti seorang pemadat candu dan tak ada yang dapat menghentikanku.
Aku menyukai caranya yang membantuku menjadi jujur pada diriku sendiri tentang setiap hal yang ku rasakan, ku lihat, dan ku dengar. Dia membuatku jatuh cinta pada banyak hal yang menjadi inspirasiku. Melihat kebesaran Tuhan, anggunnya kehidupan, serta pesona manusia adalah cara menjalani hidup yang memuaskan, terlebih lagi jika semua itu dituliskan. Tulisan mengenalkanku pada bermacam-macam dunia yang tak pernah ku tahu sebelumnya dalam ensiklopedia, memahami anugerah Tuhan sebagai surga seperti yang dituturkan dalam La Tahzan, mengajakku melihat ragam pola hidup lewat sastra. Dia membawaku berkeliling tempat-tempat asing dan mencium harumnya padang rumput Inggris musim panas di novel-novel Enyd Blyton, tamasya tur Eropa-Afrika bersama Andrea Hirata, Rowling menolongku memahami dunia sihir yang tak jauh beda dengan dunia normal, memberitahuku bahwa impian selalu mungkin seperti yang The Secret katakan, juga mengajarkan hidup itu indah lewat Chickensoup. Aku mencintai caranya mencintaiku dan mencintai caraku mencintainya. Aku masih belum begitu baik sekarang; apakah itu secara kepribadian, pekerjaan, keuangan, atau apapun, namun menulis memberiku kekuatan untuk memperbaikinya pelan-pelan -- karena tiap kali menulis, aku juga sedang menganalisa sesuatu dalam diriku sendiri.
Aku ingin berada di sini, melangkah di atasnya, dan terbang bersamanya. Ia sungguh dunia yang membuatku memandang keluar jendela lebar-lebar, merentangkan tangan, melompat dan melonjak, menangis-bahagia, tersentuh-terharu. Tahukah kau Harry Potter terbang bersamaku saat menangkap snitch pertamanya? Aku juga berlari terburu, terkesiap bersama Andrea Hirata menuruni bis saat melihat Edensor, begitu terharu seolah mimpinya adalah mimpiku juga. Di lain waktu hatiku hancur di sebelah Tonia Zhivago saat dia menulis surat perpisahan pada suaminya (Hiksz..). Tulisan adalah cermin di mana aku sering melihat diriku sendiri yang sesungguhnya, jauh dari berpura-pura.
Aku ingin berada di jalur ini dan memberi sumbangsih pada dunia lewat tulisanku. Aku bercita-cita bahwa suatu hari aku akan belajar menulis secara profesional meskipun banyak orang berkata bahwa menulis tidak perlu dipelajari dari balik beton kampus. Berada di kampus terkadang memang bisa begitu melelahkan, bagaimanapun juga inilah yang kuinginkan. Aku jatuh cinta pada bagaimana ilmu diraih lewat sekolah seperti halnya jatuh cinta pada bagaimana membuka pikiran lewat membaca. Entah kapan aku akan menempatkan diriku duduk di sebuah bangku di ruang kelas fakultas sastra Inggris dan menelan berbagai karya Shakespeare, Jean Austen, atau Ernest Hemingway. Atau bisa jadi tenggelam dalam berbagai artikel serius tentang lingkungan dan manusia untuk studiku di jurusan jurnalistik. Yang kutahu hanyalah aku akan segera berjalan ke sana. Aku akan menyelesaikan apa yang telah kumulai, dan saat ini bermimpi adalah langkah pertama yang tepat.
Sejarah manusia dimulai lewat tulisan. Tak ada yang benar-benar dapat kita hasilkan tanpa menuangkannya ke dalam tulisan. Bahkan Tuhan bicara pada kita lewat tulisan (Qolam). Karena itulah bukti kehidupan, T.U.L.I.S.A.N! Di dunia inilah aku mau menjalani hidupku. Menulis akan selalu menjadi bagian terpenting dalam jiwaku, bahkan ketika seluruh dunia luruh pada ketakmungkinan. Syukur tetap ada bersamaku karena anugerah dan bakat ini telah Ia turunkan. Biarlah terus ku gali sumur ini, sumur cita-citaku. Sampai airnya memancar keluar deras. Karena ketika momen itu datang, dia tidak hanya akan menghilangkan dahagaku saja, tapi juga dahaga orang lain.

Terima kasih buat Allah SWT yang sudah memberi anugerah sebesar ini (Thank you Allah). Bapakku tersayang yang selalu jadi inspirasi dan semangat seumur hidup yang pernah bilang kalau aku bisa menjadi penulis sambil melakukan hal yang lain (Beliau selalu menghargai cita2 seseorang). Dedeku yang memberi pengakuan sama bakatku. My very best friend Nina yang selalu mendukung minatku ini dan sudah membuktikan mimpinya sendiri. My dear friends Izama, Piqri and Sam who have the same conciousness as much as I do. Thank you to chicken soup for the writer’s soul. The last is for someone out there who has given me strenght and inspiration to keep this dream. Thank you very much. (I love <3 you all)

Ngateno

Ngateno’

Ngateno’, remaja tanggung limabelas tahun. Termanis di kelasnya walau bukan yang tertampan. Kalau bukan karena sepeda tua itu, tak ada yang tahu Ngateno’ hanyalah anak seorang pensiunan penyadap karet miskin, karena kulitnya yang putih terang, matanya kecil jernih serta senyumnya yang manis tipis. Setiap pagi nafasnya ngos-ngosan sambil mengayuh sepeda menuju sekolah alih-alih naik truk sekolah seperti anak kebanyakan karyawan lainnya yang lokasi rumah mereka jauh dari sekolah. Truk sekolah, memang, kau tak salah baca atau tulisan ini tak salah ketik. Bus sekolah tidak pernah ada, andaikanpun ada juga tak terlalu berguna. Jalanan tanah perkebunan tebal berdebu di musim panas dan jadi bubur di musim hujan plus permukaannya bisa membuat penumpang mana saja mabuk kepayang bila naik. Keluarganya tak punya alasan finansial apapun yang bisa menyebabkan Ngateno’ naik truk itu.
Sekolah terletak di antara dua danau kecil di sebuah bukit di balik rapatnya perkebunan karet PTPN XIII sejauh hampir duapuluh kilometer dari rumahnya. Bila sampai, dia letakkan sepeda BMX tua berkaratnya di tempat parkir sepeda. Berhenti sejenak untuk membiarkan rambutnya yang berombak berwarna kecoklatan biar di lambaikan angin sejuk yang berhembus dari arah danau di bawah sambil menegak udara banyak-banyak. Indah sekali gelombang air danau yang kemilau itu, beriak ditiup angin lembut di balik ilalang rawa yang merunduk-runduk hormat, mengedip keemasan ditimpa matahari pukul setengah delapan pagi, Ngateno’ pun serasa jadi Ceasar sehari.
Semua orang di kelasnya kenal Ngateno’ dengan sepeda bututnya, selalu berkata kalau dia bukan apa-apa, tetapi Heri Sanjaya adalah yang terhebat di sekolah. Pemuda gemuk besar dengan kacamata super tebal yang membuat matanya nampak berukuran dua kali super besar pula. Tak kalah dengan badannya. Ayahnya sesumbar pada bapakku kalau ke WC pun si Heri membawa bukunya. Tapi aku lebih kagum pada Ngateno, yang mengayuh sepeda cepat melintasi perkebunan karet pada subuh hari dan yang suka duduk-duduk di bawah pohon akasia dekat parkiran sepeda pada istirahat kedua. Ngateno’ tak pernah jajan.
Kakakku yang otaknya tidak terlalu cemerlang sekelas dengannya di kelas favorit 3 C bilang kalau sebenarnya dia lebih cerdas dari Heri, tapi sepeda butut Ngateno’ yang berkarat mengalahkan popularitas kecerdasannya. Ngateno’ tidak terkenal di kalangan murid-murid, juga tidak populer di mata guru-guru. Aneh! Semua orang terpukau pada Heri Sanjaya, putra guru pelajaran Sejarah kami. Nampaknya sudah diramalkan kalau di masa depan hidup dan karir si anak berkacamata akan gilang-gemilang.
Kalau hari minggu atau tanggal merah lainnya Ngateno’ tidak bisa santai untuk nonton Doraemon jam sembilan pagi atau Power Rangers di pukul sepuluhnya. Sehabis subuh dia sudah harus menggendong keranjang berisi puluhan mangkuk-mangkuk latex dan menjinjing ember aluminium besar yang berat menuju kebun karet untuk membantu bapaknya. Berjalan agak terhuyung-huyung ke kanan tempat keranjang mangkuk latexnya bergelayutan, menembus kabut kebun karet yang dingin lembab. Tidak ada seragam monyet, kostum kebesarannya hanyalah celana pendek hitam selutut yang kumal dan kaus oblong sewarna kulit badak yang lehernya kelewat molor, di keduanya bertaburan tumpahan-tumpahan sadapan latex cair disana-sini, baunya juga sangat luar biasa, memuakkan! Menyadap karet perlu keuletan dan kesabaran tinggi, karena musim dan cuaca bisa bikin senewen. Musim hujan datang berarti saatnya membaca gerakan dan warna awan. Terlambat dari hujan sama artinya dengan menyadap lebih siang dan hasil sedikit. Menyadap pada saat hujan turun sama saja dengan malapetaka karena latex jadi tercampur air. Musim kering datang bermakna ember pulung dan kantung uang lebih ringan. Semuanya serba ambigu di dunia ini. Begitu juga dunia Ngateno’, tertarik ke kiri dan ke kanan antara mengejar mimpi dan uang pensiunan bapaknya.
Pengumuman ujian tiba dan Ngateno’ secara tidak populer menjadi yang terbaik di angkatannya. Mereka menengokkan kepala padanya meski tak terlalu peduli, tokh Ngateno’ tidak akan meneruskan sekolahnya setelah ini. Dia bukan pemeran utama mereka karena yang dicintai hanya Heri Sanjaya. Lagi pula, apa pedulinya, dia tak sakit hati. Memang, setelah perpisahan Ngateno takkan pergi atau pulang ke mana-mana. Dia hanya kembali, kembali ke rumah tua keluarganya. Menekuni pohon-pohon karet yang senantiasa setia menunggu untuk disadap.
Bukan ongkos transport sekolah yang menghentikannya. Ngateno’ kita bisa saja mengayuh sepeda BMX tua itu sekali lagi. Tapi mungkin Ngateno’ cuma manusia biasa yang lelah dan boleh saja kalau sedikit putus asa. Ngateno mungkin juga tak tega pada senyum keriput bapaknya yang semakin renta jika ia tinggalkan. Takut pria itu suatu hari akan terjatuh tak berdaya saat sedang menyadap karet. Ia, dengan senang hati akan menggendong keranjang dan ember latex untuk menyadap, mengayuh sepeda jengki bapaknya mengantar hasil ke tempat penimbangan, setiap pagi, setiap hari. Selewat tengah hari dia akan duduk kelelahan, kepanasan, di atas tanah sambil berkipas diri dengan topi purun jeleknya, menunggu giliran. Ngateno’ tak keberatan. Ngateno’ ingin ayahnya kali itu benar-benar pensiun menyadap karet di perkebunan.


