Jumat, 23 Oktober 2009

My Soul’s_Milik Jiwaku

Manusia seringnya terkungkung, ketakutan di masa kini dalam masa depan.
Tapi inilah aku, seluruh hidupku, tak dapat disangkal telah dipersiapkan untuk semua ini.
Kenapa, kenapa harus takut, Ia telah mengujiku dengan berbagai hal, meskipun aku tidak telah melaluinya dengan terlalu baik, tapi setidaknya aku percaya, Dia, memahamiku sepenuhnya.
Untuk apa aku berkata bahwa aku meyakiniNya dengan segenap jiwaku yang rapuh dan tak berharga, bahwa ia selalu bersamaku, bahkan jika pikiran kosong dalam kepalaku berkata; bahwa aku tak layak untuk menentukan jalanku sendiri.
Mestinya tak ada ketakutan, ketika kau ingin mengisi hidupmu dengan melakukan yang terbaik.
Bukan, bukan yang menurut orang lain baik bagimu, tetapi bertanya pada dirimu, dengan hati yang terbuka dan jujur, apa yang terbaik bagimu?
Lalu aku kan menyandarkan seluruhnya ke tangan Tuhan, dan membiarkan Dia membuat penilaian atas apa yang telah ku lakukan.
“Menjadi diri sendiri adalah hartaku kini”.
Katakan padaku! Berapa banyak orang yang hidup, dengan menyebut diri mereka dengan namanya, “Aku…”, tapi mereka tenggelam, berenang dalam angan, dan mimpi, dan pikiran-pikiran orang lain; bahkan terlalu pengecut untuk berjalan dengan dagu yang terangkat.
Disini, berdiri menjulang mimpiku, dekat sekali ke hatiku, sedekat urat nadiku, sehingga bisa ku dengar deburannya memecah kebuntuan jiwa, tempat dimana aku tak perlu mencarinya jauh di lubuk hati orang lain.
Menemukan dimana hatiku berada sejak kini.
Berlampau-lampau waktu terus melaju, Dia menunjukkanku jalanNya, bersamaku, menemukan cahayaku sendiri yang masih redup.
Segera, ia akan berubah terang, menyala seiring keyakinanku, dan menjauhkannya dari kesia-siaan.
Hingga waktunya bagiku untuk tahu, tak ada tempat lain yang lebih indah dan membuatku bahagia selain meletakkan hatiku pada apa yang ku percaya
This Will Not Win Him
~ Jalaluddin Rumi ~

Reason says,
I will win him with my eloquence.

Love says,
I will win him with my silence.

Soul says,
How can I ever win him
When all I have is already his?

He does not want, he does not worry,
He does not seek a sublime state of euphoria -
How then can I win him
With sweet wine or gold?

He is not bound by the senses -
How then can I win him
With all the riches of China?

He is an angel,
Though he appears in the form of a man.
Even angels cannot fly in his presence -
How then can I win him
By assuming a heavenly form?

He flies on the wings of God,
His food is pure light -
How then can I win him
With a loaf of baked bread?

He is neither a merchant, nor a tradesman -
How then can I win him
With a plan of great profit?

He is not blind, nor easily fooled -
How then can I win him
By lying in bed as if gravely ill?

I will go mad, pull out my hair,
Grind my face in the dirt -
How will this win him?

He sees everything -
how can I ever fool him?

He is not a seeker of fame,
A prince addicted to the praise of poets -
How then can I win him
With flowing rhymes and poetic verses?

The glory of his unseen form
Fills the whole universe
How then can I win him
With a mere promise of paradise?
Cermin

Musim panas yang sungguh memabukkan tahun ini. Peduli apapun kata orang sinis tentang hanya menghabiskannya dengan tinggal di dalam rumah, berebah di atas lantai yang dingin, atau menonton televisi sampai kepalaku pusing. Semua yang ku inginkan hanyalah rehat sebentar. Hawa begitu gerahnya, bisa menguarkan semua cairan dalam tubuhmu bahkan mungkin akal sehatmu juga. Aku banyak berpikir bulan lalu saat berebah di atas lantai yang sejuk dengan angin hangat yang memainkan nadanya, berayun lewat gorden tilai yang melambai-lambai merdu. Aku merasa tidak semakin sehat dengan berpikir lebih ini, kecuali membuat hormonku jadi makin tidak seimbang. Intinya adalah ada ketidakbahagiaan dalam diriku Ya, boleh ku katakan dengan lantang, ADA KETIDAKBAHAGIAAN DALAM DIRIKU. Ada ketidakpuasan dengan karirku sekarang, yang padahal berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Seperti yang Mario Teguh katakan, setiap orang memiliki dorongan berbeda-beda terhadap karir, tapi aku merasa tak punya dorongan apapun untuk mencintai pekerjaan ini yang dengan, masya Allah, semua kekurangannya di luar dan di dalam diriku, kecuali ketika aku berceramah pentingnya pendidikan bagi murid-muridku dan sesekali membacakan satu kisah yang ku petik dari buku Chicken Soup sambil memandangi mata mereka yang hening, saat itulah aku menyukai pekerjaan ini.
Aku ingin hal yang lebih sebagai seorang wanita. Ingin menantang diri sendiri walau tak punya keberanian menghadapi, ingin meraup lebih banyak pengalaman meski sebenarnya tak punya nyali untuk mencoba, ingin mempelajari hal-hal baru bahkan dengan kecerdasan yang terbatas, ingin menjejaki tanah-tanah di dunia biarpun tak punya uang, ingin bertemu orang-orang mengagumkan tanpa peduli tampangku yang pas-pasan. Aku berpikir mungkin aku terlalu feminis, mungkin aku harus mengerem sedikit isme ku itu. Adik laki-lakiku mulai sering berdebat denganku tentang ini, dia kelihatan agak senewen. Aku suka mengatakan gendernya sok superior, ia juga suka beranggapan bahwa perempuan adalah yang pantas menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam. D.A.M.N... Ku katakan padanya, bukan permintaannya yang membuatku keberatan, mintalah padaku karena aku sebagai perempuan memang berbakat dan bisa melakukannya, bukan karena itu sudah suratan. Dia bilang aku kebarat-baratan. Sialan, lalu ku lontarkan padanya kalau sebagai seorang muslimah, aku keberatan dengannya. Bagiku; nilai-nilai agamaku, pendidikanku, konservatismeku, demokratismeku, berpikirku, atau apapun cara orang orang menyebutnya merupakan dasarku, pondasiku, pilar hidupku yang tak bisa di tawar. Menjunjung tinggi kedudukan pria dan wanita dalam ketetapan nilai-nilai religius yang ku anut, itu sebabnya aku menuntut penghargaan yang sudah sepantasnya wanita terima menurut ajaran agama. Ia harus dihormati, dihargai, disayangi, bukan untuk dieksploitasi. Aku murka!
Bermula saat aku kesal karena seringkali dia mengeluh jika harus menyiapkan makan malam pada hari-hari tertentu. Setelah seharian bekerja siapa saja pasti lelah kan, aku juga begitu, jika tidak aku tidak mengeluh harus mengerjakannya. Aku ingin istirahat supaya bisa meluruskan kaki. Pagi di sekolah, sore di lembaga. Aku menghabiskan tiga puluh jam seminggu untuk mengajar secara keseluruhan, dan makan angin di jalan bolak-balik antara sekolah, lembaga, juga les privat. Terus terang, aku benci sekali kalau salah satu temanku yang sudah punya status tetap bicara soal betapa lelahnya dia, berpikir kalau guru honorer itu tukang santai hanya karena jadwal masuk kantor tidak full enam hari seminggu. Dia tidak tahu bagaimana rasanya berada di jalan seharian dan berhenti mengenal yang namanya tidur siang ditambah lagi tunjangan yang ala kadarnya. Bayangkan, siapa coba yang mau hidup begitu!!!
Sulit menguasai kenyataan saat kau sadari kesenangan musim panasmu akhirnya mengering seperti tanah berdebu di halaman rumah yang tak tega kau sirami dengan air ledeng. Libur musim panas hanya berlangsung satu bulan, tetapi panas yang sama masih akan kau rasakan sampai November mendatang. Setidaknya begitu menurut ramalan cuaca. Ku pikir ramalannya ada benarnya, pemanasan global tidak bisa disalahkan atas semua ini. Yang harus disalahkan adalah kita sendiri. Oh, andai aku bisa pergi kemana-mana naik sepeda seperti wanita tahun limapuluhan yang ada di film Monalisa Smile yang ku tonton beberapa menit yang lalu. Film yang sangat menginspirasi, sanggup membuat wanita manapun tergerak hati bercita-cita jadi pejuang hak-hak perempuan. Meskipun sungguh, aku takkan sanggup atau mungkin tidak terlalu sudi menjadi mirip dengan Miss Katherine Watson bahkan saat ku temukan beberapa persamaan yang sangat menonjol dalam diri kami berdua dan juga hidup kami. Bagaimanapun juga beberapa kelakuannya tidak bisa ku toleransi. Kebebasannya agak tak beradab menurutku. Kutemukan istilah baru di film ini untuk diriku; subversif, progesif. Agak keterlaluan, bahkan untukku sendiri.
Ada hal yang ku sesali dari film ini. Aku menyesal sekali kenapa tidak menontonnya lebih awal, yakni beberapa tahun lalu saat baru di luncurkan dan teman kuliahku meminjamkannya dari rental film. Samar-samar rasanya aku ingat kalau dia pernah bilang film ini tidak terlalu bagus. Mungkin karena dia adalah pria, yang ingin berdiri menjulang di atas karang rumah tangganya kelak di hadapan istri tercintanya, meskipun akhirnya waktu membantuku menemukan bukti kalau dia tidak berbakat untuk itu kecuali berada di bawah ketiak pacarnya. Teman satu kos ku yang punya VCD player adalah macam perempuan yang agak kuno. Yang mencintai kesensualan pemikiran-pemikiran terbatas atas keseksiannya sebagai perempuan, yang mungkin kecerdasan Katherine Watson tidak akan masuk daftarnya. Dan tentu saja wajahnya langsung menyuguhkan mimik bosan saat aku menyorongkan film macam Monalisa Smile untuknya. Yah, karena terakhir kali aku menemaninya pergi ke rental film dia memenuhi tasnya dengan film-film trio lawak paling kawakan di negeri ini. Wajah sahabatku Nina memberengut sembunyi-sembunyi di balik punggungnya. Maka film itu teronggok saja di atas meja kamarku, menunggu untuk di kembalikan dalam dua hari dan kami tak sudi nonton film komedi semacam yang dia tonton. Kami berhenti mengunjunginya sampai dia selesai menonton semua film itu. Untunglah. Andai aku sudah menontonnya, mungkin aku bisa langsung menyemburkan bisa pada Roni yang meminjamkan VCD itu, seperti semburan yang pernah kulakukan padanya setelah dia berkomentar kalau film semi porno yang ditontonnya dapat bintang dua. Wow, ternyata ismeku tidak separah itu. Smile for my self .
Monalisa Smile the movie mengingatkanku pada hari kemarin. Siang yang terik dan rasanya aku sudah kehabisan tenaga untuk berdiri lagi di depan kelas di atas terompahku pada jam-jam terakhir lalu berkoar-koar tentang tenses. Bagian otakku yang jahat membayangkan enaknya es kopyor kelapa muda, damn... padahal aku lagi puasa. Aku sedang mengabsen mereka untuk menjawab pertanyaan di depan kelas saat tiba pada satu wajah, dua bangku di belakangku. Gadis berwajah bundar yang nampak tidak puas. Mungkin karena karena dia merasa aku kurang memperhatikan ke arah mejanya, bathinku. Mataku melirik skema posisi duduk yang tertempel di atas meja dan ku temukan nama yang mirip dengan namaku, hanya meleset dua huruf. Ku panggil dia, ternyata itu bukan namanya. Dia hanyalah anak baru makanya wajahnya agak tegang memperhatikan aku yang kegerahan. Sialnya, harus ku akui bahwa sebagai wali kelas aku sangat mengecewakan. Seharusnya aku yang memperkenalkan dia pada teman-temannya bukan sebaliknya dan mengatakan “Gadis-gadis, ada murid baru di sekolah, dan kebetulan dia berada di kelas kita. Silahkan memperkenalkan diri” sambil mendorong lembut bahunya yang malu-malu sedikit ke depan. Tak ada yang memberitahuku kalau ada murid baru di kelasku, padahal aku wali kelas ini (for heaven’s shake!), kecuali murid-muridku sendiri. Ku tanyakan di mana gadis yang namanya mirip namaku itu, teman-temannya menjawab “dia menikah” dengan tampang takut-takut yang sangat kentara. Mungkin mereka ingat bagaimana gelegar suara dan seramnya tampangku saat menyampaikan wejangan-wejangan menggebu-gebu tentang “Pendidikan, modal utama menjadi wanita sejati” saat pertama kali aku memperkenalkan diri sebagai wali kelas mereka pada awal semester lalu .
Harus ku akui, aku sendiri merasa bukan guru yang baik. Waktu yang ku habiskan untuk menggembleng muridku dalam wejangan-wejangan filosofi kehidupan sama besarnya dengan yang ku habiskan untuk berkhotbah sampai serak tentang grammar dan vokabulari. Bila ku temukan mereka bercanda atau tidak memperhatikan pelajaran, maka aku akan mulai ceramah panjang. Menghabiskan setengah jam pelajaran untuk memberitahu mereka pentingnya education and educated bagi wanita. Nah! Kalau sudah begini apa bedanya dengan membiarkan mereka tertidur saja. Tokh pelajaran utama jadi tertunda.
Hatiku tidak terlalu patah kemarin, meskipun aku sempat shock hingga konsentrasi jadi buyar saat mengajar untuk kemudian nyerocos lagi betapa kecewanya aku di depan murid-murid yang kelihatannya emosi mereka ikut terbakar bersamaku. Tak ada yang tahu atau mungkin rela menjawab pertanyaanku kenapa dia menikah. Kacau. Aku mengucapkan doa bagi para orang tua dari murid-muridku yang tersisa, semoga mereka diberkahi dengan wawasan yang luas dan terbuka agar tetap membiarkan gadis-gadis yang manis itu bersekolah sampai tamat yang mereka timpali dengan “amin” yang lantang. Ya Tuhan, namanya hanya berbeda dua huruf dariku, tapi kami layaknya dua kutub medan magnet selatan-selatan yang sesungguhnya berlawanan. Tak ada yang bisa membuat kami menyatu. Kesamaan di satu sisi tak selamanya membawaku dan muridku itu pada jalur yang serupa. Gadis itu bahkan belum sampai menjalani seperempat semester ini. Tapi bukankah seperti pesan yang disampaikan dalam film itu bahwa kita harus menghargai segala sesuatu dari sudut pandang lainnya alih-alih hanya dari satu sisi saja. Seperti memahami lukisan Van Gogh dan Da Vinci. Semoga menikah ada baiknya bagi dirimya. Ngomong-ngomong aku belum pernah melihat lukisan Van Gogh dan Da Vinci kecuali di tivi, ensiklopedia, dan sebuah tas jinjing kertas milik temanku bergambar Mona Lisa bersenyum tanggung.
Tadi aku menangis meyaksikan film itu dan ingat takdir muridku. Hatiku miris kemarin dan kini, dipenuhi kemarahan yang persis sama seperti yang dipikirkan Katherine Watson. Jika sedari awal tidak berkomitmen tinggi untuk bersekolah, kenapa harus dengan cara begini. Kenapa tidak sekalian saja membuang-buang waktu diam di rumah sampai ada yang datang melamar. Aku sudah sering menghadapinya semester lalu. Murid-murid yang menikah pada pertengahan tahun mereka di kelas dua, gadis-gadis yang pamitan pada semester awal di kelas tiga bahkan mereka yang menciumi tangan-tangan kami pada bulan-bulan terakhir menjelang ujian nasional. Ada pula yang langsung menikah begitu ujian selesai, persetan dengan pengumuman kelulusan dan status yang sebenarnya masih sebagai murid karena belum ditasbihkan sebagai alumnus. Beberapa rekanku menganggap sikap terakhir ini keterlaluan, sedangkan aku pribadi menganggapnya sebuah kelancangan, sikap tidak hormat terhadap institusi pendidikan. Mereka akan datang ke kantor lalu menempelkan punggung tangan para guru satu-satu pada dahi untuk pamit. Penyesalanku tak sebesar ini waktu itu, kesalku juga tak semeradang ini, karena aku bukan wali kelas mereka. Semester lalu aku belum dinobatkan sebagai salah satu wali untuk kelas satu seperti yang ku terima sekarang. Tapi kemarin, mengetahui itu terjadi pada bawahan sendiri yang baru sebulan menjadi muridku ternyata menyakitkan.
Tunggulah nak, kataku dalam hati, sampai kau benar-benar siap. Sampai hati sekali orang-orang yang membiarkan hal seperti ini terjadi pada anak-anak perempuan. Seberapapun aku mencintai keberadaannya sebagai muridku, aku tak berdaya menentang orang tuanya, nasibnya, dan budaya ini. Ku tempelkan di dinding kelas tulisan indah dari Andrea Hirata yang menjadi sinopsis pada sampul belakang novel Edensor dan berdoa semoga itu menjadi inspirasi mereka. Biarlah ku letakkan di tempat dimana mereka semua bisa terus memandang dan membacanya. Sesuatu yang akan menggugah dan menyemangati murid-muridku yang hidup di zaman yang menantang kini. Juga sebuah doa bagi diriku sendiri, karena pesan dalam film Monalisa Smile dan novel Edensor benar adanya; ketika kita berusaha mencari sesuatu dalam diri orang lain, sesungguhnya itu juga merupakan sebuah pencarian terhadap diri kita sendiri. Untukku sekarang, mendapat kesempatan dari Tuhan untuk mendidik mereka sama dengan mendidik diriku sendiri. Aku sendiri merasa tak ubahnya dengan si Mona Lisa, tersenyum di luar, meradang di dalam. Tapi aku berjanji takkan selamanya begini, aku ingin berubah!
Diva


