Rabu, 10 Februari 2010

Ramalan sebagai sebuah Sugesti (prophecy as a suggestion)

Apa itu ramalan? Menurut kamus ramalan adalah pernyataan tentang sesuatu hal yang akan terjadi di masa depan. Ia bersifat prediktif atau menebak-nebak kepada peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Karena ia adalah tebakan maka kepastiannya jelas meragukan serta harus dipertanyakan. Tapi kenapa begitu banyak manusia terutama di masa kini yang sangat menyukai ramalan bahkan adapula yang menggantungkan hidupnya pada ramalan meskipun ramalan sebenarnya adalah sebuah produk budaya masa lampau (Jahiliyah*). Apa yang teramat menarik dari ramalan?
Sejak awal penciptaannya, manusia telah dibekali oleh Tuhan sebuah akal. Akal yang akan menuntun manusia untuk bertahan hidup serta mencapai peradaban tertingginya di hari ini. Akal pulalah yang membentuk manusia agar memiliki keingintahuan yang luas terhadap ilmu pengetahuan termasuk pengetahuan tentang masa depan. Namun sejarah telah membuktikan, baik secara religius ataupun non-religius bahwa keingintahuan yang tidak sehat cenderung menyesatkan alih-alih mencerahkan bagi kehidupan manusia, karena membuat manusia jauh dari Penciptanya. Rasa ingin tahu yang telah dianugerahkan kepada manusia oleh Tuhan ini seharusnya dialirkan secara positif. Ada begitu banyak rasa keingintahuan tidak sehat dalam diri manusia, dan ramalan adalah salah satunya. Terlepas dari sifat-sifat positif atau negatif, ramalan adalah keingintahuan yang dimanfaatkan secara kurang bertanggung jawab.
Bagi kita yang percaya dan sepenuhnya yakin bahwa tidak satupun yang mengetahui segala hal yang telah atau akan terjadi lebih baik daripada Tuhan sendiri, mestinya tidak akan dengan mudah percaya begitu saja pada ramalan. Kita senantiasa meyakini bahwa Tuhan menyampaikan pengetahuanNya kepada kita melalui kaidah-kaidah yang baik. Bukan hanya dari segi keyakinan saja tapi juga dari segi logika, ramalan jauh dari masuk akal. Langsung atau tidak, banyak manusia memanfaatkan ramalan demi egoisme kepentingan pribadi maupun golongan semata. Beberapa ramalan sebenarnya bahkan telah mengambil bentuk dari berbagai ilmu pengetahuan seperti psikologi serta filsafat. Namun seringnya manusia malah mengesampingkan fakta-fakta penting ini dan secara semena-mena membuat pengakuan bahwa penglihatannya sematalah yang memberikannya kemampuan untuk melihat massa depan. Bukankah Tuhan berkuasa untuk mengubah takdir manusia semudah kita mengedipkan mata? Ramalan adalah salah satu bentuk syirik* yang paling nyata.
Terkadang kita tidak memerlukan bentuk ramalan besar yang sifatnya tertulis di atas prasasti suci, dalam mimpi subuh hari atau dari gurat-gurat halus pada telapak tangan. Ia bisa saja muncul dalam bentuk hal-hal yang paling sepele sekalipun di keseharian kita. Contohnya, pernahkah kita mendengar tentang pantang ini atau pantang itu, pamali ini pamali itu? Bisa juga mitos-mitos seperti kalau anak gadis duduk di depan pintu maka akan lambat jodohnya, atau kalau orang berasi libra yang memiliki lambang timbangan maka ia adalah orang yang penuh pertimbangan dalam hidupnya serta senantiasa bersikap adil. Semua itu adalah ragam-ragam ramalan, suka atau tidak kita harus mengakuinya seperti itu. Manusia yang demikian sungguhnya sedang mencoba menyatakan sesuatu mendahului takdir serta pengetahuan Tuhan. Tuhan membagi pengetahuanNya yang terbesar tentang masa depan hanya kepada Orang-orang yang diinginkanNya, yang mana tidak bertujuan demi kepentingan pribadi atau golongan. Dalam konteks religius kita tidak meyakini pengetahuan masa depan ini sebagai ramalan melainkan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan wahyu. Wahyu dalam keyakinan Islam turun terakhir kali kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup. Juga kisah tentang Nabi Yusuf mengenalkan kita pada istilah tafsir mimpi yang masih ada hubungannya dengan wahyu. Tafsir memiliki pengertian yang berbeda dengan ramal. Tafsir erat dengan sifat interpretatif alih-alih prediktatif, yang mana tujuannya menterjemahkan kepada hal yang dirasa dekat dengan kejadian yang ada layaknya menterjemahkan suatu bahasa ke bahasa lainnya. Contoh, mitos tradisional kebudayaan masyarakat Jawa yang berkembang tentang anak gadis yang suka duduk di depan pintu akan lambat jodoh bisa kita lihat dari sudut pandang prediktatif atau interpretatif. Secara prediktatif selama ini mitos tersebut seolah memberi kekuatan hukum sekaligus doa mustajab pada masa depan si gadis kelak. Padahal logika interpretatifnya ini hanya melulu berkaitan dengan masalah tatakrama. Jika anak gadis suka duduk di depan pintu bermakna pria yang melihatnya akan menganggap ia kurang beradat lalu mejauhinya. Sudut pandang interpretasi logis ini lantas tidak mutlak menjadikan si gadis bernasib demikian. Namun berbeda dengan ramalan yang senantiasa menekankan bahwa prediksi yang dibuat berkekuatan absolut.