November 18th 2009

Ngateno’ was truly an exist story who was also my sister’s classmate.
I have no reason to fictional this life journey because since the first time I heard him from my sister, I’d been very touched to his life story.
I saw him those days, riding his bicycle passed on the rubber trees.
Years go on, I never saw him anymore.
There are a lot of Ngateno’ around the world whom I know them or not.
And how lucky we are who have chance to change our life.

Selasa, 17 November 2009

YSD

Q kenal dia thn 2008. Persisx tgl n thn brp krg penting kale ya, coz q jg gak inget :p. This guy, meskipun byk jalan tp mukax fresh ajah! Heran, hehee.. He's not cute at all tp cool bget. Ggrrr. . . Awalx sich suka sm suarax yg kalem pdhal tampangx gag2 tipeq bget. Matax kecil, rambutx lurus kaku tunduk sm gravitasi bumi, bibirx absolutely jauh dr sexy.
Jd inget siang2 bolong pas makan di AZ sama Efhenk. Q bilang sama dia dpt gacoan bru. Kwekwkwk... Eh, trnyta dia jg bpdapat sama. Prtma kali muncul this guy ky krg greget, dia beda sm byk org yg seprofesi dia coz pembawaanx yg adem. Dia gk pernah brsha sok seru atawa macho. Intelegensi adlh andalan utamax. Sikapx gk di-buat2. Aiih this guy, impianq sekalee.. Some1 yg sgt ingin q jadiin ayahx anak2q; Omar, Dearborn, dan Gaza :D Whoahaha. . . Seumur hdup byk liat cwok gagah yg manis, pinter, sholeh, beretika, suka sastra, bjwa petualang, hmmfh.. but none of them like him. He just like the right combination number to open the case of life richness! Lots of women must want him like crazy. Personalityx cuek bebekz, jayus, and rada sarkas.
Mmm. . . Maybe one thing that impressed me much is his life story n bgmana dia pernah mbwt kputusan crucial yg sdh mgubah hidupx slmax, itu kelewat menarik bwt dlewatkn. The way he sees his life, reaches his dreams, fills his times making me look at my self through a mirror. Hhh.. tp skrg dah jrang liat dia lg. Entah kpn? Tp dia bkal jd slh1 yg m'inspirasiq bwt mjalani hidup n brani mgambil kptsan sdri n btgg jwb ats resiko. Thanks ya Mas, bwt km yg jauh di sono! Qt gak prnah kenalan lgsg, tp km tu bjasa bsar sm hidupq. Hee (JAMBU!) mode on. Mdhn kpn2 qt bsa ktmu spya q bsa bilang terima kasih scra lgsg (ngarep ;p).

Minggu, 08 November 2009

Today

Today

I must remember today!
Coz’ I’d begun in messy
I ought to remember today!
Coz’ I’d made Miss. Nelly got angry
I‘ll never forget this morning!
Coz’ I’d made tricky heart people lost their breath
I’m not supposed to forget all of those f@?#*ng things!
Coz’ all the D#%m..’d happened, given me so much learning.

One unidentified morning before after listening IV class
What a terrible day! My lecture got angry with me unreasonably, maybe her mood was unstable that morning. And I also met some tricky friends.

Sacrifice

Leaf will never live without tree
But tree can survive without leaf besides him

Have you ever seen the tree in autumn then winter?
When the leaf sacrifice her life
Falling to the earth
Only to make the tree still alive
Could you
And would you

I always ask
Will you do the same way as the leaf has done?
Just for me

Or will you ask, am I mine or not
Ahh…
Mind or not, I will always be yours

I shout
It scary
I cry
It hurt

When I try to leave you
Fall a sleep

But forever leaf will always be the part of tree
Because I will be back be your self again
In the next season


A bright morning in the middle of listening class
I still keep questioning until today, why did I write it while I was suppose to concentrate
But I remember that was because I was pity on my friend’s matter
He was cheated by his girlfriend, but the meaning can be wider than that
Or probably a part of it still influenced by my heart after my mother’s gone

Jumat, 23 Oktober 2009

My Soul’s_Milik Jiwaku

Manusia seringnya terkungkung, ketakutan di masa kini dalam masa depan.
Tapi inilah aku, seluruh hidupku, tak dapat disangkal telah dipersiapkan untuk semua ini.
Kenapa, kenapa harus takut, Ia telah mengujiku dengan berbagai hal, meskipun aku tidak telah melaluinya dengan terlalu baik, tapi setidaknya aku percaya, Dia, memahamiku sepenuhnya.
Untuk apa aku berkata bahwa aku meyakiniNya dengan segenap jiwaku yang rapuh dan tak berharga, bahwa ia selalu bersamaku, bahkan jika pikiran kosong dalam kepalaku berkata; bahwa aku tak layak untuk menentukan jalanku sendiri.
Mestinya tak ada ketakutan, ketika kau ingin mengisi hidupmu dengan melakukan yang terbaik.
Bukan, bukan yang menurut orang lain baik bagimu, tetapi bertanya pada dirimu, dengan hati yang terbuka dan jujur, apa yang terbaik bagimu?
Lalu aku kan menyandarkan seluruhnya ke tangan Tuhan, dan membiarkan Dia membuat penilaian atas apa yang telah ku lakukan.
“Menjadi diri sendiri adalah hartaku kini”.
Katakan padaku! Berapa banyak orang yang hidup, dengan menyebut diri mereka dengan namanya, “Aku…”, tapi mereka tenggelam, berenang dalam angan, dan mimpi, dan pikiran-pikiran orang lain; bahkan terlalu pengecut untuk berjalan dengan dagu yang terangkat.
Disini, berdiri menjulang mimpiku, dekat sekali ke hatiku, sedekat urat nadiku, sehingga bisa ku dengar deburannya memecah kebuntuan jiwa, tempat dimana aku tak perlu mencarinya jauh di lubuk hati orang lain.
Menemukan dimana hatiku berada sejak kini.
Berlampau-lampau waktu terus melaju, Dia menunjukkanku jalanNya, bersamaku, menemukan cahayaku sendiri yang masih redup.
Segera, ia akan berubah terang, menyala seiring keyakinanku, dan menjauhkannya dari kesia-siaan.
Hingga waktunya bagiku untuk tahu, tak ada tempat lain yang lebih indah dan membuatku bahagia selain meletakkan hatiku pada apa yang ku percaya
This Will Not Win Him
~ Jalaluddin Rumi ~

Reason says,
I will win him with my eloquence.

Love says,
I will win him with my silence.

Soul says,
How can I ever win him
When all I have is already his?

He does not want, he does not worry,
He does not seek a sublime state of euphoria -
How then can I win him
With sweet wine or gold?

He is not bound by the senses -
How then can I win him
With all the riches of China?