Aku kenal para wanita yang pernah ku lihat selama bertahun-tahun semenjak dulu bahkan tetap ada hingga kini, yang kisah cinta dan garis kehidupannya tak ditorehkan penuh haru-biru dalam novel-novel Austen ataupun Mira. W. Yang wajah-wajahnya tak muncul dalam tabloid dan majalah wanita dalam efek foto morning glow dan indian summer yang penuh kesan. Setiap kali melihat mereka terbersit dalam benakku apakah mereka tidak pernah menginginkan hidup yang lebih dari sekedar panasnya sinar matahari, tajamnya air hujan bulan Februari, dan perihnya kerikil di bawah telapak-telapak kaki yang telanjang. Pasti banyak wanita menginginkan mendapat apapun yang mereka mau, tanpa ada istilah kemiskinan, belitan ekonomi, serta suara anak-anak yang menangis di telinga oleh sebab kelaparan atau minta dibelikan baju seragam baru, tapi mungkin saja banyak yang tidak berpengharapan demikian besarnya. Mungkin tidak semua wanita mau bermimpi duduk dengan nyaman dan sejuk di mobil mewah merek luar negeri kemanapun ingin pergi dengan anak-anak jalanan sebagai penggemar fanatik yang mengharapkan uang ratusan jatuh dari balik kaca jendela mobil yang menyilaukan setiap mata yang memandangnya, dan tidak semua wanita ingin bermimpi bisa menjadi seorang shopaholic meskipun hanya sehari.
Hidup penuh kesenangan!
Mungkin definisi kebahagiaan pada tiap-tiap orang memiliki arti yang berbeda-beda.Yang nyata, para wanita-wanita inilah yang sungguhnya lebih sadar akan istilah hidup dalam realita.
Nenek nenek tua duduk di atas bangku kecilnya yang terbuat dari kayu sederhana dengan kaki berlumpur terbungkus sandal jepit berlubang yang sama renta dengan dirinya, terlihat penuh iba menjajakan bermacam-macam kue tradisional produksi rumah tangga, bunga rampai tujuh rupa atau berjaja sayuran hasil pertanian sendiri di pasar-pasar tradisional dalam keranjang-keranjang rotan dan bambu tua sewarna jelaga. Sadari tentang para wanita bersepeda lama yang menempuh limabelas hingga duapuluh kilometer pulang-pergi sehari untuk bekerja sebagai buruh-buruh pabrik cekatan berjam kerja tinggi namun berupah rendah, mencoba menjadi pengurus rumah tangga sekaligus penopang keluarga yang bekerja keras melawan takdirnya.
Pagi yang cantik. Langit belum lagi menyingkap wajah matahari. Hari yang begitu dingin. Di luar jendela kamar aku melihat di pagi yang buta, bayangan-bayangan gelap manusia satu persatu berjalan setapak demi setapak. Aku tahu bahwa hawa teramat dingin di luar sana dan tiba-tiba saja aku merasa bangga pada mereka hari itu. Wanita-wanita yang kuat. Wanita-wanita yang perkasa. Sosok dan semangat mereka begitu tak terpatahkan. Dengan sabar menapaki jalan mengemban tugas. Tak masalah apa yang akan mereka kerjakan nanti, karena tugas-tugas yang berbeda senantiasa menanti mereka dengan setia esok, lusa dan esok lusanya lagi. Tapi hari itu, aku melihat mereka dengan cangkul di bahu maupun arit di tangan.
Hari ini mereka bekerja di bawah panasnya terik matahari membakar hingga ke kulit jangat. Setelah delapan jam bekerja diantara semak berduri dan anak-anak tanaman karet, mencoba membersihkan gulma yang menyelimuti permukaan tanahnya. Menikmati makan siang serta istirahat dzuhur sebelum mulai bekerja kembali. Keringat mengalir di ketegaran wajah mereka yang tanpa cela. Lekat noda tanah pada pakaian seolah takkan pernah jadi najis dan halal adanya. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka rasakan saat itu sekeras apapun aku berusaha mencerna. Tawa mereka sangat keras dan bicara mereka juga lantang mengalahkan cengkeraman rasa capai di badan.
Apa yang mereka harapkan dari apa yang telah mereka kerjakan? Tidak ada, kecuali sedikit uang untuk membuat dapur mereka terus berasap, mengirim anak-anak mereka ke sekolah negeri yang murah, dan membuat suami-suami tercinta yang sama lelahnya masih dapat menyisihkan uang untuk menghisap rokok kretek bertembakau kualitas rendah mereka setiap hari. Kesadaran akan tanggung jawab yang rendah terhadap beban pekerjaan menjadikan mereka menerima berapapun upah yang diberikan betapapun pula lelahnya menghabiskan satu hari di bawah terik matahari. Tapi, tak semua orang kan bisa mendapatkan penawaran sebaik yang perusahaan Starbucks Coffee lakukan dengan memberikan standar gaji yang yang baik juga asuransi kepada pegawai paruh waktu mereka. Bayangkan saja, bagaimana cara mereka memperlakukan para pegawai tetapnya. Hingga ketika suatu hari Oprah menanyakan kepa para audiencenya apakah seorang pekerja POM bensin dan anaknya pantas mendapatkan asuransi kesehatan atau tidak maka suara kecil di hatiku langsung menjawab “pantas”.
Dan para ibu yang hebat kita telah dibayar begitu rendah di bawah upah minimum regional dan masih berterima kasih untuk itu. Sebagian dari mereka itu ada pula yang bekerja tidak tetap seperti ini untuk mengisi waktu luang mereka selama musim tanam padi belum tiba. Dan tentu saja semuanya masih belum mampu membantu mereka. Kian hari kiranya kian sulit untuk merasa cukup bagi mereka karena tampaknya setiap kebutuhan sandang dan pangan semakin di luar jangkauan, sejenak aku menyadari keadaan yang mereka hadapi. Dan sekali lagi aku bertanya penuh keingintahuan akan keceriaan yang terdengar lewat senda gurau mereka yang begitu lantangnya.
Namun di hari yang lain lagi, melihat kilasan bayangan kabur mereka pergi bekerja di tengah selimut kabut pagi buta hingga aku bahkan hanya bisa mendengar gemeretak kerikil yang terinjak kaki-kaki tak beralas hingga menjadi salah satu bunyi-bunyian tercantik yang pernah ku dengar. Melihat mereka bekerja dibawah teriknya matahari bulan Juli hingga tak mampu lagi peduli pada indahnya daun-daun karet yang berubah kuning dan oranye layaknya musim gugur datang lebih awal tahun ini, serta melihat mereka berjalan pulang di bawah deras serta tajamnya air hujan sore bulan Februari. Melihat mereka berjalan dengan mengenakan topi purun lebar sambil mengacuhkan cantiknya kehijauan tunas-tunas daun baru kebun karet di Maret itu. Iring-iringan yang anggun sekali bagai parodi karnival musim semi para petani. Kerinduan sepanjang jalan untuk menemui anak-anak yang telah menunggu juga suami yang belum diketahui apakah telah berada di rumah atau belum. Tak ada sandal apalagi sepatu sebagai alas, hanya kaki telanjang pecah-pecah bercampur lembeknya tanah basah. Aku membayangkan betapa lelahnya mereka hari itu dan segera aku merasa begitu beruntung. Meskipun demikian aku masih bisa melihat senyum dan tawa mewarnai perjalanan pada wajah-wajah bersahaja mereka. Alam pun memberi para wanita itu penghargaan dengan hangatnya matahari yang langsung bersinar lembut dan pelangi terbaik sore itu setelah mereka sampai di depan pintu.
Ada begitu banyak permasalahan harus dihadapi oleh wanita khususnya wanita pekerja di seluruh dunia yang terutama lagi di negara ini. Mulai dari standar upah yang di bawah rata-rata, diskrimasi di tempat kerja hingga pelecehan seksual. Masih banyak wanita di sekitar kita yang hak serta perlindungannya cenderung terabaikan namun lebih banyak lagi dari kita yang menolak membuka mata untuk melihatnya. Kaum hawa patut kita beri penghargaan serta dukungan demi membangkitkan kesadaran mengenai kedudukannya dalam strata keluarga, sosial, dan negara, meskipun aku sangsi bahwa mereka sungguh-sungguh menyadarinya. Wanita haruslah memperkuat posisinya agar suara mereka dapat memberi sumbangsih terhadap kemajuan umat manusia.
Sebagaimana yang telah Ayahku katakan suatu hari kepadaku.
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang terbaik yang dapat ayah lakukan sejauh ini adalah dengan memberi pekerjaan kepada mereka semampu yang bisa diberikan dan menghargai mereka sebagaimana setiap individu juga memiliki perasaan berharga. Kita bukanlah pembuat kebijakan, pemilik perusahaan maupun pemegang saham nak, tapi kita bisa berusaha melakukan yang terbaik sebagai seorang manusia terhadap manusia lainnya. Walaupun kita tahu bahwa mungkin apa yang kita berikan belumlah cukup, namun pelajarilah ucapan terima kasih yang terlontar dari bibir mereka serta keramah-tamahan nya padamu atas bantuan itu. Lihatlah! Jangan sekedar dengarkan saja, bahwa ada rasa syukur kepada Tuhan dan penghargaan bagimu yang teramat dalam di sana. Belajarlah bersyukur dan tata cara berterima kasih dari orang-orang yang sederhana itu,” demikian kata ayah pada putri delapanbelas tahunnya waktu itu.
Saat aku melihat mereka sekali lagi di bawah hujan dengan kata-kata ayah yang bergaung di dalam tubuhku, saat aku tidak bisa melihat sinar matahari di sore yang gelap itu, aku dapat merasakan hatiku melonjak bahagia karena melihat mereka lewat di depan rumah. Telah ku temukan senyum tulus memesona datang dari wajah-wajah mereka di balik teralis jendela kamarku. Berdiri dengan nyamannya di dalam kamar yang hangat sambil terus memperhatikan mereka yang sedang menjauh berlalu ku dapati perasaan damai yang tak biasa. Aku tersenyum dan mengangguk membalas senyuman serta anggukan ramah mereka padaku. Para wanita dan ibu seperti merekalah yang menjadi tonggak-tonggak berdirinya kelangsungan negara ini lewat anak-anaknya yang menempa pendidikan di sekolah negeri murah, orang-orang seperti merekalah yang sesungguhnya menjadi pejuang devisa kita yang harus menghadapi berbagai kerumitan dan ketidakadilan.
Tidak ada alasan untuk tidak merasa bangga pada pribadi-pribadi kuat sedemikian rupa baik kemarin, sekarang, dan yang akan datang. Di lain waktu aku tidak akan bosan melihat keindahan yang seperti ini. Tersenyum dan mengangguk untuk membalas dan menghormati sikap ramah bersahaja sosok-sosok kuat ini kapan saja. Pernah mengenal serta menyaksikan seserpih bagian dari hidup mereka adalah salah satu hal terbaik dalam hidupku yang pernah ada. Merekalah yang sejatinya menjadi DIVA di hati kita sepanjang masa. Kenangan mereka yang mewarnai indahnya warna empat musim perkebunan karet mengisi tempat khusus di hatiku selamanya.