Sebagai gambaran bagaimana ramalan berperan sebagai sugesti* pada kasus pertama; karena si anak gadis yang suka duduk di depan pintu ini seringkali dikatakan akan lambat jodoh maka lama-kelamaan hal tersebut merasuk ke dalam pikirannya. Hal yang telah lama tertanam ini lalu membentuk suatu pola pikir akan sudut pandang si anak gadis terhadap dirinya sendiri. Ini memberi pengaruh terhadap sikap kesehariannya dalam pergaulan secara umum dan khususnya dengan lawan jenis. Tanpa disadari atau tidak, sugesti akibat mitos tersebut menciptakan rasa percaya diri yang rendah terhadap lawan jenis karena ia mulai meyakini bahwa ia memiliki kemungkinan yang besar untuk tidak menemukan jodohnya dalam waktu dekat atau umurnya yang muda. Lain lagi dengan si orang berbintang libra. Karena dikatakan oleh ramalannya bahwa ia adalah orang yang penuh pertimbangan serta adil maka itu membawa sugesti bagi dirinya bahwa ia memang demikian lalu berusaha bertindak sesuai yang diketahui. Perlu diingat bahwa sugesti memiliki dampak psikologis serta peran yang signifikan untuk mempengaruhi dengan hasil jauh lebih besar daripada jenis pengaruh lainnya.
Ada begitu banyak cerita yang berhubungan dengan ramalan, kebanyakannya hanya berlatar belakang atau berhubungan dengan kisah fiksi semacam dongeng, legenda atau mitos. Sungguh ironis bagi kita bila mau melihat pada fakta ini. Di sebuah serial televisi Korea bertema sejarah, “The Great Queen Seon Deok”*, ramalan yang diceritakan menjadi awal mula konflik ternyata hanyalah karangan sang musuh antagonis belaka. Ini adalah semacam contoh yang sangat menarik betapa ramalan tidak pernah benar-benar mendapatkan tempat dalam sejarah. Sebuah pengertian unik berasal dari satu buku fiksi anak-anak karangan J. K Rowling berjudul Harry Potter* mengatakan bahwa ramalan adalah salah satu cabang ilmu gaib yang paling tidak pasti bahkan dalam dunia sihir sekalipun. Meskipun kisah The Great Queen Seon Deok yang berlatar belakang sejarah sedikit absurd* atau petualangan Harry Potter berlatar belakang dunia sihir yang kita kenal sebagai fiks*i, namun masing-masingnya memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah ini. Dalam dunia tempat tinggal Harry Potter di mana segala hal hanya bergantung pada ayunan tongkat semata, kerja keras demi masa depan yang cerah di dunia sihir tetaplah yang utama daripada menggantungkan diri pada ramalan. Itulah sebab kenapa peramal sejati hampir tidak ada dan jika muncul ramalan baru maka ramalan itu harus disimpan serta dijaga kerahasiannya dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab dan bukan merupakan sebuah acuan. Meskipun pada akhirnya Voldemort dan juga Harry harus bertindak saling memusnahkan sesuai dengan ramalan yang ada, namun awalnya Voldemort memilih menentukan jalan hidupnya sendiri dengan merealisasikan isi ramalan yang diketahuinya lewat tindakan.