He is an angel,
Though he appears in the form of a man.
Even angels cannot fly in his presence -
How then can I win him
By assuming a heavenly form?

He flies on the wings of God,
His food is pure light -
How then can I win him
With a loaf of baked bread?

He is neither a merchant, nor a tradesman -
How then can I win him
With a plan of great profit?

He is not blind, nor easily fooled -
How then can I win him
By lying in bed as if gravely ill?

I will go mad, pull out my hair,
Grind my face in the dirt -
How will this win him?

He sees everything -
how can I ever fool him?

He is not a seeker of fame,
A prince addicted to the praise of poets -
How then can I win him
With flowing rhymes and poetic verses?

The glory of his unseen form
Fills the whole universe
How then can I win him
With a mere promise of paradise?
Cermin

Musim panas yang sungguh memabukkan tahun ini. Peduli apapun kata orang sinis tentang hanya menghabiskannya dengan tinggal di dalam rumah, berebah di atas lantai yang dingin, atau menonton televisi sampai kepalaku pusing. Semua yang ku inginkan hanyalah rehat sebentar. Hawa begitu gerahnya, bisa menguarkan semua cairan dalam tubuhmu bahkan mungkin akal sehatmu juga. Aku banyak berpikir bulan lalu saat berebah di atas lantai yang sejuk dengan angin hangat yang memainkan nadanya, berayun lewat gorden tilai yang melambai-lambai merdu. Aku merasa tidak semakin sehat dengan berpikir lebih ini, kecuali membuat hormonku jadi makin tidak seimbang. Intinya adalah ada ketidakbahagiaan dalam diriku Ya, boleh ku katakan dengan lantang, ADA KETIDAKBAHAGIAAN DALAM DIRIKU. Ada ketidakpuasan dengan karirku sekarang, yang padahal berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Seperti yang Mario Teguh katakan, setiap orang memiliki dorongan berbeda-beda terhadap karir, tapi aku merasa tak punya dorongan apapun untuk mencintai pekerjaan ini yang dengan, masya Allah, semua kekurangannya di luar dan di dalam diriku, kecuali ketika aku berceramah pentingnya pendidikan bagi murid-muridku dan sesekali membacakan satu kisah yang ku petik dari buku Chicken Soup sambil memandangi mata mereka yang hening, saat itulah aku menyukai pekerjaan ini.
Aku ingin hal yang lebih sebagai seorang wanita. Ingin menantang diri sendiri walau tak punya keberanian menghadapi, ingin meraup lebih banyak pengalaman meski sebenarnya tak punya nyali untuk mencoba, ingin mempelajari hal-hal baru bahkan dengan kecerdasan yang terbatas, ingin menjejaki tanah-tanah di dunia biarpun tak punya uang, ingin bertemu orang-orang mengagumkan tanpa peduli tampangku yang pas-pasan. Aku berpikir mungkin aku terlalu feminis, mungkin aku harus mengerem sedikit isme ku itu. Adik laki-lakiku mulai sering berdebat denganku tentang ini, dia kelihatan agak senewen. Aku suka mengatakan gendernya sok superior, ia juga suka beranggapan bahwa perempuan adalah yang pantas menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam. D.A.M.N... Ku katakan padanya, bukan permintaannya yang membuatku keberatan, mintalah padaku karena aku sebagai perempuan memang berbakat dan bisa melakukannya, bukan karena itu sudah suratan. Dia bilang aku kebarat-baratan. Sialan, lalu ku lontarkan padanya kalau sebagai seorang muslimah, aku keberatan dengannya. Bagiku; nilai-nilai agamaku, pendidikanku, konservatismeku, demokratismeku, berpikirku, atau apapun cara orang orang menyebutnya merupakan dasarku, pondasiku, pilar hidupku yang tak bisa di tawar. Menjunjung tinggi kedudukan pria dan wanita dalam ketetapan nilai-nilai religius yang ku anut, itu sebabnya aku menuntut penghargaan yang sudah sepantasnya wanita terima menurut ajaran agama. Ia harus dihormati, dihargai, disayangi, bukan untuk dieksploitasi. Aku murka!
Bermula saat aku kesal karena seringkali dia mengeluh jika harus menyiapkan makan malam pada hari-hari tertentu. Setelah seharian bekerja siapa saja pasti lelah kan, aku juga begitu, jika tidak aku tidak mengeluh harus mengerjakannya. Aku ingin istirahat supaya bisa meluruskan kaki. Pagi di sekolah, sore di lembaga. Aku menghabiskan tiga puluh jam seminggu untuk mengajar secara keseluruhan, dan makan angin di jalan bolak-balik antara sekolah, lembaga, juga les privat. Terus terang, aku benci sekali kalau salah satu temanku yang sudah punya status tetap bicara soal betapa lelahnya dia, berpikir kalau guru honorer itu tukang santai hanya karena jadwal masuk kantor tidak full enam hari seminggu. Dia tidak tahu bagaimana rasanya berada di jalan seharian dan berhenti mengenal yang namanya tidur siang ditambah lagi tunjangan yang ala kadarnya. Bayangkan, siapa coba yang mau hidup begitu!!!
Sulit menguasai kenyataan saat kau sadari kesenangan musim panasmu akhirnya mengering seperti tanah berdebu di halaman rumah yang tak tega kau sirami dengan air ledeng. Libur musim panas hanya berlangsung satu bulan, tetapi panas yang sama masih akan kau rasakan sampai November mendatang. Setidaknya begitu menurut ramalan cuaca. Ku pikir ramalannya ada benarnya, pemanasan global tidak bisa disalahkan atas semua ini. Yang harus disalahkan adalah kita sendiri. Oh, andai aku bisa pergi kemana-mana naik sepeda seperti wanita tahun limapuluhan yang ada di film Monalisa Smile yang ku tonton beberapa menit yang lalu. Film yang sangat menginspirasi, sanggup membuat wanita manapun tergerak hati bercita-cita jadi pejuang hak-hak perempuan. Meskipun sungguh, aku takkan sanggup atau mungkin tidak terlalu sudi menjadi mirip dengan Miss Katherine Watson bahkan saat ku temukan beberapa persamaan yang sangat menonjol dalam diri kami berdua dan juga hidup kami. Bagaimanapun juga beberapa kelakuannya tidak bisa ku toleransi. Kebebasannya agak tak beradab menurutku. Kutemukan istilah baru di film ini untuk diriku; subversif, progesif. Agak keterlaluan, bahkan untukku sendiri.
Ada hal yang ku sesali dari film ini. Aku menyesal sekali kenapa tidak menontonnya lebih awal, yakni beberapa tahun lalu saat baru di luncurkan dan teman kuliahku meminjamkannya dari rental film. Samar-samar rasanya aku ingat kalau dia pernah bilang film ini tidak terlalu bagus. Mungkin karena dia adalah pria, yang ingin berdiri menjulang di atas karang rumah tangganya kelak di hadapan istri tercintanya, meskipun akhirnya waktu membantuku menemukan bukti kalau dia tidak berbakat untuk itu kecuali berada di bawah ketiak pacarnya. Teman satu kos ku yang punya VCD player adalah macam perempuan yang agak kuno. Yang mencintai kesensualan pemikiran-pemikiran terbatas atas keseksiannya sebagai perempuan, yang mungkin kecerdasan Katherine Watson tidak akan masuk daftarnya. Dan tentu saja wajahnya langsung menyuguhkan mimik bosan saat aku menyorongkan film macam Monalisa Smile untuknya. Yah, karena terakhir kali aku menemaninya pergi ke rental film dia memenuhi tasnya dengan film-film trio lawak paling kawakan di negeri ini. Wajah sahabatku Nina memberengut sembunyi-sembunyi di balik punggungnya. Maka film itu teronggok saja di atas meja kamarku, menunggu untuk di kembalikan dalam dua hari dan kami tak sudi nonton film komedi semacam yang dia tonton. Kami berhenti mengunjunginya sampai dia selesai menonton semua film itu. Untunglah. Andai aku sudah menontonnya, mungkin aku bisa langsung menyemburkan bisa pada Roni yang meminjamkan VCD itu, seperti semburan yang pernah kulakukan padanya setelah dia berkomentar kalau film semi porno yang ditontonnya dapat bintang dua. Wow, ternyata ismeku tidak separah itu. Smile for my self .