Nurul Sutarmaji
17 Juni_18.49pm 2008.
EGO

Stang sepeda motorku terasa tidak nyaman dan cenderung mengarah ke sebelah kiri. Kedua tanganku harus sekuat tenaga mempertahankan agar posisinya tetap berada di tengah tapi itu malah membuatku sakit dan tersiksa dari punggung atas hingga pinggang bawah. Sedikit demi sedikit aku merasa kram pada bagian pinggang padahal jarak yang ku tempuh masih duapuluh lima kilometer lagi untuk sampai ke kos baru Arifa. Rasa sakit di pinggangku sudah hampir tidak tertahankan begitu juga dengan hatiku sekarang yang hampir meledak bahagia. Aku sering rela menempuh perjalanan sejauh empatpuluh kilometer hanya untuk curhat. Arifa tahu segala hal tentang diriku dan kehidupanku. Ia sahabat terbaik tempat berbagi segalanya dalam kata “ terima kasih, aku sayang kamu, semuanya akan baik-baik saja, kau harus bersemangat, berjuanglah, dan maaf aku bad mood kemarin ”.
Sudah hampir lima tahun ibu meninggal karena kanker hati yang dideritanya, baru hampir lima tahun pula aku berprofesi sebagai mahasiswa merangkap jadi anak, kakak, sekaligus adik rumah tangga atau apapun istilahnya. Ia telah mengambil apa yang menjadi milikNya, yaitu harta kami yang paling berharga, perhiasan rumah kami yang tiada duanya, seorang ibu yang telah ia pinjamkan padaku dan keluargaku. Kehilangan ibu meninggalkan jejak trauma yang mendalam di hati semua orang. Bukan hanya karena ketiadaan dirinya lagi di rumah tapi juga alasan kematiannya akibat kanker tak terdeteksi yang ia derita. Perasaan shock juga bersalah menggelayuti hati masing-masing dari kami akan kehilangan dia yang begitu cepat. Kadang aku bertanya pada Tuhan kenapa ia harus pergi karena kanker. Memikirkan hal ini seringkali membuatku menghela napas yang teramat panjang demi membayangkan rasa sakit yang harus ia tanggung di hari-hari itu kemudian ini membuat kepalaku berdenyut-denyut.
Sejak ibu meninggal otomatis segala hal yang berhubungan dengan rumah dan tetek-bengeknya jatuh padaku dan kakak perempuanku. Namun ia telah menikah setengah tahun lalu dan kini tinggal dengan suaminya. Beberapa bulan sebelum ia menikah ia tak jadi seseorang yang ku harap bisa membantu di rumah karena ia sibuk dengan tetek-bengek pra nikah. Seringkali ia mengeluh tentang orang-orang rumah yang tidak membantunya sama sekali. Ia merasa memikirkan segala hal sendiri padahal apa yang tidak aku dan orang rumah lakukan untuknya. Tidak tahu apakah ia terlalu tertekan dengan urusan pernikahan ataukah terlampau bersemangat dengan semuanya. Kakak perempuanku beranggapan bahwa sedari itu aku harus mulai bertanggung jawab sendiri atas segalanya. Bolehkah jika ku bilang aku belum siap?
Tradisi-tradisi ritual sebelum pernikahan menyita tenaga dan perhatianku di rumah. Hari dimana kakakku mengadakan acara lamaran adalah dua hari sebelum aku sidang skripsi, dan seluruh konsentrasiku menguap akibat hiruk-pikuknya keadaan. Aku merasa sesak dan butuh ruang sendiri tanpa ada orang-orang lain yang terus menerus meneriakiku setiap waktu. Sementara di lain pihak aku masih harus pusing memikirkan laporan dan tugas-tugas menumpuk dari dosen sekaligus menu-menu makanan setiap hari, pekerjaan harian rumah tangga, jadi akuntan keuangan dan bagaimana menghemat pengeluaran anggaran belanja, listrik, ledeng, sampai menjaga perasaan Dede yang sensitif dan macam-macam lagi. Aku merasa komputerku lah yang banyak membantu meringankan pikiranku karena aku tidak perlu membagi waktu antara pergi ke rental komputer dan pekerjaan rumah tangga. Komputer ini dibeli dengan uang asuransi ibu yang baru keluar setahun sesudah kematian beliau. Kurasa komputer inilah salah satu peninggalan ibu yang paling berharga. Ayah sungguh baik meskipun hanya barang second namun beliau masih ingat bahwa sebagai seorang mahasiswa seperti aku, memiliki komputer cukup penting.
Kini aku kesal, marah, lelah yang tidak tertahankan. Beranggapan bahwa kehidupanku menjadi kacau seperti sistem komputer yang terkena virus W32 Amburadul dan membuat programnya berjalan lambat, mengobrak-abrik semua data, hingga semua sistem menjadi kacau-balau bahkan mematikannya. Semester sebelas sudah, skripsiku tidak kunjung selesai, aku hampir saja gagal di final test dua mata kuliah penting yang membuatku mencapai nilai kurang memuaskan, dan aku terlalu takut untuk mengangkat topik uang persiapan wisuda. Aku berpikir andai saja masih bekerja memberi les privat mungkin aku bisa menyisihkan sedikit untuk membuat kebaya dan membayar uang bimbingan skripsi dan sidang. Tapi tiga bulan lalu aku memutuskan berhenti. Aku terlalu capai untuk bisa meraih semua hal dalam satu waktu dan menciptakan gambaran sempurna terhadap diriku sendiri. Terlalu lelah untuk merasa bersalah pada murid-murid privatku bahwa aku sudah kehilangan semangat dan tenaga untuk mendukung belajar mereka dari hari ke hari. Terlalu egois untuk mulai membebankan segalanya pada bapak. Terlalu sakit untuk mengakui bahwa aku begitu menderita semenjak ibu tidak ada. Hatiku diam-diam menyembunyikan ketakutan dan depresiku.
Ketakutan menghantui hidupku mulai dari itu bahwa Tuhan mungkin akan menganggapku kurang bersyukur dan tidak tahu diuntung. Aku pergi ke pengajian empat kali seminggu mendengarkan petuah guru tapi masih saja jadi orang berpenyakit hati dengan shalat yang tidak khusyu. Mungkinkah aku terlalu rese terhadap hidupku sendiri dengan berusaha ikut campur dengan sunatullah-Nya yang telah digariskan. Membebani diriku dengan hal-hal yang seharusnya ku ikuti saja kemana arusnya menuju tanpa harus memikirkan semuanya dalam ruang otakku. Barangkali aku perlu satu batu bersyukur seperti yang dimiliki salah satu narasumber di film The Secret yang ku tonton tempo lalu untuk membantuku mengingat semua hal baik yang sudah Tuhan berikan. Atau mungkin bagus juga kalau aku punya satu pensieve seperti milik Prof. Dumbledore dalam novel Harry Potter yang bisa membantu menyimpan kelebihan beban pada memoriku, hingga pada saat-saat yang diinginkan aku bisa masuk ke dalam pensieve yang berbentuk seperti baskom besar itu untuk menilik kembali hal-hal yang telah terjadi.
Seringkali aku bercanda dengan Arifa tentang statusku ini. Berseloroh soal aku yang sudah jadi ibu rumah tangga bahkan sebelum menikah lalu tenggelam dalam ironi yang pada ujungnya membuat kami bingung apakah harus berkaca-kaca ataukah geli. Nasib Arifa sebagai mahasiswa mungkin lebih mengharukan dariku. Orangtuanya sudah tak pernah mengiriminya uang SPP dan bulanan dengan lancar semenjak semester tiga. Keadaan bertambah parah ketika ayahnya yang berada di kampung terkena stroke. Segala hal yang berhubungan dengan finansial bisa dikatakan terputus setelah semester lima. Siang dan malam dia bekerja sebagai guru privat untuk membayar kos, makan, dan SPP, sekalipun demikian dia tidak pernah dapat beasiswa. Birokrasi yang terlalu bertele-tele di kampus mengurungkannya mendekati kantor tata usaha atau mungkin juga pemberian beasiswa yang seringkali tidak merata dan tepat sasaran.
Fakta adalah, bahwa para penerima beasiswa merupakan mahasiswa berprestasi dan tidak mampu, dan ada banyak juga diantara para mahasiswa berprestasi itu yang mampu bahkan bisa mendapatkan beasiswa lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan adalah fakta menyakitkan nomer dua sebenarnya dari sebuah rahasia umum di kalangan mahasiswa yang lain, namun lebih banyaknya mahasiswa kurang mampu, kurang berprestasi, bekerja untuk membiayai kuliah, juga tidak mendapatkan beasiswa adalah fakta menyedihkan nomer satu yang sesungguhnya. Sepertiga dari teman-teman sekelasku adalah orang-orang membanggakan dalam kategori terakhir ini. Mungkin ada lebih banyak lagi yang seperti mereka di tempat lain. Aku mengenal teman-temanku ini sebagai para mahasiswa yang bekerja dan berbuat lebih keras untuk studinya dibandingkan orang lain dan diriku sendiri, karena bagi mereka tak ada yang namanya santai. Saat mereka rehat memikirkan sulitnya perkuliahan maka waktu akan diisi dengan bagaimana caranya menambah pemasukan. Saat masalah uang terselesaikan mereka memikirkan bagaimana caranya membagi waktu antara kerja dan perkuliahan, juga tenaga, otak, hingga perasaan pada dua hal sekaligus yakni kuliah plus dosen berhati super sensitif karena mahasiswanya nampak lebih suka kerja daripada perkuliahannya. Berada dalam posisi seperti ini ibarat dua sisi mata pedang. Namun sedikit sekali yang mau memandang isu tersebut dari sudut pandang mereka dan menghargainya lebih dari sekedar angka-angka pencapaian akademis. Kebanyakan dosen menunjukkan ketidakpedulian tanpa berusaha melakukan pendekatan yang lebih baik demi membantu mengatasi masalah. Bagiku, usaha keras mereka untuk mempertahankan kuliah di tengah himpitan kehidupan adalah sebuah nilai A+ serta saksi bisu dari magna cumalaude tersembunyi mereka.
“Sulit dimengerti padahal aku ‘ggak minta uang universitas buat beasiswanya, tapi minta surat keterangan aktif kuliahnya saja kok susah!” keluh Arifa suatu hari padaku.
Sekarang Arifa dihadapkan pada kenyataan berada di semester duabelas dengan skripsi yang dipersulit, kredit motor menunggak, biaya skripsi, juga wisuda yang belum ada dananya. Tentu saja ini bukan hanya masalah kami berdua. Aku mengenal banyak teman lainnya yang menghadapi masalah dengan latar cerita kurang lebih sama bahkan ada yang setiap semesternya tetap membayar SPP namun tidak mengambil satu mata kuliahpun karena harus bekerja. Membayar SPP tetap dilakukan sekedar untuk mempertahankan status mahasiswa meskipun sesungguhnya ini menyakitkan bagi mereka. Yah, dengan sedikit harapan keberuntungan kalau-kalau nanti bisa meneruskan sampai skripsi dan memakai toga. Mungkin isu seperti ini hanya populer di kalangan mahasiswanya saja atau memang karena tidak ada pembuat dan pelaksana kebijakan dari pihak universitas maupun pemerintah yang peduli dengan isu semacam ini. Sungguh status sebagai orang berpendidikan haruslah dibayar mahal dan teman-temanku yang sepertiga itu sangat berprestasi dibidangnya. Mereka patutlah mendapat award sebagai mahasiswa rajin. Rajin kuliah, rajin bekerja, rajin dapat C serta rajin tawakkal.
“Mengeluh dan curhatpun percuma sama mereka, soalnya tetap sulit membuat dosen kita bertanya, ‘Kenapa sudah semester duabelas masih bergumul dengan skripsi atau kenapa raut muka kamu kelihatan lebih mementingkan pekerjaan daripada saya, atau kenapa setiap kali konsultasi garis-garis di wajah kamu menunjukkan penuh beban dan tampak lebih banyak daripada garis-garis di muka saya?’. Mungkin kalau aku dapat suntikan dana kuliah dan ‘ggak lebih banyak jam kerja daripada jam kuliah setiap hari pasti nilaiku lumayan bagus. ‘Ggak perlu banyak ngulang”, kata Arifa.
“Andaikan baru semester-semester awal plus banyak uang kayaknya bagusan kalo kita transfer kuliah ke program mandiri. Gosipnya nilainya cakep-cakep, mahasiswanya juga!” sahut Fairuz.
“Program mandiri. APAAN TUCH!!!”, lontar Rima ketus sambil membuang muka. Hidungnya kembang-kembis dengan bibir yang sudah seperti puncak makam Fir’aun. “Kapitalisme sialan!” ujarnya lagi. Menurut kami she’s terribly angry.
Opini-opini ini timbul suatu hari setelah kami mendengar kabar dari Salma tentang teman kosnya dari jurusan lain yang mendapat dua beasiswa sekaligus padahal dia mampu.
“Memang sih IPnya tiga terus!” kata Salma. “Dia nanya kenapa aku ‘ggak dapat scholarship juga padahal IPku lewat dari dua koma tujuh lima. Ku bilang aja andaikan otomatis dapat aku juga ‘ggak mau. Coba ya? Kan banyak teman-teman kita yang lebih pantas. Mereka ogah survey aja. Habis ku bilang gitu tetep aja mereka ngelonyor shopping ke Ambassador Mall make scholarship fundnya”, komentar Salma pedas padahal biasanya dia tipe gadis lembut.
Ironis memang. Kalau sudah begini, masih adakah yang tega menetapkan lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara yang disinyalir cenderung bersifat kapitalis dan kurang berpihak pada kaum pengenyam pendidikan yang pada umumnya berstatus sebagai warga kebanyakan. Kapitalisme tidak selayaknya menjadi penguasa dalam dunia pendidikan kita seperti tidak layaknya sebuah penelitian tindakan kelas karena dianggap kurang manusiawi terhadap subjek siswa yang diberi perlakuan percobaan. Pendidikan bukanlah sebuah bisnis, namun pendidikan adalah hajat hidup orang banyak. Bukankah negara ini melindungi hak setiap warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang layak, namun fakta menunjukkan bahwa semakin hari target pendidikan semakin tidak tepat sasaran akibat sebuah sindrom yang dinamakan keserakahan dan setiap hari manusia semakin sulit memahami arti belas kasih. Andaikan tidak ada lagi yang gratis di dunia ini apakak salah jika setidaknya yang terjangkau masih tersisa.
Sahabatku Arifa punya sebuah motor hasil kredit yang menjadi pahlawannya dalam bekerja siang dan malam, motor itu mengantarkannya bahkan sampai ke sudut-sudut kota manapun tempat murid-muridnya berada. Motor itu juga dirinya telah mengalami beberapa kali kecelakaan bersama yang seringnya terjadi sebelum atau sesudah ia pergi mengajar privat dan sekalipun ia tak pernah memberi tahu orang rumah mengenai hal-hal buruk yang menimpanya. Baru-baru ini dia mengambil konsekuensi dengan menambah satu murid yang tadinya tiga menjadi empat hingga membuatnya berada selama enam jam atau lebih di luar rumah untuk mengajar privat agar kredit motornya tetap terbayar serta kehidupan kampus dan pekerjaan menjadi lancar namun sekaligus juga mengurangi fokus kuliahnya yang tetap ia usahakan sampai jungkir-balik macam pemain akrobat. Pada awal semester tiga ia bekerja untuk menutupi kekurangan kiriman dari orang tua, tapi dua semester sesudahnya dia bekerja untuk mengganti uang kiriman yang tak pernah lagi ada.
“Andai dosenmu tahu kalau ini yang harus kamu lakukan setiap hari mungkin beliau takkan tega memberi coretan besar-besar di atas skripsimu dengan hanya meninggalkan jejak berupa tanda-tanda tanya dan seru besar warna merah plus strip-strip ‘ggak jelas memenuhi setiap paragraph tanpa ada penjelasan sedikitpun,” ujarku padanya suatu ketika saat kami sedang menikmati minum es di hari panas menyengat di bawah gazebo kampus sehabis konsultasi skripsi melelahkan. Tanggapan Arifa waktu itu hanya sebuah senyum kaku yang menurut definisi Bill Cosby termasuk dalam kategori senyum seperempat bagian.
“Aku tahu makna belajar mandiri sebagai mahasiswa, apalagi inikan penelitian kita. Tapi ngomong dikit, sekalimat dua kan gak ada salahnya”.
Dengan demikian berarti aku jauh lebih beruntung daripada Arifa karena memiliki dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dan mendukungku dengan sepenuh hati yang langka didapatkan hingga aku harus dengan sedih hati meninggalkan kampus tanpa bersama-sama dengannya di akhir semester sebelas lalu. Hingga hatiku seringkali menjadi kelu saat memandang wajah Arifa tak ada dalam foto-foto yudisiumku karena ketidakhadirannya. Masalahnya hanya padaku yang sering kekurangan waktu untuk menyelami skripsi. Seringkali aku tercekat dan tenggelam dalam kerongkonganku sendiri akibat teriakanku yang tidak keluar bahwa aku butuh ruang untuk menyepi, bersikap egois sesekali, dan butuh waktu dimana ingin memikirkan diriku juga urusan-urusanku sendiri. Tenggelam dengan tugas-tugas yang harus ku buat, coretan-coretan tinta hitam biru berisi keterangan-keterangan kesalahan laporan perkembangan skripsiku, ditambah sms-sms curhat teman-teman seperjuangan yang masuk ke handphone tuaku yang seringkali sulit terbalas karena masalah pulsa.
Lulus kuliah memang sangat melegakan namun bukan berarti segala bebanku jadi berkurang. Aku bekerja sebagai seorang guru honor dengan gaji duaratus empatpuluh ribu rupiah sebulan dan selalu terbersit keinginan untuk menyudahi saja pekerjaan itu. Mempertahankan pekerjaan inilah alasan terbesar yang menimbulkan dilema baru di hatiku. Harapan-harapan bapak serta harapan-harapanku sendiri memenuhi tiap-tiap rongga tubuhku hingga aku merasa semakin menggelembung membengkak dari waktu ke waktu. Baik jika kau merasa larger than life (lebih besar daripada hidup) seperti satu syair dalam lagu boyband Back Street Boy, tapi tidak jika larger than body (lebih besar daripada tubuh) yang menjadikanmu sesak dengan dirimu sendiri. Bila kau mulai merasakan gejala-gejala kedua mungkin saja kau sedang mengalami sindrom kemunduran identitas.
Ada kalanya aku merasa bersalah jika memikirkan ingin punya seseorang yang mau mendengarkan, memahami apa yang menjadi kebahagiaanmu dan mendukung cita-citamu sepenuhnya, terlebih jika itu adalah orang tua. Itulah sebabnya pula aku senang menonton acara Nanny 911 di salah satu televisi swasta karena menurutku aku harus belajar banyak sebelum memiliki keluarga.
Terdapat satu pertanyaan besar dalam benakku akan suatu gejala di masyarakat yang apakah sudah ada sejak dulu kala ataukah sejak pemerintah menaikkan standar gaji dan tunjangan untuk PNS maka banyak orang tua terkena sindrom “ingin anaknya jadi PNS”. Padahal jika ditilik kembali, sebagai manusia kita terlahir dengan fisik yang berbeda dan tentu saja dengan keinginan yang berbeda-beda pula. Betapa baiknya jika kita belajar memandang keinginan orang lain dari sisi orang itu bukan hanya dari kacamata kita semata. Dunia menjadi indah dengan beragam manusia yang memiliki keinginan berbeda-beda dalam mengarungi hidupnya. Barangkali tiap-tiap orang boleh saja memiliki latar yang sama, namun ke depannya apakah segala sesuatu harus terlihat sebagaimana yang kasat mata? Jawabannya adalah tidak, karena setiap kita menempuh alasan yang berbeda-beda terhadap judul dan latar yang menjadi pola-pola pada kehidupan tersebut. Suatu hari aku pernah mendaftarkan lamaran pekerjaan di sebuah perusahaan dan berencana berhenti bila diterima disana. Aku pun menanyakan perihal pendapat bapak tentang hal ini yang beliau tanggapi dengan diplomatis dan menyerahkan keputusan di tanganku, bahwa aku tahu apa yang ku inginkan. Tapi aku sulit menerima jawaban itu sebagai sesuatu yang terlontar dengan jujur mengacu kepada volume suara bapak yang frekuensinya pelan sekali serta kurang tegas seperti biasa. Aku menangis dalam hati, mungkin aku salah kalau merasa agak kehilangan bapak selama setahun terakhir.
Menjaga rumah memilliki arti menjaganya secara fisik dan non-fisik. Kau melakukan tugas-tugas kerumahan baik yang bersifat material maupun spiritual. Spiritual yang dimaksud adalah menjaga perasaan orang rumah agar tetap merasa nyaman selelah apapun fisik dan jiwamu. Kemungkinan bahwa mereka jadi kurang sensitif dengan perasaanmu adalah hal biasa. Mereka selalu mengharapkan kau menjadi sosok yang sempurna karena kau jadi manajer rumah tangga. Alih-alih menjadi egois kau adalah sosok yang kurang peduli pada diri sendiri. Itulah yang mungkin dulu sering dirasakan kakak perempuanku dan tentu saja aku. Dengan begini aku mengerti benar rasanya jadi ibu dulu. Benar saja kalau kakakku senang bukan main bisa kabur dari tugas itu sekarang. Ya Tuhan, jangan biarkan aku tidak dapat pahala karena berperasaan seperti ini. Sering aku bicara atau berteriak pada otakku sendiri dan orang rumah “Stop pretending mom” atau berhenti bermain pura-pura menjadi ibu tapi keluargaku tidak mendengarnya.
Setelah menikah kakak perempuanku dan suaminya masih tinggal di rumah selama tiga bulan. Kami jadi sering bertengkar karena ku rasakan rumah penuh sesak dan ia menjadi semakin egois, mudah tersinggung, juga cepat marah. Ia selalu mengemukakan ide-ide bahwa kami haruslah menjaga perasaan suaminya yang tak bisa sepenuhnya aku terima. Memutuskan untuk tinggal bersama berarti mengambil konsekuensi menanggung segala hal bersama pula apakah itu baik ataukah buruk. Tidak dapat lebih mementingkan satu dari lainnya. Lagipula kami telah mengenal suaminya jauh bertahun-tahun sebelum mereka menikah. Kurasa dia tahu bagaimana saat-saat damai dan kemelut di rumah. Atau mungkin juga kenyataan bahwa teman berbagi kamar bertahun-tahunku ini kini lebih peduli pada orang asing daripada saudaranya sendiri telah mengiritasi perasaanku hingga membuatku lebih perasa. Ada saat aku sering mengurung diri dalam kamar dan menangis demi menghindari pertengkaran lebih jauh. Kini mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumah dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, ini berdampak pada hubungan kami yang membaik kembali.
Suatu ketika aku ingat akan pesan Tuhan yang mengatakan bahwa sering kali kita tidak menyukai sesuatu yang mungkin ada banyak kebaikan dalam hal tersebut yang telah Tuhan ciptakan bagi kita. Ini menjadikanku berpikir kembali tentang segala hal yang telah terjadi hingga memberiku dilema gaya baru, namun Tuhan juga memintaku untuk percaya pada-Nya, percaya akan kekuatan doa-doa, serta percaya pada hatiku.
Puncak dari semuanya adalah dengan aku yang memutuskan mencoba menempuh jalanku sendiri dan mengundurkan diri sebagai guru honor setelah bertahan selama satu semester. Hampir setiap orang yang ku kenal sedikit menyesalkan tindakanku yang melepaskan semua kesempatan-kesempatan menyoal jadi PNS, tunjangan bulanan, tahunan, pensiun, gaji ke tigabelas, idealismeku, dan lain sebagainya. Aku sungguh-sungguh bicara pada bapak serta memohon ridho beliau sebagai orang tuaku satu-satunya yang akan membuka jalan kebahagiaanku. Aku tahu bahwa bapak percaya akan keinginanku untuk membuat beliau bahagia begitu kuat, tapi aku memiliki cara dan jalanku sendiri. Aku mau beliau membantuku sekali lagi untuk mencapai setiap impian yang pernah ku ucapkan saat aku masih seorang anak-anak dengan ridhonya yang utama.
Sepeda motorku berhenti di sebuah rumah kontrakan berpagar kayu. Arifa menyambutku gembira, mencium pipi kiri dan kananku sebelum aku memeluknya hangat. Dia memberitahuku bahwa ia akan sidang skripsi satu minggu lagi dan bahwa kekasihnya Mas Nugie sudah bekerja di sebuah bank pemerintah yang artinya masalah bea wisuda sedikit banyak akan teratasi karena ia berjanji akan membantunya. Saat mendengar bahwa aku akan bekerja di kota ini dia mengajakku tinggal di rumah kontrakan yang bisa kami sewa bersama. Katanya untuk mencari suasana baru dari kos. Ini kali pertama aku mengunjungi tempat ini. Sebuah rumah yang memiliki dua kamar, satu untuknya dan satu kamar untukku. Tak lama lagi aku akan memulai pekerjaan baru dalam divisi yang berbeda di tempat yang selama ini kami impikan masing-masing. Pengalaman selalu diberikan kepada mereka yang percaya tentang memulai segala sesuatunya dari sebuah awal yang dinamakan kesempatan dan keyakinan hati.
Dengan percaya aku belajar menulis dan mengingat masa lalu dengan kaca mata yang hanya berisi nilai-nilai penuh kebaikan dari kehidupanku. Belajar melihat hidup lewat apa yang aku percaya akan diriku yang sesungguhnya, mencoba mencari tahu apa yang Tuhan inginkan dari keberadaanku, bukan lewat apa yang menjadi keinginanku dan bukan lewat apa yang orang lain lihat dan mau dariku. Karena kita semua adalah tentang apa yang kita percayai bukan tentang apa yang kita inginkan. Dengan percaya maka segala hal menjadi begitu mudah untuk dicapai.
Aku percaya bahwa dari sekian banyak hal yang telah kau lakukan untuk mewujudkan mimpi-mimpimu tidak mungkin satupun tidak ada yang tercapai. Dulu aku pernah mencoba pekerjaan semacam itu dan gagal, tapi saat waktu memberiku kesempatan sekali lagi, aku kembali datang untuk jadi pemenang, meskipun tidak pada tempat dan waktu yang sama. Dan aku juga selalu percaya bahwa alam semesta begitu luas tak terbatas karena Tuhan begitu Maha Besarnya, maka ada lebih dari cukup persediaan untuk semua keinginan, ada lebih dari satu atau dua bahkan ribuan kesempatan yang datang dalam kehidupan pada diri setiap orang. Tanpa pernah memandang apakah kau sudah mendapatkannya sekali kemarin atau dua kali hari ini, tetaplah percaya akan kesempatan yang selalu datang setiap saat. Dan aku berucap pada Tuhan “Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk mengabulkan semua doa akan kekuatan dan kesabaran serta hidup yang penuh dengan kelimpahan”. Aku belajar bahagia dengan diriku.