Monalisa Smile the movie mengingatkanku pada hari kemarin. Siang yang terik dan rasanya aku sudah kehabisan tenaga untuk berdiri lagi di depan kelas di atas terompahku pada jam-jam terakhir lalu berkoar-koar tentang tenses. Bagian otakku yang jahat membayangkan enaknya es kopyor kelapa muda, damn... padahal aku lagi puasa. Aku sedang mengabsen mereka untuk menjawab pertanyaan di depan kelas saat tiba pada satu wajah, dua bangku di belakangku. Gadis berwajah bundar yang nampak tidak puas. Mungkin karena karena dia merasa aku kurang memperhatikan ke arah mejanya, bathinku. Mataku melirik skema posisi duduk yang tertempel di atas meja dan ku temukan nama yang mirip dengan namaku, hanya meleset dua huruf. Ku panggil dia, ternyata itu bukan namanya. Dia hanyalah anak baru makanya wajahnya agak tegang memperhatikan aku yang kegerahan. Sialnya, harus ku akui bahwa sebagai wali kelas aku sangat mengecewakan. Seharusnya aku yang memperkenalkan dia pada teman-temannya bukan sebaliknya dan mengatakan “Gadis-gadis, ada murid baru di sekolah, dan kebetulan dia berada di kelas kita. Silahkan memperkenalkan diri” sambil mendorong lembut bahunya yang malu-malu sedikit ke depan. Tak ada yang memberitahuku kalau ada murid baru di kelasku, padahal aku wali kelas ini (for heaven’s shake!), kecuali murid-muridku sendiri. Ku tanyakan di mana gadis yang namanya mirip namaku itu, teman-temannya menjawab “dia menikah” dengan tampang takut-takut yang sangat kentara. Mungkin mereka ingat bagaimana gelegar suara dan seramnya tampangku saat menyampaikan wejangan-wejangan menggebu-gebu tentang “Pendidikan, modal utama menjadi wanita sejati” saat pertama kali aku memperkenalkan diri sebagai wali kelas mereka pada awal semester lalu .
Harus ku akui, aku sendiri merasa bukan guru yang baik. Waktu yang ku habiskan untuk menggembleng muridku dalam wejangan-wejangan filosofi kehidupan sama besarnya dengan yang ku habiskan untuk berkhotbah sampai serak tentang grammar dan vokabulari. Bila ku temukan mereka bercanda atau tidak memperhatikan pelajaran, maka aku akan mulai ceramah panjang. Menghabiskan setengah jam pelajaran untuk memberitahu mereka pentingnya education and educated bagi wanita. Nah! Kalau sudah begini apa bedanya dengan membiarkan mereka tertidur saja. Tokh pelajaran utama jadi tertunda.
Hatiku tidak terlalu patah kemarin, meskipun aku sempat shock hingga konsentrasi jadi buyar saat mengajar untuk kemudian nyerocos lagi betapa kecewanya aku di depan murid-murid yang kelihatannya emosi mereka ikut terbakar bersamaku. Tak ada yang tahu atau mungkin rela menjawab pertanyaanku kenapa dia menikah. Kacau. Aku mengucapkan doa bagi para orang tua dari murid-muridku yang tersisa, semoga mereka diberkahi dengan wawasan yang luas dan terbuka agar tetap membiarkan gadis-gadis yang manis itu bersekolah sampai tamat yang mereka timpali dengan “amin” yang lantang. Ya Tuhan, namanya hanya berbeda dua huruf dariku, tapi kami layaknya dua kutub medan magnet selatan-selatan yang sesungguhnya berlawanan. Tak ada yang bisa membuat kami menyatu. Kesamaan di satu sisi tak selamanya membawaku dan muridku itu pada jalur yang serupa. Gadis itu bahkan belum sampai menjalani seperempat semester ini. Tapi bukankah seperti pesan yang disampaikan dalam film itu bahwa kita harus menghargai segala sesuatu dari sudut pandang lainnya alih-alih hanya dari satu sisi saja. Seperti memahami lukisan Van Gogh dan Da Vinci. Semoga menikah ada baiknya bagi dirimya. Ngomong-ngomong aku belum pernah melihat lukisan Van Gogh dan Da Vinci kecuali di tivi, ensiklopedia, dan sebuah tas jinjing kertas milik temanku bergambar Mona Lisa bersenyum tanggung.
Tadi aku menangis meyaksikan film itu dan ingat takdir muridku. Hatiku miris kemarin dan kini, dipenuhi kemarahan yang persis sama seperti yang dipikirkan Katherine Watson. Jika sedari awal tidak berkomitmen tinggi untuk bersekolah, kenapa harus dengan cara begini. Kenapa tidak sekalian saja membuang-buang waktu diam di rumah sampai ada yang datang melamar. Aku sudah sering menghadapinya semester lalu. Murid-murid yang menikah pada pertengahan tahun mereka di kelas dua, gadis-gadis yang pamitan pada semester awal di kelas tiga bahkan mereka yang menciumi tangan-tangan kami pada bulan-bulan terakhir menjelang ujian nasional. Ada pula yang langsung menikah begitu ujian selesai, persetan dengan pengumuman kelulusan dan status yang sebenarnya masih sebagai murid karena belum ditasbihkan sebagai alumnus. Beberapa rekanku menganggap sikap terakhir ini keterlaluan, sedangkan aku pribadi menganggapnya sebuah kelancangan, sikap tidak hormat terhadap institusi pendidikan. Mereka akan datang ke kantor lalu menempelkan punggung tangan para guru satu-satu pada dahi untuk pamit. Penyesalanku tak sebesar ini waktu itu, kesalku juga tak semeradang ini, karena aku bukan wali kelas mereka. Semester lalu aku belum dinobatkan sebagai salah satu wali untuk kelas satu seperti yang ku terima sekarang. Tapi kemarin, mengetahui itu terjadi pada bawahan sendiri yang baru sebulan menjadi muridku ternyata menyakitkan.
Tunggulah nak, kataku dalam hati, sampai kau benar-benar siap. Sampai hati sekali orang-orang yang membiarkan hal seperti ini terjadi pada anak-anak perempuan. Seberapapun aku mencintai keberadaannya sebagai muridku, aku tak berdaya menentang orang tuanya, nasibnya, dan budaya ini. Ku tempelkan di dinding kelas tulisan indah dari Andrea Hirata yang menjadi sinopsis pada sampul belakang novel Edensor dan berdoa semoga itu menjadi inspirasi mereka. Biarlah ku letakkan di tempat dimana mereka semua bisa terus memandang dan membacanya. Sesuatu yang akan menggugah dan menyemangati murid-muridku yang hidup di zaman yang menantang kini. Juga sebuah doa bagi diriku sendiri, karena pesan dalam film Monalisa Smile dan novel Edensor benar adanya; ketika kita berusaha mencari sesuatu dalam diri orang lain, sesungguhnya itu juga merupakan sebuah pencarian terhadap diri kita sendiri. Untukku sekarang, mendapat kesempatan dari Tuhan untuk mendidik mereka sama dengan mendidik diriku sendiri. Aku sendiri merasa tak ubahnya dengan si Mona Lisa, tersenyum di luar, meradang di dalam. Tapi aku berjanji takkan selamanya begini, aku ingin berubah!
Diva