***
Sawah-sawah


“Sawahku sayang sawahku malang,” gumam ayah di suatu sore sembari menghela napas pendek dari pinggir jendela rumah tua nenek.
Gumaman itu sepertinya mirip dengan sebuah judul sinetron bertahun-tahun lalu yang pernah ku tonton sewaktu masih di sekolah dasar. Mata ayah menatap nanar pada pemandangan di sekitarnya yang kini telah banyak berubah semenjak kami pindah ke kota lain yang berjarak duapuluh kilometer dari sini lebih dari dua puluh tahun lalu. Rumah panggung tua dari kayu ulin peninggalan nenek letaknya tepat menghadap persawahan di pinggir sebuah jalan kampung. Kira-kira delapanratus meter dari jalan raya utama kota kecil penghasil beras ini. Pemandangan kurang alami bangunan-bangunan pabrik dan gudang-gudang raksasa telah mengambil tempat yang seluas-luasnya di sepanjang jalan utama kota, merampas dengan paksa tanah-tanah persawahan, tempat di mana lumbung-lumbung padi rakyat dulu pernah berjaya pada eranya. Mereka mengalahkan rumah-rumah panggung rakyat yang paling besar sekalipun yang ada disini. Bibir ayah bergetar menyaksikan mirisnya lanscape persawahan yang semakin berkurang.
Ayah adalah seorang pegawai negeri sipil biasa pada Dinas Perkebunan berstatus tiga A di kota kecil tempat kami bermukim sekarang. Satu tahun lagi ia sudah akan pensiun, namun kantung matanya seperti masih menyimpan sebuah pengharapan besar dari bidang pekerjaan yang ia geluti. Akhir-akhir ini ayah jarang berada di rumah. Sepulang dari kantor, ia akan mengambil kail pancing, topi, dan keranjang bambunya lalu pergi memancing sampai sore tiba. Dua puluh tahun lebih sudah lamanya kami tinggal di kota ini. Ku kira, kami semua merasa senang berada di sini, tapi aku salah. Tampak jelas bagi ayah bahwa ia merasa belum menemukan ketenangan yang sejati dari hidupnya.
Akhir-akhir ini ayah selalu bilang bahwa ia ingin hidup tenang, jauh dari kebisingan dan sesaknya rumah-rumah tetangga. Punya sebuah rumah di desa dan mengawali karir baru sebagai seorang petani. Kalau sudah begini, ibu akan menggerundel sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar ungkapan cita-cita suami terkasihnya.
“Ayah ini, kok pikirannya tinggal di desa terus! Lama-lama nanti jadi ndeso loh,” komentar ibu suatu hari menirukan satu istilah umum yang jadi populer karena Tukul sering menyebutkannya di sebuah acara bincang-bincang malam ringan bobot, meskipun aku sangsi apakah ibu benar-benar paham dengan istilah yang telah diucapkannya.
Rasanya kata-kata “ndeso” terdengar seperti istilah marginalisasi bagi kaum kecil. Sepintas nampak bagai candaan, namun ayah punya pendapat lain dengan istilah “ndeso”. Hal itu diungkapkan ayah saat kakak yang sedang bercanda denganku sambil mengatai aku ndeso terkena tegur. Sontak ini membuat beliau geram lalu berkata.
“’Ndeso’ itu gak sopan buat diucapkan, meskipun cuma buat bercanda. Sama seperti mengucapkan kata ‘negro’ bagi kaum keturunan Afro-Amerika karena mengandung konotasi yang kurang baik. Kata ‘N’ itu cuma diucapkan oleh orang-orang pada zaman perbudakan dan kaum anti ras. Bagusnya N buat ndeso di Indonesia juga begitu.”
Mungkin ayah berpendapat bahwa “ndeso” yang mengacu pada sifat-sifat yang oleh orang-orang pengaku aliran moderen sebagai kampungan ini umumnya adalah kaum petani yang tinggal di pedesaan. Maklumlah kalau ayah sedikit agak konservatif. Itu dikarenakan beliau yang sangat menjunjung tinggi kata-kata Bung Karno bahwa “Petani adalah sokogurunya bangsa”. Kata-kata ayah ini rupanya benar-benar melekat pada anak-anaknya.
Menurut ayah siapa bilang orang yang sikapnya kekota-kotaan lebih baik dari mereka yang kedesa-desaan. Sungguh, orang yang pola pikirnya terbatas seperti ini kemungkinan kurang pengetahuan tentang geografi atau melewatkan pelajaran ini dengan tertidur atau mengobrol saat mereka bersekolah karena kota sebenarnya berkembang dari sebuah desa.
Maka kami berdua menjadi terkesima dengan penjelasan panjang lebar ayah. Wajah ayah memang tidak merah padam dan intonasinya tidak tinggi sama sekali, tapi tekanan yang terpancar pada ketegasan mimik wajah beliau cukup untuk membuat kami merasa malu pada diri sendiri. Sejak dari itu, kami berjanji tidak akan pernah menggunakannya lagi meski hanya untuk sekedar bercanda kepada siapapun. Namun sungguh tidak disangka, malah terlontar dari mulut ibu.
Dan ayah cuma mengerucutkan bibir sedikit mendengar komentar miris ibu tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk menyahut. Kasihan ayah. Ia terduduk penuh keprihatinan di ruang tengah sambil menyaksikan berita sore di televisi mengenai panen tidak memuaskan di beberapa daerah. Menyeruput teh panasnya setelah mengucapkan bismillah dan kata alhamdulillah penuh makna sesudah menyelesaikan tegukan pertamanya. Wajah beliau tampak berat meyaksikan nasib-nasib petani yang kebanyakan kurang beruntung di negeri agrikulture ini. Harus ku katakan bahwa sedikit banyak ayah merasa kecewa dengan bagaimana tata cara pertanian dan perkebunan ditangani.
Seringkali usaha penghidupan rakyat kecil ini harus terbentur dengan kepentingan segelintir orang. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pesat dengan masuknya modal asing, maka sektor pertanian dan perkebunan rakyat ikut tersingkir dengan pesat pula. Di mana-mana bisnis-bisnis perkebunan dan pertanian dibuka di atas lahan-lahan negara yang dibeli oleh para pengusaha. Umumnya usaha semacam ini memang memberi rakyat lahan pekerjaan namun tidak memberdayakan kehidupan mereka lebih jauh. Rakyat dijadikan kumbang pekerja tanpa diberi kesempatan lebih luas untuk mengolah lahan mereka sendiri. Padahal dengan melakukan yang sebaliknya maka dapat memajukan ekonomi lewat sektor pertanian rakyat yang mandiri dari campur tangan modal asing maupun kepentingan pengusaha besar yang kurang berpihak pada mereka.
Di akhir pekan, seminggu kemudian kami berkunjung lagi ke rumah nenek. Tapi kali ini hanya aku berdua dengan ayah. Ayah menunjukkan padaku dengan tangannya beberapa bangunan pabrik dan gudang sepanjang berkilo-kilo meter jauhnya. Bangunan-bangunan itu nampak bagai kotak-kotak kardus yang berjajar bila dilihat dari jendela rumah nenek yang kecil.
“Kamu lihat itu! Masih ingat tidak, dulunya semuanya adalah areal persawahan yang luas. Tapi kini jumlahnya sudah menurun tajam digantikan dengan pemandangan simbol-simbol industrialisme. Kadang kita memang tidak punya pilihan, tapi sebenarnya kita pasti bisa membuat pilihan yang memberi dampak paling minim terhadap lingkungan dan kepentingan masyarakat luas.”
Nada suara ayah nampak sedih, semakin ke ujung kalimat nadanya semakin rendah. Dan hembusan napas pelan yang panjang menjadi sentuhan terakhirnya. Di kota tempat kami tinggal sebenarnya ada sebuah daerah kurang produktif yang bisa di peruntukkan bagi banyak pabrik-pabrik maupun industri dapat bercokol dengan kokoh tanpa harus mengorbankan satus kota kecil ini sebagai penghasil beras terbesar menurunkan jumlah produksinya. Namun rupanya, begitu banyak kepentingan yang bermain di sini. Masing-masing daerah mencoba sekuat-kuatnya bersaing dalam menarik kalangan pengusaha untuk berdomisili di tempat mereka dengan mengorbankan apa saja. Lumbung padi, lahan gambut penyimpan kelebihan air, hutan, atau apapun namanya. Kita semua seringkali melalaikan komitmen-komitmen kita terhadap alam dan kepentingan manusia. Dan segelintir manusia seringnya hanya berkompromi terhadap kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompoknya sendiri saja.
Memang, seringkali idealisme kita tidak selalu sama dengan idealisme dan kepentingan orang lain. Hampir selama satu tahun terakhir ini, ayah berjuang untuk mempertahankan lahan persawahan seluas empat hektar warisan keluarga agar tidak di jual kepada sebuah perusahaan alat berat oleh adiknya sendiri. Dan bagian dari empat hektar lahan tersebut terletak di pinggir jalanan kota di mana ramai dengan hutan-hutan beton gaya baru kurang ramah lahan gambut. Gedung-gedung itu otomatis mengurangi jumlah areal untuk pertanian dan tampungan air karena dibangun diatas sawah-sawah yang diuruk tanah dengan kejamnya.
Ayah kecewa terhadap adik satu-satunya. Sangkaan kurang mengenakkan yang terlontar dari bibir pamanku benar-benar melumpuhkan pertahanan terakhir ayah. Asumsi paman adalah bahwa ayah berambisi menguasai harta peninggalan keluarga untuk dirinya sendiri. Adiknya itu sungguhnya tahu bahwa apa yang dikatakannya tidaklah benar, tapi, keinginan paman untuk mendapatkan modal berdagang intan lebih besar dari rasa sayangnya terhadap sawah-sawah itu.
“Sebenarnya tidak ada ruginya menjual tanah itu. Kita mendapatkan penawaran yang pantas, harga tanah di sini sedang naik sekali,” kata paman suatu sore di sela-sela obrolan sore mereka.
“Tidak perlu khawatir, uang itu nanti dibagi dua secara adil. Kakak masih bisa membeli sawah lain kalau mau”, ujar paman lagi dengan senyum puas setelah menerima kelengkapan surat-surat-surat tanah yang masih atas nama kakek di tangannya.
Sudah tujuh bulan berlalu semenjak kejadian sore itu. Sawah-sawah tempat dimana ayah sering berlarian di atas pematang bersama adiknya semasa kecil telah terjual. Tempat itu adalah harta berharga bagi ayahku yang menjadi simbol kebahagiaan masa lalunya. Sawah itulah yang menjadi tumpuan biaya sekolah ayah hingga ke universitas.
Ayah sering bercerita padaku kalau ia sering membantu kakek dan nenek di sawah sewaktu kecil, juga bagaimana ia mengisi waktu libur panjang semesternya dengan pulang kampung dan bertani. Aku juga percaya saat ayah bilang bahwa ia masih ingat bagaimana segarnya rasa buah blewah yang ditanam di pinggiran pematang sawahnya. Sebesar apapun harganya, petak-petak sawah itu takkan tergantikan. Namun, mempertahankan hubungan baik dengan adiknyalah yang paling penting sekarang yang mengalahkan idealisme hijau ayah.
Ayah menggunakan uang bagiannya untuk merenovasi rumah peninggalan kakek dan nenek, karena hanya tempat inilah yang tersisa sekarang dari masa kanak-kanaknya. Sisanya ditabung dan digunakan untuk membeli dua hektar lahan kebun tanaman keras yang terletak jauh di luar kota dimana ayah meletakkan impian sederhananya untuk berkebun.
Kisah terakhir memang sungguh miris. Tak lama setelah penjualan dilakukan, paman yang empat puluh delapan tahun kini terbaring lemah tak berdaya setelah mengalami stroke dan komplikasi jantung akibat menjadi perokok berat selama hampir tiga puluh tahun. Bayangkan saja, paman sudah mulai menghisap tembakau semenjak beliau duduk di bangku sekolah menengah secara diam-diam. Setelah stroke ia harus dengan terpaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan pada sebuah perusahaan swasta. Uang keuntungan hasil menjual sawah sudah banyak habis untuk biaya operasi karena salah satu pembuluh darahnya yang pecah. Istri beliau yang tidak bekerja sama tak berdayanya. Kini yang harus keluarga mereka lakukan hanyalah berusaha menghemat uang yang tersisa karena tak ada lagi yang bekerja sementara putra tertua paman hanyalah berstatus seorang mahasiswa semester lima. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hanya peribahasa inilah yang kelihatannya sesuai untuk menggambarkan kondisi paman sekarang. Keluargaku sungguh prihatin dengan musibah yang menimpa keluarga paman.
Ibu adalah orang yang sangat prihatin terhadap ayah. Bagaimanapun juga, ibu sekaligus orang yang paling tahu apa yang begitu diinginkan suaminya di dunia. Ayah kehilangan dua hal dalam waktu yang hampir dekat. Sawah-sawah penuh kenangan dan sekaligus senyum indah dari teman bermain semasa kecilnya yang sering beliau gendong di belakang punggung yakni adiknya. Namun aku yakin, sungguhnya ayah adalah sosok yang kuat dan bijaksana. Akhir-akhir ini aku sering melihat ayah sibuk berada di depan laptop berlabel green monitor ramah lingkungan. Sepertinya beliau sedang sibuk membuat tulisan-tulisan di antara waktu luang setelah pulang kantor dan mengunjungi paman tiga hari sekali. Memancing tak lagi menjadi rutinitas harian. Ayah kini mulai menuangkan pandangan-pandangan beliau mengenai dunia agrikulture dalam bentuk artikel dan kerut yang menghiasi pipi ayah dalam beberapa bulan terakhir telah jauh berkurang. Nampaknya beliau telah menemukan kembali bagian dari jiwanya yang pernah tenggelam.

***
Sahabat Dede, Danan.


Danan namanya. Anak SD berumur sebelas tahun dengan kulit putih, bibir merah tebal yang selalu basah, hidung mancung besar, dan mata bulat berair. Badannya gempal, wajahnya bulat lucu, serasi benar dengan rambut tebal berombak agak kecoklatan yang menghias kepalanya. Penampilannya jauh sekali bila dibandingkan dengan Dede sahabat yang dekat di hatinya yang berfigur kurus tinggi, kulit coklat tua, dan rambut lurus kaku mengikuti gravitasi bumi.
Setiap hari bila berangkat sekolah ia akan lewat depan rumah Dede dengan menaiki sepeda BMX tua milik kakaknya yang diwariskan padanya dengan penuh rasa bangga. Mengayuh lamban sepeda yang pedalnya terlihat lebih panjang dari kaki Danan yang pendek gempal, sehingga ia harus sedikit susah payah menginjaknya. Lucu sekali melihat Danan menaiki sepeda yang memang lebih besar dari badannya layak orang yang memakai pakaian serba terlalu kecil dari ukuran tubuh mereka. Begitu juga ketika ia berusaha berhenti di depan rumah untuk menjemput Dede sebelum berangkat bersama-sama.
Dede punya tiga sahabat kental yang dekat dengannya. Orang kedua dan ketiga masing-masing adalah Upik yang secara fisik paling mirip dengannya dari mata hingga gigi kecuali rambut berombak dan kulitnya yang sedikit lebih coklat muda. Upik juga punya badan yang lebih berisi daripada Dede juga sifat paling lembut dari tiga temannya yang lain. Yang terakhir bernama Samsul. Badannya paling besar dan tegap diantara mereka berempat. Ia bahkan lebih terlihat seperti anak kelas 3 SMP daripada anak kelas enam SD. Wajah Samsul bisa dibilang tampan meskipun kulitnya berwarna coklat kusam dan pakaiannya sering terlihat paling lusuh oleh lumpur sawah dan getah pohon nira. Dan satu hal yang dapat dipelajari darinya, bahwa bila seseorang sudah berbakat punya wajah yang enak dipandang mata, memakai apapun mereka, wajahnya masih akan tetap terlihat bagus. Bahkan bagi seorang anak kampung seperti Samsul. Tak ayal lagi diantara mereka berempat Samsul jadi favorit para gadis di sekolah. Tapi Dede paling disiplin dan tegas karenanya ia terpilih menjadi ketua kelas biarpun badannya paling kurus.
Danan, Dede, Upik, dan Samsul seperti si Bolang cs. Mereka sudah bersama hampir selama enam tahun terakhir. Itupun belum dihitung dengan masa-masa di taman kanak-kanak. Rupanya masa-masa aktif Dede lebih banyak dia habiskan bersama sahabat-sahabatnya daripada dengan orang rumah. Kemana-mana selalu bersama, sekolah, bermain, sampai petualangan di sawah, mencari cacing, memancing, memetik jeruk di kebun keluarga Danan yang jauh di hutan belakang kampungnya dan macam-macam lagi. Bila tidak kemana-mana biasanya mereka suka bermain gundu atau kartu bergambar di depan rumah si Upik yang tanahnya keras dan rata. Atau bisa juga menghabiskan sore di rumah Samsul sambil memperhatikan anak itu membelah kayu bakar sementara ibunya mengaduk-aduk adonan gula aren di halaman. Dan kalau mereka beruntung bisa ngobrol dengan adik Samsul yang berada di kelas empat. Aida namanya, gadis manis berhidung mancung kecil, mata belo, rambut ikal mayang yang kulitnya sawo matang. Dia bagaikan sepotong kayu manis kualitas ekspor yang punya karakter kuat baik fisik ataupun sifat. Meskipun masih kecil, gadis itu sudah memiliki kepribadian kuat karena tempaan kehidupan.
Dede dan Upik bisa dibilang yang paling sedikit pengalamannya dengan alam dibandingkan Samsul dan Danan. Maklum saja karena mereka berdua tinggal di komplek perumahan perusahaan swasta sedangkan Samsul dan Danan tinggal di perkampungan setempat. Rumah Samsul tepat di perbatasan antara kampung dan komplek sebelah selatan. Danan tinggalnya paling jauh karena kampungnya berada di sebelah timur komplek. Seringnya untuk menuju ke rumah Danan mereka harus melewati areal perladangan dan persawahan yang cukup luas. Namun perbedaan jarak di antara mereka urung membuat anak-anak itu malas saling mengunjungi. Sekolah dasar yang cuma ada satu-satunya rupanya menjadi berkah sekaligus pengikat bagi para bolang itu.
Musim ujian nasional sudah tiba. Dede beserta teman-teman petualangnya sekarang banyak menghabiskan sore mereka kembali ke sekolahan untuk mengikuti les-les tambahan. Tapi ada satu hal yang janggal sekarang. Dengan semakin dekatnya bulan ujian maka Danan semakin jarang ke sekolah. Ia pun hampir tidak mengikuti les sama sekali. Ketiga sahabatnya dibikin bingung dengan sikapnya. Ada kala mereka mencari Danan ke rumahnya selepas waktu ashar tapi ia tidak ada. Mau tanya orang tuanya juga tidak bisa karena mereka sibuk menyawah dan meladang maka jarang dirumah kecuali petang tiba. Alhasil mereka pulang dengan tangan kosong.
“Muhammad Adenansi”, panggil ibu Chici, wali kelas mereka yang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.
“Absen Bu!” jawab Dede si ketua kelas.
“Kenapa lagi De?” tanya beliau
“Kurang tahu Bu. Gak ada pesan, gak ngirim surat”, jawab Dede tegas.
Bu guru Chici pun menggeleng pelan. Beberapa spekulasi berkelebat di benaknya tentang kelakuan murid gempalnya itu akhir-akhir ini. Ujian nasional sudah tinggal sebulan lagi. Danan absen semakin sering. Pertanyaan terakhirnya setelah bel tanda istirahat pada anak itu tentang kenapa tiga hari berturut-turut tidak masuk sekolah minggu lalu sama sekali tidak dijawab. Danan malah menjawab dengan kata “Sakit bu!” yang pendek atau cuma lewat seringai kekanakannya lantas berlari menyusul ketiga temannya yang sudah antri untuk membeli es potong. Saat ia dititipi surat panggilan untuk orang tuanya mereka tidak bisa datang. Danan beralasan bahwa surat itu sudah disampaikan tapi orang tuanya sibuk di sawah karena musim panen sudah dekat. Ada kala ia pernah mengunjungi sendiri orangtua muridnya itu tapi mereka malah menggelengkan kepala seperti pasrah terhadap anak bungsunya. Kedua orangtua itu bilang kalau Danan sangat keras kepala dan bilang mau berhenti saja sekolah karena ia sudah tergila-gila memancing. Minggu ini sudah tiga hari sejak Senin dan Selasa ia tidak masuk lagi. Kesibukannya mempersiapkan bulan-bulan ujian sekaligus ulangan kelas membuat ibu guru di sekolah kecil yang serba kekurangan ini sedikit lalai untuk lebih memperhatikan seorang Danan. Kini ia harus melakukan tindakan tegas terhadap Danan yang suka libur sendiri berselang hari yang sudah dua minggu lebih itu. Maka saat bel istirahat berbunyi pagi itu ibu Chici memanggil Dede si ketua kelas beserta dua kroninya yang lain. Ia meminta mereka menemui Danan sekali lagi. Ia pikir jika ia dan orangtuanya sudah tidak berhasil maka sahabat-sahabatnya pasti bisa membujuknya.
Rabu sore yang cerah dengan banyaknya sinar matahari menghujani mereka serta derasnya angin sawah, Dede, Upik, dan Samsul melakukan perjalanan melewati ladang dan pematang persawahan yang ranum berwarna keemasan menuju rumah Danan. Besar harapan di hati mereka kali ini bisa bertemu Danan. Samsul bahkan rela mengorbankan waktu untuk membantu ayahnya menurunkan nira demi menemui sahabatnya. Nyanyian sumbang Upik serta ayunan tongkat ranting pohon di tangan Dede menandakan keberangkatan perjalanan mereka diiringi hati yang gembira.
Saat jalanan setapak semakin melebar dan pepohonan bertambah rapat mereka telah sampai di batas kampung Danan. Di kampung ini hanya terdapat beberapa belas rumah dan terletak di pinggir sebuah sungai kecil. Tidak seperti kampung Samsul yang berada tepat di sepanjang aliran sungai besar yang mencakup puluhan rumah. Tanah gembur lunak berwarna hitam menyambut ramah langkah-langkah kaki penuh jihad mereka untuk mengembalikan sahabat yang gempal itu agar menuntut ilmu di sekolah. Upik melirik pada jam tangan plastik warna merah kebanggaannya yang menunjukkan pukul empat lewat lima menit. Ibu Danan pernah berkata bahwa anaknya akhir-akhir ini suka sekali memancing sejak pagi hingga siang dan kembali lagi mengail setelah shalat ashar. Nah, mereka berpikir harus mencegatnya lebih dulu sebelum ia berangkat.
Tepat saat Danan mulai mengenakan sandal jepit butut dan memanggul pancing di pungung, Dede, Upik, dan Samsul memergokinya. Mulut Danan mengeluarkan suara “Ahh…” panjang yang sulit dipahami sebagai arti “kena deh aku” atau “wah kebetulan, ayo mancing bareng”. Tawa khas menghiasi wajah si gempal itu. Mata bulatnya berbinar dan bibir merah tebalnya basah oleh air liur karena sekarang mereka bisa melihat lagi kebiasaannya bicara sambil tertawa yang juga memperlihatkan dua gigi kelinci besar-besar yang agak bertumpuk. Samsul menepuk punggung sahabatnya keras sementara Dede merangkul bahu yang satu.
“Mancing terus neh?” kata Samsul.
“Iya. “ggak ngajak-ngajak”, kata Dede.
“Ayolah! Kami ikut ya?” tanya Upik sedikit memaksa.
Apa daya Danan tak dapat menolaknya. Ia mengajak mereka ke pinggiran kampung yang berbatasan dengan persawahan di mana ia suka menghabiskan waktunya hampir seharian di tempat itu untuk memancing. Meskipun sudah musim panas dan burung-burung belibis beserta anak-anak mereka bersembunyi untuk sementara ini karena sedang musim dangkal, tapi air di rawa-rawa yang menghubungkan kampung-kampung mereka tidak pernah sampai kering. Jika kau memancing maka masih bisa menemui belut-belut dibalik lumpur juga ikan-ikan gabus, sepat, lais, dan anak-anaknya lalu lalang tanpa rambu-rambu lalu lintas yang pasti. Bergerak-gerak harmonis mengikuti irama dalam air. Sementara kau terhanyut dengan gerakan ikan juga kail pancingmu sendiri, angin sepoi lembut masuk lewat sela-sela rambut dan kerah baju. Kali ini pohon kasturi besar rimbun yang menyebarkan wangi khas dari kayu dan daunnya menaungi mereka. Danan mengajak Dede, Upik, dan Samsul duduk di sebuah batang pohon besar yang tumbang di pinggir rawa sebelum melemparkan mata kailnya jauh-jauh. Dede mencelupkan kedua kakinya ke air yang dingin lalu bergidik geli. Upik dengan tenang mengamati sekitarnya hingga seberkas cahaya atap seng sekolah tua mereka yang tertimpa sinar mentari berkilau di kejauhan. Akhirnya ia jadi ingat tujuan mereka.
“Dan, kenapa ‘ggak sekolah lagi. Bolos terus?” kata Upik dengan masih menatap ke atap sekolah.
“Iya, kalo lewat belakang kampungmu sini terus jalan di atas pematang kan cuma jalan sekiloan lebih dikit lah”, kata Dede. “Itu atapnya aja keliatan ujungnya”, tunjuknya semangat.
“Males ah!” jawab Danan pendek dengan sedikit rasa bersalah.
“Sebentar lagi ujian loh! Kan sayang kalo ‘ggak diterusin Dan…”, kata Samsul sambil merangkul Danan.
“‘Ggak ah, enakan di sini. Capek belajar”, tukas Danan dengan mata menerawang pada pemandangan cantik di sekelilingnya.
“Ya ampun Dan, tinggal sedikit lagi kok. Masa segitu aja nyerah. Payah,” komentar Dede.
Hati Danan seperti tersengat mendengar kata-kata para sahabatnya. “Aku lebih suka mancing, titik!” katanya polos lalu berdiri dan berjalan memeriksa lukah yang ia pasang di balik rumput rawa. Wajahnya diliputi cemberut penuh raut kekanak kanakan.
“Benar berarti yang mamak kamu bilang kalo kamu keranjingan mancing sampai lupa sekolah”, kata Samsul. Sekarang ia sudah berdiri tegap di sebelah Danan yang membungkuk menghadapi lukahnya yang kosong. Kedua tangannya mengacak pinggang tanda kejengkelan.
“Katanya kamu mau sama-sama aku sekolah di madrasah Al Husaini. Ya udah, kalo gitu aku pergi sekolahnya bareng Samsul aja”, bohong Upik.
Wajah Dede diliputi sedikit keanehan saat mendengar kata-kata Upik. Kakinya berhenti bermain-main di air. Ia tahu persis kalau Samsul akan sekolah di SMP terbuka sore hari alih-alih sekolah di madrasah. Keluarga Samsul tidak akan sanggup menyekolahkannya ke madrasah kecil lokal sekalipun karena masih harus menanggung beban delapan saudaranya yang lain, juga karena ia harus membantu orangtuanya di pagi hari. Mata Samsul bertatapan agak nanar dengan mata Upik sebelum akhirnya menelan ludahnya sendiri dengan pahit dan berkata dengan suara sedikit tercekat.
“Iya! Nanti aku naik sepeda berangkat sama-sama Upik sekolah sore di madrasah. Pamanku udah ngasih aku sepeda buat sekolah. Dede juga ‘ggak bisa lagi nemenin kamu main soalnya dia mau dikirim orangtuanya sekolah ke pesantren yang jauh dari sini”, ujar Samsul perih.
“Sepeda kamu yang mana? Yang jelek terus rantainya putus karatan itu, dikasih paman kamu”, kata Danan ketus. Sekarang hatinya diliputi kecemasan.
Wajah Samsul tiba-tiba nampak letih sendiri. Sementara dua sahabat lainnya diliputi kengerian luar biasa. Keadaan sunyi sekejap kemudian di antara mereka. Alam diam-diam meresapi sengitnya pertempuran kata-kata ini. Hanya bunyi blup-blup dan kecipak kecil air oleh gerakan ikan lewat yang terdengar. Hening bunyi kecipak ikan yang menjauh ketakutan lalu digantikan gemerisik daun-daun rumput rawa yang digoyangkan angin deras dan menjadi latar empat sahabat yang mematung dalam posisi mereka masing-masing hingga rambut-rambut mereka diterbangkan angin. Seekor bangau menyaksikan lewat kaki putih panjangnya yang bertengger di atas ranting pohong hanyut yang mencuat dari dalam air di kejauhan, membisu. Hanya seekor katak muda cuek yang melompat menyanyikan nada-nada gembiranya persis dibawah kaki Dede dan membuat keruh air. Sekeruh diamnya para sahabat ini hingga bening warna biru langit dan hijau bukit yang bercampur kuning dan kemerahannya daun-daun pohon yang menjadi landscape mereka seakan tanpa arti.
“Bener De kamu jadi mau sekolah ke pesantren yang di luar itu?” suara lirih Danan akhirnya memecah kesunyian. Hati anak berumur sebelas tahun itu sedikit terpukul. Danan merasa ia lebih dekat dengannya dari yang lain meskipun Dede sendiri merasa lebih lekat dengan Upik.
“Iya!” jawab Dede pendek. Takut jawaban panjang akan melukai hati sahabatnya itu lebih dalam.
“Ayo pulang!” kata Samsul agak sakit hati lalu melangkah cepat diikuti Dede dan Upik, mengacuhkan keinginan hati yang masih ingin duduk sejenak menikmati alam indah ini, meninggalkan Danan yang masih memegangi lukah kosongnya dengan mata menatap tanpa makna ke air tembus pandang beriak berkilauan tempat kakinya terendam. Hati kecil Danan diisi penuh dengan kesunyian dan ketakutan.
Pagi ini Dede sudah mengenakan sepatu hitamnya yang disemir bersih oleh ibu. Tas ransel juga penuh buku berisi PR yang sudah dikerjakan. Jam tangan hitamnya menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit yang artinya ia harus segera berangkat sekolah. Kali ini untuk yang ke sekian kalinya atau bahkan untuk yang terakhir kalinya tanpa suara panggilan Danan di halaman. Setelah mencium tangan ibu, Dede berlari tergesa dengan memakai sepatunya di dalam rumah karena ia sudah terlambat lima menit untuk berangkat. Kakak perempuannya yang sedang meminum susu mengernyit menyaksikan pemandangan itu.
“Ibu, Dede berangkat. Assallamualaikum!” teriaknya sembari menuruni teras depan rumah.
Di pinggir jalan seseorang sudah menunggunya dari atas sepeda butut tua, seseorang yang berbadan gempal. Bibir basah khasnya mengembangkan tawa kecil jenaka tanpa ragu. Keningnya di basahi keringat penuh semangat sebab mengayuh sepeda. Serta-merta Dede naik ke atas boncengan sepeda seperti yang biasa ia lakukan. Sahabatnya ini begitu bangga dengan sepeda tuanya sehingga Dede tak punya alasan untuk mencegah Danan yang memboncengnya. Jalan tanah penuh kerikil di komplek bergemeretak menahan beban mereka. Hari ini ibu Chici gembira melihat empat sahabat duduk bersama lagi. Persahabatan anak-anak memang tulus dan murni. Pertentangan mereka umumnya tak pernah bertahan lebih dari dua hari bahkan menit. Hari ini juga Danan memuji sepeda tua baru milik Samsul yang dibawanya ke sekolah dan sudah dicatkan warna biru oleh ayah Dede. Jam-jam istirahat mereka dipenuhi riang tawa dan antri membeli es potong lagi sekarang, mereka tidak pernah tahu bahwa saat-saat seperti itulah yang di masa mendatang akan membuat mereka masih saling merindukan dan mencari sembilan tahun kemudian meskipun sudah terpisah jarak, waktu, tempat, dan nasib.
***
Nurul
THE CITY PARK