Aku kenal para wanita yang pernah ku lihat selama bertahun-tahun semenjak dulu bahkan tetap ada hingga kini, yang kisah cinta dan garis kehidupannya tak ditorehkan penuh haru-biru dalam novel-novel Austen ataupun Mira. W. Yang wajah-wajahnya tak muncul dalam tabloid dan majalah wanita dalam efek foto morning glow dan indian summer yang penuh kesan. Setiap kali melihat mereka terbersit dalam benakku apakah mereka tidak pernah menginginkan hidup yang lebih dari sekedar panasnya sinar matahari, tajamnya air hujan bulan Februari, dan perihnya kerikil di bawah telapak-telapak kaki yang telanjang. Pasti banyak wanita menginginkan mendapat apapun yang mereka mau, tanpa ada istilah kemiskinan, belitan ekonomi, serta suara anak-anak yang menangis di telinga oleh sebab kelaparan atau minta dibelikan baju seragam baru, tapi mungkin saja banyak yang tidak berpengharapan demikian besarnya. Mungkin tidak semua wanita mau bermimpi duduk dengan nyaman dan sejuk di mobil mewah merek luar negeri kemanapun ingin pergi dengan anak-anak jalanan sebagai penggemar fanatik yang mengharapkan uang ratusan jatuh dari balik kaca jendela mobil yang menyilaukan setiap mata yang memandangnya, dan tidak semua wanita ingin bermimpi bisa menjadi seorang shopaholic meskipun hanya sehari.
Hidup penuh kesenangan!
Mungkin definisi kebahagiaan pada tiap-tiap orang memiliki arti yang berbeda-beda.Yang nyata, para wanita-wanita inilah yang sungguhnya lebih sadar akan istilah hidup dalam realita.
Nenek nenek tua duduk di atas bangku kecilnya yang terbuat dari kayu sederhana dengan kaki berlumpur terbungkus sandal jepit berlubang yang sama renta dengan dirinya, terlihat penuh iba menjajakan bermacam-macam kue tradisional produksi rumah tangga, bunga rampai tujuh rupa atau berjaja sayuran hasil pertanian sendiri di pasar-pasar tradisional dalam keranjang-keranjang rotan dan bambu tua sewarna jelaga. Sadari tentang para wanita bersepeda lama yang menempuh limabelas hingga duapuluh kilometer pulang-pergi sehari untuk bekerja sebagai buruh-buruh pabrik cekatan berjam kerja tinggi namun berupah rendah, mencoba menjadi pengurus rumah tangga sekaligus penopang keluarga yang bekerja keras melawan takdirnya.
Pagi yang cantik. Langit belum lagi menyingkap wajah matahari. Hari yang begitu dingin. Di luar jendela kamar aku melihat di pagi yang buta, bayangan-bayangan gelap manusia satu persatu berjalan setapak demi setapak. Aku tahu bahwa hawa teramat dingin di luar sana dan tiba-tiba saja aku merasa bangga pada mereka hari itu. Wanita-wanita yang kuat. Wanita-wanita yang perkasa. Sosok dan semangat mereka begitu tak terpatahkan. Dengan sabar menapaki jalan mengemban tugas. Tak masalah apa yang akan mereka kerjakan nanti, karena tugas-tugas yang berbeda senantiasa menanti mereka dengan setia esok, lusa dan esok lusanya lagi. Tapi hari itu, aku melihat mereka dengan cangkul di bahu maupun arit di tangan.
Hari ini mereka bekerja di bawah panasnya terik matahari membakar hingga ke kulit jangat. Setelah delapan jam bekerja diantara semak berduri dan anak-anak tanaman karet, mencoba membersihkan gulma yang menyelimuti permukaan tanahnya. Menikmati makan siang serta istirahat dzuhur sebelum mulai bekerja kembali. Keringat mengalir di ketegaran wajah mereka yang tanpa cela. Lekat noda tanah pada pakaian seolah takkan pernah jadi najis dan halal adanya. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka rasakan saat itu sekeras apapun aku berusaha mencerna. Tawa mereka sangat keras dan bicara mereka juga lantang mengalahkan cengkeraman rasa capai di badan.
Apa yang mereka harapkan dari apa yang telah mereka kerjakan? Tidak ada, kecuali sedikit uang untuk membuat dapur mereka terus berasap, mengirim anak-anak mereka ke sekolah negeri yang murah, dan membuat suami-suami tercinta yang sama lelahnya masih dapat menyisihkan uang untuk menghisap rokok kretek bertembakau kualitas rendah mereka setiap hari. Kesadaran akan tanggung jawab yang rendah terhadap beban pekerjaan menjadikan mereka menerima berapapun upah yang diberikan betapapun pula lelahnya menghabiskan satu hari di bawah terik matahari. Tapi, tak semua orang kan bisa mendapatkan penawaran sebaik yang perusahaan Starbucks Coffee lakukan dengan memberikan standar gaji yang yang baik juga asuransi kepada pegawai paruh waktu mereka. Bayangkan saja, bagaimana cara mereka memperlakukan para pegawai tetapnya. Hingga ketika suatu hari Oprah menanyakan kepa para audiencenya apakah seorang pekerja POM bensin dan anaknya pantas mendapatkan asuransi kesehatan atau tidak maka suara kecil di hatiku langsung menjawab “pantas”.
Dan para ibu yang hebat kita telah dibayar begitu rendah di bawah upah minimum regional dan masih berterima kasih untuk itu. Sebagian dari mereka itu ada pula yang bekerja tidak tetap seperti ini untuk mengisi waktu luang mereka selama musim tanam padi belum tiba. Dan tentu saja semuanya masih belum mampu membantu mereka. Kian hari kiranya kian sulit untuk merasa cukup bagi mereka karena tampaknya setiap kebutuhan sandang dan pangan semakin di luar jangkauan, sejenak aku menyadari keadaan yang mereka hadapi. Dan sekali lagi aku bertanya penuh keingintahuan akan keceriaan yang terdengar lewat senda gurau mereka yang begitu lantangnya.
Namun di hari yang lain lagi, melihat kilasan bayangan kabur mereka pergi bekerja di tengah selimut kabut pagi buta hingga aku bahkan hanya bisa mendengar gemeretak kerikil yang terinjak kaki-kaki tak beralas hingga menjadi salah satu bunyi-bunyian tercantik yang pernah ku dengar. Melihat mereka bekerja dibawah teriknya matahari bulan Juli hingga tak mampu lagi peduli pada indahnya daun-daun karet yang berubah kuning dan oranye layaknya musim gugur datang lebih awal tahun ini, serta melihat mereka berjalan pulang di bawah deras serta tajamnya air hujan sore bulan Februari. Melihat mereka berjalan dengan mengenakan topi purun lebar sambil mengacuhkan cantiknya kehijauan tunas-tunas daun baru kebun karet di Maret itu. Iring-iringan yang anggun sekali bagai parodi karnival musim semi para petani. Kerinduan sepanjang jalan untuk menemui anak-anak yang telah menunggu juga suami yang belum diketahui apakah telah berada di rumah atau belum. Tak ada sandal apalagi sepatu sebagai alas, hanya kaki telanjang pecah-pecah bercampur lembeknya tanah basah. Aku membayangkan betapa lelahnya mereka hari itu dan segera aku merasa begitu beruntung. Meskipun demikian aku masih bisa melihat senyum dan tawa mewarnai perjalanan pada wajah-wajah bersahaja mereka. Alam pun memberi para wanita itu penghargaan dengan hangatnya matahari yang langsung bersinar lembut dan pelangi terbaik sore itu setelah mereka sampai di depan pintu.
Ada begitu banyak permasalahan harus dihadapi oleh wanita khususnya wanita pekerja di seluruh dunia yang terutama lagi di negara ini. Mulai dari standar upah yang di bawah rata-rata, diskrimasi di tempat kerja hingga pelecehan seksual. Masih banyak wanita di sekitar kita yang hak serta perlindungannya cenderung terabaikan namun lebih banyak lagi dari kita yang menolak membuka mata untuk melihatnya. Kaum hawa patut kita beri penghargaan serta dukungan demi membangkitkan kesadaran mengenai kedudukannya dalam strata keluarga, sosial, dan negara, meskipun aku sangsi bahwa mereka sungguh-sungguh menyadarinya. Wanita haruslah memperkuat posisinya agar suara mereka dapat memberi sumbangsih terhadap kemajuan umat manusia.
Sebagaimana yang telah Ayahku katakan suatu hari kepadaku.
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang terbaik yang dapat ayah lakukan sejauh ini adalah dengan memberi pekerjaan kepada mereka semampu yang bisa diberikan dan menghargai mereka sebagaimana setiap individu juga memiliki perasaan berharga. Kita bukanlah pembuat kebijakan, pemilik perusahaan maupun pemegang saham nak, tapi kita bisa berusaha melakukan yang terbaik sebagai seorang manusia terhadap manusia lainnya. Walaupun kita tahu bahwa mungkin apa yang kita berikan belumlah cukup, namun pelajarilah ucapan terima kasih yang terlontar dari bibir mereka serta keramah-tamahan nya padamu atas bantuan itu. Lihatlah! Jangan sekedar dengarkan saja, bahwa ada rasa syukur kepada Tuhan dan penghargaan bagimu yang teramat dalam di sana. Belajarlah bersyukur dan tata cara berterima kasih dari orang-orang yang sederhana itu,” demikian kata ayah pada putri delapanbelas tahunnya waktu itu.
Saat aku melihat mereka sekali lagi di bawah hujan dengan kata-kata ayah yang bergaung di dalam tubuhku, saat aku tidak bisa melihat sinar matahari di sore yang gelap itu, aku dapat merasakan hatiku melonjak bahagia karena melihat mereka lewat di depan rumah. Telah ku temukan senyum tulus memesona datang dari wajah-wajah mereka di balik teralis jendela kamarku. Berdiri dengan nyamannya di dalam kamar yang hangat sambil terus memperhatikan mereka yang sedang menjauh berlalu ku dapati perasaan damai yang tak biasa. Aku tersenyum dan mengangguk membalas senyuman serta anggukan ramah mereka padaku. Para wanita dan ibu seperti merekalah yang menjadi tonggak-tonggak berdirinya kelangsungan negara ini lewat anak-anaknya yang menempa pendidikan di sekolah negeri murah, orang-orang seperti merekalah yang sesungguhnya menjadi pejuang devisa kita yang harus menghadapi berbagai kerumitan dan ketidakadilan.
Tidak ada alasan untuk tidak merasa bangga pada pribadi-pribadi kuat sedemikian rupa baik kemarin, sekarang, dan yang akan datang. Di lain waktu aku tidak akan bosan melihat keindahan yang seperti ini. Tersenyum dan mengangguk untuk membalas dan menghormati sikap ramah bersahaja sosok-sosok kuat ini kapan saja. Pernah mengenal serta menyaksikan seserpih bagian dari hidup mereka adalah salah satu hal terbaik dalam hidupku yang pernah ada. Merekalah yang sejatinya menjadi DIVA di hati kita sepanjang masa. Kenangan mereka yang mewarnai indahnya warna empat musim perkebunan karet mengisi tempat khusus di hatiku selamanya.

Nurul Sutarmaji
17 Juni_18.49pm 2008.
EGO

Stang sepeda motorku terasa tidak nyaman dan cenderung mengarah ke sebelah kiri. Kedua tanganku harus sekuat tenaga mempertahankan agar posisinya tetap berada di tengah tapi itu malah membuatku sakit dan tersiksa dari punggung atas hingga pinggang bawah. Sedikit demi sedikit aku merasa kram pada bagian pinggang padahal jarak yang ku tempuh masih duapuluh lima kilometer lagi untuk sampai ke kos baru Arifa. Rasa sakit di pinggangku sudah hampir tidak tertahankan begitu juga dengan hatiku sekarang yang hampir meledak bahagia. Aku sering rela menempuh perjalanan sejauh empatpuluh kilometer hanya untuk curhat. Arifa tahu segala hal tentang diriku dan kehidupanku. Ia sahabat terbaik tempat berbagi segalanya dalam kata “ terima kasih, aku sayang kamu, semuanya akan baik-baik saja, kau harus bersemangat, berjuanglah, dan maaf aku bad mood kemarin ”.
Sudah hampir lima tahun ibu meninggal karena kanker hati yang dideritanya, baru hampir lima tahun pula aku berprofesi sebagai mahasiswa merangkap jadi anak, kakak, sekaligus adik rumah tangga atau apapun istilahnya. Ia telah mengambil apa yang menjadi milikNya, yaitu harta kami yang paling berharga, perhiasan rumah kami yang tiada duanya, seorang ibu yang telah ia pinjamkan padaku dan keluargaku. Kehilangan ibu meninggalkan jejak trauma yang mendalam di hati semua orang. Bukan hanya karena ketiadaan dirinya lagi di rumah tapi juga alasan kematiannya akibat kanker tak terdeteksi yang ia derita. Perasaan shock juga bersalah menggelayuti hati masing-masing dari kami akan kehilangan dia yang begitu cepat. Kadang aku bertanya pada Tuhan kenapa ia harus pergi karena kanker. Memikirkan hal ini seringkali membuatku menghela napas yang teramat panjang demi membayangkan rasa sakit yang harus ia tanggung di hari-hari itu kemudian ini membuat kepalaku berdenyut-denyut.
Sejak ibu meninggal otomatis segala hal yang berhubungan dengan rumah dan tetek-bengeknya jatuh padaku dan kakak perempuanku. Namun ia telah menikah setengah tahun lalu dan kini tinggal dengan suaminya. Beberapa bulan sebelum ia menikah ia tak jadi seseorang yang ku harap bisa membantu di rumah karena ia sibuk dengan tetek-bengek pra nikah. Seringkali ia mengeluh tentang orang-orang rumah yang tidak membantunya sama sekali. Ia merasa memikirkan segala hal sendiri padahal apa yang tidak aku dan orang rumah lakukan untuknya. Tidak tahu apakah ia terlalu tertekan dengan urusan pernikahan ataukah terlampau bersemangat dengan semuanya. Kakak perempuanku beranggapan bahwa sedari itu aku harus mulai bertanggung jawab sendiri atas segalanya. Bolehkah jika ku bilang aku belum siap?
Tradisi-tradisi ritual sebelum pernikahan menyita tenaga dan perhatianku di rumah. Hari dimana kakakku mengadakan acara lamaran adalah dua hari sebelum aku sidang skripsi, dan seluruh konsentrasiku menguap akibat hiruk-pikuknya keadaan. Aku merasa sesak dan butuh ruang sendiri tanpa ada orang-orang lain yang terus menerus meneriakiku setiap waktu. Sementara di lain pihak aku masih harus pusing memikirkan laporan dan tugas-tugas menumpuk dari dosen sekaligus menu-menu makanan setiap hari, pekerjaan harian rumah tangga, jadi akuntan keuangan dan bagaimana menghemat pengeluaran anggaran belanja, listrik, ledeng, sampai menjaga perasaan Dede yang sensitif dan macam-macam lagi. Aku merasa komputerku lah yang banyak membantu meringankan pikiranku karena aku tidak perlu membagi waktu antara pergi ke rental komputer dan pekerjaan rumah tangga. Komputer ini dibeli dengan uang asuransi ibu yang baru keluar setahun sesudah kematian beliau. Kurasa komputer inilah salah satu peninggalan ibu yang paling berharga. Ayah sungguh baik meskipun hanya barang second namun beliau masih ingat bahwa sebagai seorang mahasiswa seperti aku, memiliki komputer cukup penting.
Kini aku kesal, marah, lelah yang tidak tertahankan. Beranggapan bahwa kehidupanku menjadi kacau seperti sistem komputer yang terkena virus W32 Amburadul dan membuat programnya berjalan lambat, mengobrak-abrik semua data, hingga semua sistem menjadi kacau-balau bahkan mematikannya. Semester sebelas sudah, skripsiku tidak kunjung selesai, aku hampir saja gagal di final test dua mata kuliah penting yang membuatku mencapai nilai kurang memuaskan, dan aku terlalu takut untuk mengangkat topik uang persiapan wisuda. Aku berpikir andai saja masih bekerja memberi les privat mungkin aku bisa menyisihkan sedikit untuk membuat kebaya dan membayar uang bimbingan skripsi dan sidang. Tapi tiga bulan lalu aku memutuskan berhenti. Aku terlalu capai untuk bisa meraih semua hal dalam satu waktu dan menciptakan gambaran sempurna terhadap diriku sendiri. Terlalu lelah untuk merasa bersalah pada murid-murid privatku bahwa aku sudah kehilangan semangat dan tenaga untuk mendukung belajar mereka dari hari ke hari. Terlalu egois untuk mulai membebankan segalanya pada bapak. Terlalu sakit untuk mengakui bahwa aku begitu menderita semenjak ibu tidak ada. Hatiku diam-diam menyembunyikan ketakutan dan depresiku.
Ketakutan menghantui hidupku mulai dari itu bahwa Tuhan mungkin akan menganggapku kurang bersyukur dan tidak tahu diuntung. Aku pergi ke pengajian empat kali seminggu mendengarkan petuah guru tapi masih saja jadi orang berpenyakit hati dengan shalat yang tidak khusyu. Mungkinkah aku terlalu rese terhadap hidupku sendiri dengan berusaha ikut campur dengan sunatullah-Nya yang telah digariskan. Membebani diriku dengan hal-hal yang seharusnya ku ikuti saja kemana arusnya menuju tanpa harus memikirkan semuanya dalam ruang otakku. Barangkali aku perlu satu batu bersyukur seperti yang dimiliki salah satu narasumber di film The Secret yang ku tonton tempo lalu untuk membantuku mengingat semua hal baik yang sudah Tuhan berikan. Atau mungkin bagus juga kalau aku punya satu pensieve seperti milik Prof. Dumbledore dalam novel Harry Potter yang bisa membantu menyimpan kelebihan beban pada memoriku, hingga pada saat-saat yang diinginkan aku bisa masuk ke dalam pensieve yang berbentuk seperti baskom besar itu untuk menilik kembali hal-hal yang telah terjadi.
Seringkali aku bercanda dengan Arifa tentang statusku ini. Berseloroh soal aku yang sudah jadi ibu rumah tangga bahkan sebelum menikah lalu tenggelam dalam ironi yang pada ujungnya membuat kami bingung apakah harus berkaca-kaca ataukah geli. Nasib Arifa sebagai mahasiswa mungkin lebih mengharukan dariku. Orangtuanya sudah tak pernah mengiriminya uang SPP dan bulanan dengan lancar semenjak semester tiga. Keadaan bertambah parah ketika ayahnya yang berada di kampung terkena stroke. Segala hal yang berhubungan dengan finansial bisa dikatakan terputus setelah semester lima. Siang dan malam dia bekerja sebagai guru privat untuk membayar kos, makan, dan SPP, sekalipun demikian dia tidak pernah dapat beasiswa. Birokrasi yang terlalu bertele-tele di kampus mengurungkannya mendekati kantor tata usaha atau mungkin juga pemberian beasiswa yang seringkali tidak merata dan tepat sasaran.
Fakta adalah, bahwa para penerima beasiswa merupakan mahasiswa berprestasi dan tidak mampu, dan ada banyak juga diantara para mahasiswa berprestasi itu yang mampu bahkan bisa mendapatkan beasiswa lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan adalah fakta menyakitkan nomer dua sebenarnya dari sebuah rahasia umum di kalangan mahasiswa yang lain, namun lebih banyaknya mahasiswa kurang mampu, kurang berprestasi, bekerja untuk membiayai kuliah, juga tidak mendapatkan beasiswa adalah fakta menyedihkan nomer satu yang sesungguhnya. Sepertiga dari teman-teman sekelasku adalah orang-orang membanggakan dalam kategori terakhir ini. Mungkin ada lebih banyak lagi yang seperti mereka di tempat lain. Aku mengenal teman-temanku ini sebagai para mahasiswa yang bekerja dan berbuat lebih keras untuk studinya dibandingkan orang lain dan diriku sendiri, karena bagi mereka tak ada yang namanya santai. Saat mereka rehat memikirkan sulitnya perkuliahan maka waktu akan diisi dengan bagaimana caranya menambah pemasukan. Saat masalah uang terselesaikan mereka memikirkan bagaimana caranya membagi waktu antara kerja dan perkuliahan, juga tenaga, otak, hingga perasaan pada dua hal sekaligus yakni kuliah plus dosen berhati super sensitif karena mahasiswanya nampak lebih suka kerja daripada perkuliahannya. Berada dalam posisi seperti ini ibarat dua sisi mata pedang. Namun sedikit sekali yang mau memandang isu tersebut dari sudut pandang mereka dan menghargainya lebih dari sekedar angka-angka pencapaian akademis. Kebanyakan dosen menunjukkan ketidakpedulian tanpa berusaha melakukan pendekatan yang lebih baik demi membantu mengatasi masalah. Bagiku, usaha keras mereka untuk mempertahankan kuliah di tengah himpitan kehidupan adalah sebuah nilai A+ serta saksi bisu dari magna cumalaude tersembunyi mereka.