Wanita akhir duapuluhan itu masih berhenti di sana. Menatap penuh arti pada sebuah tempat yang dulu semasa kecil ia kenal sebagai sebuah taman. Taman bermain dengan beberapa permainan jungkat-jangkit, ayunan, sepeda mini dan rumput hijau untuk diduduki. Tapi kini ia sudah tidak nampak lagi. Sebuah kafe dengan beberapa bangunan semi permanen dan tenda-tenda parasutnya berjajar-jajar memenuhi reruntuhan taman kecil miliknya. Kursi-kursi plastik warna hijau tua disusun ala kadarnya di bawah tenda-tenda bermotif putih biru dengan meja-meja kayu bundar berpotongan kasar di tengahnya untuk tiap-tiap empat kursi. Padu-padan semua hal itu sama sekali tidak bisa dibilang atraktif.
Ditempat yang dulu sebuah patung roket semen setinggi dua meter pernah ada itulah berdiri bangunan yang tampak bisa dikenali sebagai dapur si kafe. Di sisi-sisi yang mengelilingi patung roket itu dulu terdapat lantai semen dimana ayah dan ibunya sering duduk-duduk sambil memperhatikan dan menungguinya bermain. Dapur kafe itu sebenarnya lebih kelihatan bagai pos ronda ketimbang tempat di mana sang koki utama menunjukkan kebolehannya membuat sandwich isi selai dan jus apel atau mangga seadanya. Dinding kayunya yang separuh bagian ke atas dibuat saling-silang membentuk lubang-lubang tembus pandang dimana kau bisa melihat botol-botol minuman bersoda beragam warna serta toples-toples kaca bening berisi macam-macam buah-buahan dan sirup berjajar rapi di etalase-etalase kacanya yang berdebu. Lantai tanah berkarpet rumput hijau itu sekarang sudah jauh berkurang ditutupi jalan-jalan setapak menyilang ke kiri, ke kanan, ke segala arah terbuat dari semen berwarna kelabu yang permukaannya bermotif lingkaran-lingkaran tahun batang pohon.
Di sisi kanan taman itu dulu ada sebuah bangunan yang menyewakan sepeda untuk anak-anak. Pernah suatu hari ia minta orang tuanya meminjamkan untuknya satu dari sepeda-sepeda itu tapi karena statusnya yang disewakan maka mereka urung melakukannya. Meskipun begitu tidak lantas membuatnya kecewa karena ia masih bisa menikmati fasilitas lain yang gratis. Bermain kuda-kudaan kayu berkaki pegas terbuat dari besi yang bisa bergoyang ke depan dan ke belakang juga cukup menyenangkan. Bibirnya tersenyum mengingat bagaimana dulu ia sering berebut dengan kakak perempuannya untuk bisa menaiki salah satu kuda-kudaan yang kepalanya paling bagus.
Membathin tentang apa yang dipikirkan oleh-orang-orang sekarang. Tergelitik untuk menanyakan apakah kini masih cukup banyak anak-anak yang sebahagia dirinya dulu. Apakah masih cukup luas ruang untuk mereka bergerak, bermain, dan berlarian di tengah tingkat kepadatan penduduk yang semakin bertambah setiap hari. Tempat rekreasi dimana ayah, ibu dan anak-anak bisa menghabiskan akhir pekan atau sore bersama-sama. Terbersit pula apakah para orang tua sekarang sudah terlalu sibuk bekerja hingga terlalu lelah untuk mengajak anak-anak mereka ke taman sampai akhirnya satu kesimpulan muncul di masyarakat bahwa tidak ada taman-taman kota yang hijau dan lapang untuk keluarga berekreasi bukanlah sebuah masalah.
Egoisme berpusar dalam pikirannya. Mungkin hanya dia yang terlalu mencintai taman itu karena kenangan-kenangannya yang terlalu indah, hingga ia tak rela kalau orang-orang yang memikirkan kapitalisme semata merenggut kebahagiaannya begitu saja. Taman itu yang seharusnya bisa tetap jadi bagian dari kehidupannya juga banyak anak-anak lain, mencetak momen-momen hebat dalam hidup mereka, serta menjadi salah satu kekuatan dari perkembangan dalam hidup manusia-manusia kecil kini telah beralih fungsi menjadi sebuah tempat yang bahkan kurang layak disebut sebagai kafe.
Banyak anak-anak itu mungkin tidak perlu taman dengan water boom yang memiliki pancuran air setinggi sepuluh meter dan kolam renang luas bertingkat-tingkat yang harga tiket masuknya kurang terjangkau bagi banyak orang tua biasa. Mereka hanya butuh taman dengan lapangan rumput hijau tempat di mana bisa berlari sepuasnya tanpa perlu tersandung, pohon-pohon rindang yang membuat bayangan-bayangan teduh di atas tanah agar mereka bisa duduk di saat lelah, papan seluncur, jungkat-jangkit, atau ayunan dan kuda-kudaan sederhana beserta bangku-bangku semen agar orang tua mereka bisa duduk tenang sambil mengawasi mereka bermain. Tempat yang bisa mereka kunjungi di sore hari atau setiap akhir pekan. Rekreasi yang murah lagi menyenangkan. Bukan sebuah tempat yang hanya akan mereka jangkau saat hari libur besar seperti Hari Raya atau tahun baru saja.
Waktu terus berjalan seiring berputarnya bumi di porosnya, begitu juga dengan berbagai kejadian. Selayaknya manusia dewasa, anak-anak pun butuh penyegaran atas keseharian mereka. Taman membantu mereka membentuk pikiran serta tubuh yang sehat dan dinamis. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga akan mengajarkan anak-anak akan pentingnya ikatan yang kuat antar setiap anggota keluarga disamping mendekatkan diri mereka terhadap alam dan lingkungan.
“Aku suka taman dan sering pergi ke taman. Aku mau beli tas ini buat jalan-jalan ke taman”, katanya suatu hari pada temannya Lina sambil menunjuk ke sebuah gambar tas.
“Ngapain kamu ke sana. Kok kayaknya senang banget pergi ke taman. Kamu ngecengin paman keripik ya?” seloroh Ichand, seorang teman sekampusnya yang kebetulan juga ada di sana. Pria muda lucu yang suka bercanda itu tenggelam antara rasa kagum dan heran, akan hobby salah satu temannya yang menurutnya tidak lagi umum di kalangan para gadis jaman sekarang.
“Perasaan yang suka ke taman itu J-Lo di film Wedding Planner, itupun dia ke sana buat nonton film-film hitam putih jaman dulu atau Meg Ryan pas janji ketemuan sama Tom Hanks di film You’ve got mail,” tambah Ichand lagi dengan intonasi yang dinaikkan di akhir kalimat.
“Wah, aku pikir kamu cuma nonton Final Fantasy aja bro, bukan yang lain, apalagi drama!”
Gadis itu lalu tertawa kecil yang membuat bahunya berguncang pelan. Ia lalu fokus kembali pada gambar sebuah tas lucu berbentuk baju anak-anak berwarna putih, biru, dan merah muda yang ingin ia beli pada salah satu majalah belanja yang ditawarkan Lina temannya. Hatinya tergelak bahagia membayangkan membawa tas itu untuk jalan-jalan ke taman. Mungkin Ichand benar pikirnya. Ia bisa menaruh uang dalam tas itu untuk membeli sekantung besar keripik sambil duduk di atas lantai semen keras menunggu air mancur berhenti mengalir saat petang tiba di taman kota pada akhir pekan.
Tapi taman kota itu tidak punya lapangan rumput yang luas. Yang ada hanyalah empat buah ayunan gantung karatan yang berbahaya, dua permainan jungkat-jungkit dan satu seluncuran berlantai tanah yang kalau terinjak oleh anak-anak maka sepatu dan sandal mereka jadi kotor karenanya, apalagi saat musim hujan tiba dengan pengunjung taman membludak di segala tempat. Di taman itu juga bisa ditemukan kandang-kandang kotor hewan-hewan liar seperti beberapa jenis kera pemalu yang galak, beberapa species burung menggemaskan yang nampak depresi dan sejenis reptil berwajah terintimidasi yang tidak berbahaya bila berada dalam kandang.
Bukan, bukan masalah kalau kadang-kadang kera-kera itu jadi berbahaya karena bisa dengan tiba-tiba menjambak rambutmu dari balik jeruji saat kau berada terlalu dekat dengannya untuk melempar pisang dan kacang-kacangan, lalu sedikit mencakar lenganmu ketika kau berusaha menyelamatkan diri, atau ketika burung-burung itu menjerit-jerit histeris memekakkan telinga, frustasi akan sempitnya privasi yang diberikan manusia pada mereka atau juga pada saat sang reptil bergerak-gerak gelisah dalam kandangnya. Yang menjadi masalah adalah ketika kita menjadi berbahaya bagi hewan-hewan malang itu karena telah dengan sengaja atau tidak menjadikan mereka sebagai objek olok-olok alih-alih sebagai buah dari kekaguman kita terhadap ciptaan Tuhan yang patut kita selamatkan, dengan memberi mereka tempat yang lebih layak dari sekedar kebun binatang ala kadarnya pada pojok-pojok taman kota. Hewan-hewan itu sudahlah jadi makhluk malang terabaikan tanpa ditambah minimnya kepedulian tulus dari tiap-tiap mata yang memandang dan keinginan kita untuk melestarikan mereka. Satu-satunya tempat lumayan bersih menyenangkan hanyalah taman air mancur kecil itu yang hanya menyala selama sore hari hingga sebelum adzan magrib berkumandang.
Jika pergi ke taman ia mampu melupakan masalah-masalah yang datang dalam hidupnya. Pergi ke taman menjaganya tetap bahagia dan memberinya kekuatan akan kehidupan juga salah satu cara membantu sisi psikologisnya tetap berjalan dengan seimbang. Taman membantu membentuk dirinya yang sekarang. Kebahagiaan dan kenangan akan taman menguatkan hubungan antara ia dan kedua orang tua juga saudara-saudaranya, mengobati banyak luka hati, serta mengajarkannya arti mencintai sebuah peradaban baik dari sisi manusia maupun alam. Sebelum menginjak usia duapuluhan ia tak pernah tahu jawaban dari pertanyaan seorang Ichand tentang kenapa ia suka sekali pergi ke taman kota dan begitu mencintainya. Baru disadari bahwa kebiasaan itu muncul akibat orang tuanya yang dulu sering mengajaknya ke taman. Mereka menanamkan padanya pentingnya mencintai alam, keluarga, dan kehidupan. Taman begitu berarti baginya.
Pulang ke rumah dan menceritakan pada ayahnya bahwa taman kota yang ada sekarang terlalu padat bagi wadah berkumpul semua orang. Nampaknya semua pengunjung jadi kurang leluasa bergerak dan menikmati rekreasi mereka. Berkesimpulan bahwa seharusnya ada lebih banyak taman-taman kota yang bisa jadi arena bermain, rekreasi sekaligus pendidikan bagi anak-anak dan keluarga. Jika kita peduli kita bisa memberi pilihan yang lebih baik kepada warga kota.
“Dulu bapak sama ibu sering mengajak kamu, mbak, dede ke taman yang ada di sebelah kantor polantas”, kata ayahnya bernostalgia.
Kemudian ia bercerita tentang taman bermain itu yang sekarang lahannya sudah dijadikan kafe tenda. Ayahnya berkomentar bahwa kini semakin berkurang kesadaran dari banyak kalangan untuk menyediakan tempat yang lebih luas dan baik bagi anak-anak bermain sekaligus belajar serta ruang hijau di tengah kota yang bertambah padat mengacu kepada isu pemanasan global.
“Sepertinya masih ada yang tersisa”, ujarnya pada bapak. “Ternyata tanaman bougenville berbunga merah yang dulu ada di bagian depan taman sebelah polantas itu pak, masih tumbuh. Padahal sudah duapuluh tahunan. Tanaman itu kuat sekali ya? Hebat”.
Senyumnya mengembang setelah menyelesaikan kata-kata terakhirnya. Sedikit banyak ia merasa bahagia bahwa setidaknya masih ada yang tersisa dari taman kecil cantik kesayangannya. Dalam hati berharap tidak hanya tanaman dan pohon-pohon saja yang mampu bertahan ditempa zaman tapi juga tanah-tanah lapang tempat anak-anak bermain dan berlarian. Ia ingin orang lain peduli tentang pentingnya memberi ruang bermain dan berekreasi yang sehat kepada anak-anak. Tempat di mana mereka belajar tentang arti persahabatan dan keluarga juga menghargai arti dari keberadaan sebuah kehidupan.