“Sulit dimengerti padahal aku ‘ggak minta uang universitas buat beasiswanya, tapi minta surat keterangan aktif kuliahnya saja kok susah!” keluh Arifa suatu hari padaku.
Sekarang Arifa dihadapkan pada kenyataan berada di semester duabelas dengan skripsi yang dipersulit, kredit motor menunggak, biaya skripsi, juga wisuda yang belum ada dananya. Tentu saja ini bukan hanya masalah kami berdua. Aku mengenal banyak teman lainnya yang menghadapi masalah dengan latar cerita kurang lebih sama bahkan ada yang setiap semesternya tetap membayar SPP namun tidak mengambil satu mata kuliahpun karena harus bekerja. Membayar SPP tetap dilakukan sekedar untuk mempertahankan status mahasiswa meskipun sesungguhnya ini menyakitkan bagi mereka. Yah, dengan sedikit harapan keberuntungan kalau-kalau nanti bisa meneruskan sampai skripsi dan memakai toga. Mungkin isu seperti ini hanya populer di kalangan mahasiswanya saja atau memang karena tidak ada pembuat dan pelaksana kebijakan dari pihak universitas maupun pemerintah yang peduli dengan isu semacam ini. Sungguh status sebagai orang berpendidikan haruslah dibayar mahal dan teman-temanku yang sepertiga itu sangat berprestasi dibidangnya. Mereka patutlah mendapat award sebagai mahasiswa rajin. Rajin kuliah, rajin bekerja, rajin dapat C serta rajin tawakkal.
“Mengeluh dan curhatpun percuma sama mereka, soalnya tetap sulit membuat dosen kita bertanya, ‘Kenapa sudah semester duabelas masih bergumul dengan skripsi atau kenapa raut muka kamu kelihatan lebih mementingkan pekerjaan daripada saya, atau kenapa setiap kali konsultasi garis-garis di wajah kamu menunjukkan penuh beban dan tampak lebih banyak daripada garis-garis di muka saya?’. Mungkin kalau aku dapat suntikan dana kuliah dan ‘ggak lebih banyak jam kerja daripada jam kuliah setiap hari pasti nilaiku lumayan bagus. ‘Ggak perlu banyak ngulang”, kata Arifa.
“Andaikan baru semester-semester awal plus banyak uang kayaknya bagusan kalo kita transfer kuliah ke program mandiri. Gosipnya nilainya cakep-cakep, mahasiswanya juga!” sahut Fairuz.
“Program mandiri. APAAN TUCH!!!”, lontar Rima ketus sambil membuang muka. Hidungnya kembang-kembis dengan bibir yang sudah seperti puncak makam Fir’aun. “Kapitalisme sialan!” ujarnya lagi. Menurut kami she’s terribly angry.
Opini-opini ini timbul suatu hari setelah kami mendengar kabar dari Salma tentang teman kosnya dari jurusan lain yang mendapat dua beasiswa sekaligus padahal dia mampu.
“Memang sih IPnya tiga terus!” kata Salma. “Dia nanya kenapa aku ‘ggak dapat scholarship juga padahal IPku lewat dari dua koma tujuh lima. Ku bilang aja andaikan otomatis dapat aku juga ‘ggak mau. Coba ya? Kan banyak teman-teman kita yang lebih pantas. Mereka ogah survey aja. Habis ku bilang gitu tetep aja mereka ngelonyor shopping ke Ambassador Mall make scholarship fundnya”, komentar Salma pedas padahal biasanya dia tipe gadis lembut.
Ironis memang. Kalau sudah begini, masih adakah yang tega menetapkan lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara yang disinyalir cenderung bersifat kapitalis dan kurang berpihak pada kaum pengenyam pendidikan yang pada umumnya berstatus sebagai warga kebanyakan. Kapitalisme tidak selayaknya menjadi penguasa dalam dunia pendidikan kita seperti tidak layaknya sebuah penelitian tindakan kelas karena dianggap kurang manusiawi terhadap subjek siswa yang diberi perlakuan percobaan. Pendidikan bukanlah sebuah bisnis, namun pendidikan adalah hajat hidup orang banyak. Bukankah negara ini melindungi hak setiap warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang layak, namun fakta menunjukkan bahwa semakin hari target pendidikan semakin tidak tepat sasaran akibat sebuah sindrom yang dinamakan keserakahan dan setiap hari manusia semakin sulit memahami arti belas kasih. Andaikan tidak ada lagi yang gratis di dunia ini apakak salah jika setidaknya yang terjangkau masih tersisa.
Sahabatku Arifa punya sebuah motor hasil kredit yang menjadi pahlawannya dalam bekerja siang dan malam, motor itu mengantarkannya bahkan sampai ke sudut-sudut kota manapun tempat murid-muridnya berada. Motor itu juga dirinya telah mengalami beberapa kali kecelakaan bersama yang seringnya terjadi sebelum atau sesudah ia pergi mengajar privat dan sekalipun ia tak pernah memberi tahu orang rumah mengenai hal-hal buruk yang menimpanya. Baru-baru ini dia mengambil konsekuensi dengan menambah satu murid yang tadinya tiga menjadi empat hingga membuatnya berada selama enam jam atau lebih di luar rumah untuk mengajar privat agar kredit motornya tetap terbayar serta kehidupan kampus dan pekerjaan menjadi lancar namun sekaligus juga mengurangi fokus kuliahnya yang tetap ia usahakan sampai jungkir-balik macam pemain akrobat. Pada awal semester tiga ia bekerja untuk menutupi kekurangan kiriman dari orang tua, tapi dua semester sesudahnya dia bekerja untuk mengganti uang kiriman yang tak pernah lagi ada.
“Andai dosenmu tahu kalau ini yang harus kamu lakukan setiap hari mungkin beliau takkan tega memberi coretan besar-besar di atas skripsimu dengan hanya meninggalkan jejak berupa tanda-tanda tanya dan seru besar warna merah plus strip-strip ‘ggak jelas memenuhi setiap paragraph tanpa ada penjelasan sedikitpun,” ujarku padanya suatu ketika saat kami sedang menikmati minum es di hari panas menyengat di bawah gazebo kampus sehabis konsultasi skripsi melelahkan. Tanggapan Arifa waktu itu hanya sebuah senyum kaku yang menurut definisi Bill Cosby termasuk dalam kategori senyum seperempat bagian.
“Aku tahu makna belajar mandiri sebagai mahasiswa, apalagi inikan penelitian kita. Tapi ngomong dikit, sekalimat dua kan gak ada salahnya”.
Dengan demikian berarti aku jauh lebih beruntung daripada Arifa karena memiliki dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dan mendukungku dengan sepenuh hati yang langka didapatkan hingga aku harus dengan sedih hati meninggalkan kampus tanpa bersama-sama dengannya di akhir semester sebelas lalu. Hingga hatiku seringkali menjadi kelu saat memandang wajah Arifa tak ada dalam foto-foto yudisiumku karena ketidakhadirannya. Masalahnya hanya padaku yang sering kekurangan waktu untuk menyelami skripsi. Seringkali aku tercekat dan tenggelam dalam kerongkonganku sendiri akibat teriakanku yang tidak keluar bahwa aku butuh ruang untuk menyepi, bersikap egois sesekali, dan butuh waktu dimana ingin memikirkan diriku juga urusan-urusanku sendiri. Tenggelam dengan tugas-tugas yang harus ku buat, coretan-coretan tinta hitam biru berisi keterangan-keterangan kesalahan laporan perkembangan skripsiku, ditambah sms-sms curhat teman-teman seperjuangan yang masuk ke handphone tuaku yang seringkali sulit terbalas karena masalah pulsa.
Lulus kuliah memang sangat melegakan namun bukan berarti segala bebanku jadi berkurang. Aku bekerja sebagai seorang guru honor dengan gaji duaratus empatpuluh ribu rupiah sebulan dan selalu terbersit keinginan untuk menyudahi saja pekerjaan itu. Mempertahankan pekerjaan inilah alasan terbesar yang menimbulkan dilema baru di hatiku. Harapan-harapan bapak serta harapan-harapanku sendiri memenuhi tiap-tiap rongga tubuhku hingga aku merasa semakin menggelembung membengkak dari waktu ke waktu. Baik jika kau merasa larger than life (lebih besar daripada hidup) seperti satu syair dalam lagu boyband Back Street Boy, tapi tidak jika larger than body (lebih besar daripada tubuh) yang menjadikanmu sesak dengan dirimu sendiri. Bila kau mulai merasakan gejala-gejala kedua mungkin saja kau sedang mengalami sindrom kemunduran identitas.
Ada kalanya aku merasa bersalah jika memikirkan ingin punya seseorang yang mau mendengarkan, memahami apa yang menjadi kebahagiaanmu dan mendukung cita-citamu sepenuhnya, terlebih jika itu adalah orang tua. Itulah sebabnya pula aku senang menonton acara Nanny 911 di salah satu televisi swasta karena menurutku aku harus belajar banyak sebelum memiliki keluarga.
Terdapat satu pertanyaan besar dalam benakku akan suatu gejala di masyarakat yang apakah sudah ada sejak dulu kala ataukah sejak pemerintah menaikkan standar gaji dan tunjangan untuk PNS maka banyak orang tua terkena sindrom “ingin anaknya jadi PNS”. Padahal jika ditilik kembali, sebagai manusia kita terlahir dengan fisik yang berbeda dan tentu saja dengan keinginan yang berbeda-beda pula. Betapa baiknya jika kita belajar memandang keinginan orang lain dari sisi orang itu bukan hanya dari kacamata kita semata. Dunia menjadi indah dengan beragam manusia yang memiliki keinginan berbeda-beda dalam mengarungi hidupnya. Barangkali tiap-tiap orang boleh saja memiliki latar yang sama, namun ke depannya apakah segala sesuatu harus terlihat sebagaimana yang kasat mata? Jawabannya adalah tidak, karena setiap kita menempuh alasan yang berbeda-beda terhadap judul dan latar yang menjadi pola-pola pada kehidupan tersebut. Suatu hari aku pernah mendaftarkan lamaran pekerjaan di sebuah perusahaan dan berencana berhenti bila diterima disana. Aku pun menanyakan perihal pendapat bapak tentang hal ini yang beliau tanggapi dengan diplomatis dan menyerahkan keputusan di tanganku, bahwa aku tahu apa yang ku inginkan. Tapi aku sulit menerima jawaban itu sebagai sesuatu yang terlontar dengan jujur mengacu kepada volume suara bapak yang frekuensinya pelan sekali serta kurang tegas seperti biasa. Aku menangis dalam hati, mungkin aku salah kalau merasa agak kehilangan bapak selama setahun terakhir.
Menjaga rumah memilliki arti menjaganya secara fisik dan non-fisik. Kau melakukan tugas-tugas kerumahan baik yang bersifat material maupun spiritual. Spiritual yang dimaksud adalah menjaga perasaan orang rumah agar tetap merasa nyaman selelah apapun fisik dan jiwamu. Kemungkinan bahwa mereka jadi kurang sensitif dengan perasaanmu adalah hal biasa. Mereka selalu mengharapkan kau menjadi sosok yang sempurna karena kau jadi manajer rumah tangga. Alih-alih menjadi egois kau adalah sosok yang kurang peduli pada diri sendiri. Itulah yang mungkin dulu sering dirasakan kakak perempuanku dan tentu saja aku. Dengan begini aku mengerti benar rasanya jadi ibu dulu. Benar saja kalau kakakku senang bukan main bisa kabur dari tugas itu sekarang. Ya Tuhan, jangan biarkan aku tidak dapat pahala karena berperasaan seperti ini. Sering aku bicara atau berteriak pada otakku sendiri dan orang rumah “Stop pretending mom” atau berhenti bermain pura-pura menjadi ibu tapi keluargaku tidak mendengarnya.
Setelah menikah kakak perempuanku dan suaminya masih tinggal di rumah selama tiga bulan. Kami jadi sering bertengkar karena ku rasakan rumah penuh sesak dan ia menjadi semakin egois, mudah tersinggung, juga cepat marah. Ia selalu mengemukakan ide-ide bahwa kami haruslah menjaga perasaan suaminya yang tak bisa sepenuhnya aku terima. Memutuskan untuk tinggal bersama berarti mengambil konsekuensi menanggung segala hal bersama pula apakah itu baik ataukah buruk. Tidak dapat lebih mementingkan satu dari lainnya. Lagipula kami telah mengenal suaminya jauh bertahun-tahun sebelum mereka menikah. Kurasa dia tahu bagaimana saat-saat damai dan kemelut di rumah. Atau mungkin juga kenyataan bahwa teman berbagi kamar bertahun-tahunku ini kini lebih peduli pada orang asing daripada saudaranya sendiri telah mengiritasi perasaanku hingga membuatku lebih perasa. Ada saat aku sering mengurung diri dalam kamar dan menangis demi menghindari pertengkaran lebih jauh. Kini mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumah dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, ini berdampak pada hubungan kami yang membaik kembali.
Suatu ketika aku ingat akan pesan Tuhan yang mengatakan bahwa sering kali kita tidak menyukai sesuatu yang mungkin ada banyak kebaikan dalam hal tersebut yang telah Tuhan ciptakan bagi kita. Ini menjadikanku berpikir kembali tentang segala hal yang telah terjadi hingga memberiku dilema gaya baru, namun Tuhan juga memintaku untuk percaya pada-Nya, percaya akan kekuatan doa-doa, serta percaya pada hatiku.
Puncak dari semuanya adalah dengan aku yang memutuskan mencoba menempuh jalanku sendiri dan mengundurkan diri sebagai guru honor setelah bertahan selama satu semester. Hampir setiap orang yang ku kenal sedikit menyesalkan tindakanku yang melepaskan semua kesempatan-kesempatan menyoal jadi PNS, tunjangan bulanan, tahunan, pensiun, gaji ke tigabelas, idealismeku, dan lain sebagainya. Aku sungguh-sungguh bicara pada bapak serta memohon ridho beliau sebagai orang tuaku satu-satunya yang akan membuka jalan kebahagiaanku. Aku tahu bahwa bapak percaya akan keinginanku untuk membuat beliau bahagia begitu kuat, tapi aku memiliki cara dan jalanku sendiri. Aku mau beliau membantuku sekali lagi untuk mencapai setiap impian yang pernah ku ucapkan saat aku masih seorang anak-anak dengan ridhonya yang utama.
Sepeda motorku berhenti di sebuah rumah kontrakan berpagar kayu. Arifa menyambutku gembira, mencium pipi kiri dan kananku sebelum aku memeluknya hangat. Dia memberitahuku bahwa ia akan sidang skripsi satu minggu lagi dan bahwa kekasihnya Mas Nugie sudah bekerja di sebuah bank pemerintah yang artinya masalah bea wisuda sedikit banyak akan teratasi karena ia berjanji akan membantunya. Saat mendengar bahwa aku akan bekerja di kota ini dia mengajakku tinggal di rumah kontrakan yang bisa kami sewa bersama. Katanya untuk mencari suasana baru dari kos. Ini kali pertama aku mengunjungi tempat ini. Sebuah rumah yang memiliki dua kamar, satu untuknya dan satu kamar untukku. Tak lama lagi aku akan memulai pekerjaan baru dalam divisi yang berbeda di tempat yang selama ini kami impikan masing-masing. Pengalaman selalu diberikan kepada mereka yang percaya tentang memulai segala sesuatunya dari sebuah awal yang dinamakan kesempatan dan keyakinan hati.
Dengan percaya aku belajar menulis dan mengingat masa lalu dengan kaca mata yang hanya berisi nilai-nilai penuh kebaikan dari kehidupanku. Belajar melihat hidup lewat apa yang aku percaya akan diriku yang sesungguhnya, mencoba mencari tahu apa yang Tuhan inginkan dari keberadaanku, bukan lewat apa yang menjadi keinginanku dan bukan lewat apa yang orang lain lihat dan mau dariku. Karena kita semua adalah tentang apa yang kita percayai bukan tentang apa yang kita inginkan. Dengan percaya maka segala hal menjadi begitu mudah untuk dicapai.
Aku percaya bahwa dari sekian banyak hal yang telah kau lakukan untuk mewujudkan mimpi-mimpimu tidak mungkin satupun tidak ada yang tercapai. Dulu aku pernah mencoba pekerjaan semacam itu dan gagal, tapi saat waktu memberiku kesempatan sekali lagi, aku kembali datang untuk jadi pemenang, meskipun tidak pada tempat dan waktu yang sama. Dan aku juga selalu percaya bahwa alam semesta begitu luas tak terbatas karena Tuhan begitu Maha Besarnya, maka ada lebih dari cukup persediaan untuk semua keinginan, ada lebih dari satu atau dua bahkan ribuan kesempatan yang datang dalam kehidupan pada diri setiap orang. Tanpa pernah memandang apakah kau sudah mendapatkannya sekali kemarin atau dua kali hari ini, tetaplah percaya akan kesempatan yang selalu datang setiap saat. Dan aku berucap pada Tuhan “Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk mengabulkan semua doa akan kekuatan dan kesabaran serta hidup yang penuh dengan kelimpahan”. Aku belajar bahagia dengan diriku.


***