***
The Tree (Pohon)

Mataku memandang tak berkedip pada monitor yang memberitahu denyut jantung ayah. Begitu lemah, selemah alunan naik turun dadanya. Tanganku memeluk bahu tangannya yang kurus pucat tak berdaya sementara ia tertidur dan bayangannya semakin mengabur di mataku. Sebuah tangan yang kuat menyentuh bahuku lembut membuat mulutku mengeluarkan napas yang tertahan sesak di dada. Itu suamiku yang datang, bersama dengan putri kami yang sedang tertidur pulas di gendongannya. Beberapa minggu berpisah di saat-saat seperti ini membuatku begitu merindukan mereka. Aku berdiri lalu menyandarkan kepalaku di dadanya dan ia memelukku hangat dengan satu tangan. Mataku yang mengabur menyisakan dua buah tanda air pada jas perjalanannya. Aku berusaha keras untuk tidak meraung saat itu juga.
Malam ini saudara-saudaraku yang lain akan menggantikanku untuk menjaga ayah. Hatiku begitu berat, aku tak ingin pergi sementara tidak tahu apa yang bisa terjadi.
“Semuanya akan baik-baik saja”, kata abangku dan ku harap ia benar.
Semoga jantung ayah akan bertahan sekali lagi malam ini bathinku saat menyentuh bahu adikku untuk mengucapkan selamat malam sebelum pulang yang ia balas dengan tatapan mata tenang. Aku selalu iri dengannya yang selalu bisa menyembunyikan dengan baik perasaannya. Bahkan saat ibuku pergi dan kami semua diliputi dengan rundungan duka, adikku menampakkan wajah tenang paling menyakitkan yang pernah ku lihat. Orang bilang yang seperti inilah yang justru menyimpan sakit paling dalam. Perasaannya pasti tidak jauh berbeda dengan yang kami rasakan, namun saat itu aku muak melihatnya nampak tegar. Berpaling sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan dengan si kecil yang kini di lenganku. Rasanya tenang mengetahui ada seseorang yang kau cintai yang bisa dipeluk ketika hatimu sedang kalut.
Kami sampai di rumah keluargaku dan malah ku biarkan ayah dari seorang putri ini yang membuatkanku kopi meskipun ia baru datang dari Turki. Butuh sedikit lama baginya mencari-cari posisi tempat kopi dan gula karena aku sama sekali tak berniat bicara. Ia lalu duduk termenung setelah meletakkan cangkir kopi di hadapanku sambil memandang istrinya yang kusut masai. Tak berucap sepatah katapun semenjak kami bertemu di rumah sakit hingga akhirnya kami duduk di meja makan pada dapur yang sepi hingga berjam-jam kemudian. Ini adalah serangan kedua terhadap jantung ayah setelah serangan terakhir terjadi awal tahun kira-kira delapan bulan yang lalu. Dokter bilang kondisinya sangat kritis sampai-sampai aku tak ingin mendengar atau mengingat kata-kata itu. Kini mataku menerawang memandang dapur yang aku dan ayah mulai renovasi bersama setahun sebelum aku menikah. Persis sekali seperti dapur idaman yang selalu aku inginkan. Bernuansa kayu dari dinding hingga furniturnya. Menimbulkan kesan hangat bagi siapapun yang pernah masuk ke dapur ini. Saat aku dan suamiku menikah, kami menanggung semua biaya pernikahan sendiri. Aku selalu menginginkan pernikahan yang melegakan semua orang. Karena itu kami berdua menyiapkan pernikahan ini cukup lama di samping karena pekerjaan yang banyak menyita waktu. Keluarga di kedua belah pihak sama sekali tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Pernikahan kami dilakukan sederhana dengan undangan kerabat dan teman-teman dekat. Ayah tahu aku selalu memimpikan memiliki dapur indah di rumah maka ia menjadikan renovasi dapur ini sebagai hadiah pernikahan sebagai ganti biaya yang tidak ia keluarkan untukku meskipun pada akhirnya aku hanya bisa melihat dapur ini sesekali saat aku kembali. Renovasinya selesai tepat dua minggu sebelum hari H. Di hari-hari biasa hanya ada sebuah meja makan kecil bundar dengan empat kursi disini. Hingga waktunya kami berkumpul saat hari raya, buka puasa, reuni keluarga, ataupun sekedar makan bersama maka di keluarkan sebuah meja panjang dengan lebih dari duabelas kursi untuk menampung jumlah anggota keluarga kami yang semakin membesar dari waktu ke waktu. Cengkraman hangat tangan Ismail di punggung tanganku membuatku tengadah. Suamiku yang tenang ini kemudian menggeser kursinya semakin dekat kepadaku sebelum memeluk sekali lagi. Dan tak ingin membangunkan putri kami, aku menangis pelan menumpahkan kesedihan. Bersyukur ia menguatkanku tanpa bicara sedikitpun.
Malam itu aku tidur sembari memeluk erat Jeena. Adikku datang paginya dengan kabar yang sedikit menenangkan saat aku sedang membuatkan sarapan untuk keluarga kecilku. Berkata bahwa ada sedikit kemajuan dengan perkembangan kondisi ayah yang berarti operasi untuk menyelamatkan hidupnya akan dapat semakin cepat dilakukan.
“Kamu tidak perlu kesana dulu siang ini”, tambahnya. “Terlalu banyak yang menunggu membuat sesak ruangan. Lagipula kamu butuh istirahat dan menemani mereka berdua yang sudah jauh-jauh datang”.
Jadilah kami bertiga duduk-duduk di depan rumah yang rindang dengan berbagai pohon buah yang ditanam ayah. Sebuah pohon menarik perhatian kami di tanah seberang halaman rumah yang tak berpagar. Pohon itu besar dan rindang, letaknya dekat tikungan jalan. Ada sebuah ayunan tergantung di dahannya dan bangku kayu sederhana tempat kami sering menghabiskan waktu-waktu berkualitas kami bersama ayah di bawahnya. Di hari-hari yang begitu panas, makan buah bersama, minum limun, bercanda, mengobrol dan curhat tentang apa saja, bermain, hingga menuliskan nama-nama kami di batangnya. Pohon ketapang tua yang kenangannya tumbuh bersama kami dan ku harap tumbuh bersama putriku juga. Bahkan sampai sekarang anak-anak sekitar juga sering bermain di bawahnya. Ia pasti juga punya arti bagi mereka. Pohon itu begitu gagah, berdiri tegak sekaligus anggun dengan cabang-cabang kuat ke segala arah selayaknya tangan-tangan perkasa yang akan menjaga kami setiap saat. Daun-daunnya yang lebar sering dijadikan anak-anak topi-topian, berwarna hijau di musim hujan dan oranye kemerahan di musim panas. Bertahun-tahun pohon itu menjadi bayangan imaginasiku tentang warna musim gugur di negara empat musim yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Indah sekali. Bahkan saat musim gugur datang di Anatolia sekalipun pikiranku dipenuhi oleh bayangan pohon ini. Mungkin karena ia mengingatkanku pada sosok kuat dan tegar ayah, mungkin juga aku menganggapnya sebagai manifestasi ayah. Pada pohon ku lihat sifat melindungi dan menenangkan seperti yang selalu ayah lakukan pada keluarganya. Kedengarannya terlalu romantis, tapi begitulah adanya. Putriku menunjukkan lesung pipi cantiknya saat ia mendengarkan penuh antusiasme pada ceritaku. Ia persis sekali seperti ibu dengan satu lesung pipi di sebelah kiri, gigi kecil-kecil, dan rambut bergelombang. Hanya saja ia berkulit putih dan mata besar yang tak biasa bagi seorang gadis indo yang tak mirip ayahnya. Sering aku menatap gadis kecilku lekat saat ia tertawa hanya untuk mengenal senyum manis siapa yang telah ia curi ini.
Ia dan suamiku tersenyum penuh kerinduan saat aku bercerita tentang satu pohon petai china di belakang rumah kami yang dulu sering aku ajak bicara dan kini sudah tidak ada. Saat kuliah aku tinggal jauh dari rumah dan hanya pulang dua minggu sekali. Suatu hari aku memeluk pohon itu sambil berkata kapan aku akan bertemu dengannya lagi karena dua minggu terasa begitu lama untukku meninggalkan rumah. Namun dua minggu kemudian saat aku pulang, aku tidak menemuinya berdiri menjulang di belakang rumah. Aku bertanya pada ibuku tentang apa yang terjadi. Ibuku berkata bahwa seminggu lalu saat hujan deras hebat datang, pohon itu disambar petir dan tumbang. Aku kehilangan salah satu sahabat terbaik yang telah bersamaku selama sepuluh tahun. Harus ku katakan bahwa terkadang aku bicara pada pohon itu dengan hati yang aku yakin ia bisa mendengarnya. Kini ku katakan pada putriku, bahwa ibunya ini mencintai segala hal yang berkaitan dengan setiap kenangan indah masa kecilnya. Aku menunjukkan padanya foto-foto kami sekeluarga bersama pohon itu. Saat aku dan saudara-saudaraku masih anak-anak, remaja, hingga dewasa. Ada pula foto-foto para keponakanku dan beberapa sepupu. Ayah menanam banyak pohon termasuk pohon ketapang itu untuk menaungi jalan sekaligus mengurangi erosi karena rumah kami terletak di bukit kecil yang tanahnya miring, hingga saat hujan datang, ia sering membawa tanah bersama aliran airnya. Ayahku begitu mencintai tanaman terutama pohon dan syukurnya ia menularkan hal ini pada anak-anaknya.
Pernah suatu hari ada sekelompok orang datang lalu menebangi beberapa pohon akasia besar yang letaknya di atas lahan milik orang lain di belakang rumah kami dengan gergaji mesin besar yang ribut. Ayah memandangi aksi itu tanpa henti dengan menggeleng-gelengkan kepala. Ia terus bertanya-tanya tak percaya.
“Kenapa orang-orang itu suka sekali menebang pohon di tempat di mana sudah jarang pohon? Perlu bertahun-tahun bagi pohon-pohon itu untuk tumbuh besar dan rindang. Sayang sekali ada orang yang tidak suka kehijauan dan juga pohon. Sayang sekali mereka bersikap seperti itu kepada alam. Sayang sekali”, komentar ayah waktu itu.
Aku berpikir mungkin si pemilik tanah yang menyuruh mereka melakukannya, tapi ayah berkata bahwa menurut tetangga kami orang-orang itu memang menebang pohon-pohon di lahan-lahan kosong seperti yang mereka kerjakan di dekat lahan pertaniannya. Ayah, aku, dan adik laki-lakiku sedih melihat pohon itu pergi dan berakhir di atas truk pengangkutan. Aku dan ayah nanar mengantarkannya menjauh saat truk itu melewati depan rumah kami. Sejak hari itu langit, awan, tanah, dan udara di belakang rumah kami menjadi berbeda karenanya. Suatu kali aku pergi mengunjungi sisa-sisa pohon itu dan menghitung lingkaran tahunnya. Ternyata pohon itu telah berada di lingkungan kami selama sembilan tahun. Rasanya begitu menakjubkan jika mengingat bahwa dalam setiap lingkaran tahunnya mengandung begitu banyak cerita dan sejarah hidup tentang orang-orang yang tinggal dekat dengannya. Dulu aku sering membayangkan jika kami duduk-duduk di bawah pohon itu, namun karena rumput-rumput tinggi membuat kami urung menuju ke sana. Setelah itu aku menyesal kenapa tidak pernah melakukannya meski untuk sekali saja. Jika ada orang bicara kepada makanannya seperti Rachael Ray, mungkin aku dan ayah adalah contoh orang-orang yang bicara pada pohon-pohon kami.
Suamiku lalu mengambil kamera dan kami membuat foto bersama di bawah pohon ketapang itu. Tapi sayang putriku belum sempat berfoto bersama ayah dan keluargaku. Aku memotretnya tepat saat ia berayun kencang di atas ayunan bersejarah keluargaku. Seperti yang pernah dilakukan ayah padaku juga saudara-saudaraku. Entah kapan itu terjadi, namun seiring aku menumbuhkan perasaan itu, keyakinan akan kesembuhan ayah menyelimuti hati dengan perasaan hangat dan memberiku harapan.
Dua minggu berlalu setelah operasi bypass ayah. Beliau masih tinggal di rumah sakit. Hari-hari berlalu dipenuhi rasa optimisme di tengah kesempatan bertahan ayah yang kecil bersama suami dan anakku yang semakin menikmati bermain di bawah pohon kesayangan kami. Ia sudah tak sabar ingin berfoto bersama ayah, tapi ku katakan padanya bahwa Ia harus menunggu sampai kakeknya sembuh. Hingga akhirnya datang hari di mana ayah ingin sekali pulang ke rumah. Kami membawanya pulang dengan hati yang menolak pikiran-pikiran menakutkan dalam kepala kami. Ia duduk di atas kursi rodanya membuat foto bersama putriku serta kami semua dua hari sebelum akhirnya kembali masuk rumah sakit dan kami tak akan pernah melihatnya lagi. Semuanya menjadi semakin menyedihkan ketika satu minggu kemudian saat kami sedang berkumpul di dalam rumah setelah memperingati tujuh hari kepergian ayah, suara-suara mesin ribut itu kembali membuat kami berlari keluar ke halaman. Dan yang terjadi adalah sekelompok orang sedang memotong-motong dengan brutal cabang-cabang pohon kenangan kami dengan kejam. Tanpa sadar mulutku menganga dengan kantung mata nanar. Putriku enam tahun, Jeena Khadijah berlari menabrakku sambil menangis tersedu-sedu. Adikku membawa sisa-sisa dari ayunan lalu menyerahkannya ke tanganku yang gemetar.
“Tidak apa sayang, itu cuma sebuah pohon”. Kataku dengan hati sakit, suaraku hampir tersedak.
“Tapi, itu pohon ibu, pohon kakek, pohon kita semua!” rengeknya keras.
Memeluk putriku erat, mengelus rambut Jeena untuk menenangkannya. Aku berusaha tidak menangis meskipun rasanya kelu sekali. Ismail mengalungkan lengannya di punggungku. Ayah pergi, pohon itu juga dan angin yang berhembus di rambutku ini rasanya berbeda. Tak lama kemudian banyak anak-anak berkumpul untuk melihat tumbangnya pohon kenangan mereka. Nampaknya mereka juga sama kecewa seperti kami.
Entah bagaimana caranya kakakku Abdi bicara dengan orang-orang itu dan akhirnya memenangkan hak atas batang-batang pohon itu. Ia membeli batang utama dimana kami tertulis nama-nama kami dan memeliturnya lalu meletakkan batang itu di dalam rumah sebagai kenang-kenangan yang tersisa dari sebuah pohon bersejarah keluarga kami. Untuk mengenang dan menghormati ayah, aku dan Jeena menanam sebuah pohon tambahan di pinggir halaman kami yang diberi nama putriku dengan nama pohon kakek dan Jeena, tempat di atas lahan keluarga dimana orang takkan lagi bisa dengan semena-mena menebangnya dan mengindahkan penghargaan kenangan kami atasnya. Orang seringkali mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya berdampak besar dalam kehidupan mereka juga orang lain.
Memandangi foto-foto kami bersama ayah satu-persatu lagi membuatku sadar. Aku tak pernah benar-benar kehilangan ayah. Dalam foto bisa kulihat senyum tegarnya yang bahkan tak luntur hingga hari-hari terakhir. Begitu mengagumkan. Saat melihat putriku tersenyum menatapku lekat, ku temukan jawaban asal senyum dan mata cantik yang telah dicuri Jeena untuk dirinya. Ayah hidup dalam diri putriku, yang terbaik dan terindah dari warisannya yang bisa ia turunkan padaku dalam bentuk yang paling nyata. Senyum tipis, mata besar yang sayu, dan lesung pipi itu, juga hatinya yang penuh belas kasih membuatku merasa melihat kedua orang tuaku lagi dalam sosok yang berbeda. Ini mempengaruhi hidupku hingga bertahun-tahun kemudian di mana putra-putriku memiliki setiap hal yang mereka warisi dari keluargaku maupun keluarga suamiku dan memberiku kebanggaan tersendiri atas hal-hal baik yang bisa mereka bagikan pada dunia. Rasanya tak ada anugerah sebesar ini dalam hidup seseorang selain memiliki apa yang menjadi kepunyaan orang-orang yang mereka cintai. Tak ada alasan untuk berkata bahwa hidupku tidak sempurna. Mencintai dan dicintai ayah telah membuatku merasa menjadi sosok yang lengkap karena ia selalu mengajarkanku untuk mencintai apa yang menjadi kekuatanku yang senantiasa membuatku merasa utuh. Ia mengajarkanku untuk percaya pada diriku sendiri dan kekuatan dari pikiranku. Ayah selalu menjadi pendengar yang baik bagiku serta pria pertama yang menerimaku apa-adanya.
Pesan terakhir ayah padaku adalah saat ia berkata bahwa “Sesungguhnya kebaikan tak pernah pergi, meskipun dunia berpaling darimu atau berakhir, Tuhan tetap berada di tempatnya dan membuat hal-hal baik terus hidup. Karena Ia takkan pernah pergi, maka jangan khawatirkan apapun. Selama kau tidak kehilangan Dia di hatimu, aku akan tetap berada disini”, katanya sambil menunjuk ke dadaku. Dan tangan kurus yang ku peluk didadaku itu lalu basah dengan air mata. Ayah benar, pada akhirnya pesan-pesan ayah membuatku merasa lebih hidup setiap waktu. Saat pohon-pohon memerah tertidur, dan hijau bersemi, di Anatolia, aku mengenang sosoknya dengan senyum kekuatan. Ingat pada kunjungan terakhirnya pada musim gugur dua tahun lalu. Menikmati warna-warni dedaunan dibawah langit yang seperti beledu. Ia memang sudah tak di sini, tapi mencintai apa yang menjadi kecintaannya telah membuatku merasa mengenal ayah jauh lebih baik dari sebelum ia pergi.