Alkisah, Voldemort si Jahat harus membunuh seorang anak lelaki yang lahir pada matinya bulan ke tujuh dari orang tua yang pernah menantangnya sebanyak tiga kali jika ia ingin tetap berkuasa. Ia nantinya akan menandai anak itu sebagai musuh sekaligus tandingannya. Karena ia hanya mendengar setengah dari ramalan tersebut maka ia tidak mengetahui kalau ada dua anak laki-laki dari dua keluarga penyihir berbeda yang memiliki kriteria sama persis yang berarti pilihannya bisa jadi antara membunuh Harry Potter atau Neville Longbottom. Atas pertimbangan tertentu yang terburu-buru Voldemort kemudian menyerang Harry Potter yang masih bayi. Ia memusnahkan kedua orangtuanya, James dan Lily. Harry selamat karena kutukan itu malah berbalik menyerang Voldemort sendiri. Saat dewasa baik Harry maupun Neville tumbuh menjadi dua pribadi yang sepenuhnya berbeda. Andaikan ia mau menunggu untuk memahami dan mempelajari isi ramalan itu dari segi keuntungan dan kerugian daripada menuruti kata hatinya, ia akan tahu tentang kemungkinan membunuh anak yang mana yang lebih besar. Kalau sudah begini mungkin ia akan lebih senang memilih Neville Longbottom yang secara pribadi lebih mudah untuk dikalahkan. Atau juga ia bisa memilih untuk tidak membunuh anak laki-laki manapun dan menghindari resiko memberi salah satu dari mereka kesempatan menjadi tandingannya, mencegahnya dari kehilangan kekuatan juga kekuasaan. Kemungkinan kedua ini akan membuat takdirnya menjadi lain. Begitu banyak hal yang bisa ia pertimbangkan andai saja ia tidak memilih untuk menuruti ramalan tersebut dan menggunakan sedikit saja dari logikanya. Kesalahan ini menyebabkan kekalahan terbesar yang pernah ia dapat dan mengubah hidupnya selamanya. Inilah yang dimaksud dengan ramalan sebagai sebuah sugesti. Kenapa? Ramalan seringkali mendorong manusia yang menaruh kepercayaan baik sedikit atau banyak kepadanya untuk kemudian melakukan hal sesuai yang dikatakan isi ramalan tersebut. Walau hanya kisah fiksi, tapi Voldemort memberi kita gambaran yang jelas tentang sosok yang berbuat lalai akibat bergantung pada ramalan. Kita menjadikan nyata ramalan yang kita baca karena mengaplikasikannya. Mari kita tilik ke dalam hati kita yang paling dalam.
Kita memahami bahwa ramalan adalah usaha manusia untuk menciptakan pengetahuan tentang masa depannya jauh sebelum takdir yang asli terjadi. Berharap dengan mengetahui peristiwa nanti maka kita dapat mengendalikan masa depan yang tidak pasti dalam genggaman. Sebagai orang yang yakin, baik atau buruknya sebuah ramalan tentang masa depan tidak sepantasnya menjadi acuan atau sudut pandang kita dalam menjalani hidup. Yang layak kita lakukan adalah melihat pada fakta yang ada hari ini lalu berbuat yang terbaik sekarang agar esok juga baik. Bagi kita yang mencintai tantangan, maka apapun hasilnya hari esok adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Bukankah keindahan dari hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa adalah mengetahui bahwa kita telah berhasil mengatasi kesulitan serta tantangan hidup yang datang pada kita? Hari ini kita berada dalam kepayahan, hari ini juga kita harus berbuat sesuatu supaya esok kesulitan terlampaui, dan saat semuanya lewat, kejutan kita adalah kepuasan karena telah berhasil melaluinya dengan baik atas hidup yang sepenuhnya kita pasrahkan kepadaNya apapun yang akan terjadi. Itulah indahnya hidup yang jauh dari ramalan, ia membuat kita menjadi sosok yang lebih banyak bersyukur serta kuat baik secara fisik maupun mental. Luar biasa rasanya ketika suatu hari menemukan diri kita sebagai sosok yang jauh lebih baik, lebih spiritual, lebih kuat, lebih dewasa, lebih bijaksana, lebih matang, lebih mapan, dan sebagainya dari hari-hari yang lalu. Kematangan dalam hidup tidak diraih atas hasil yang telah diketahui sebelumnya kecuali dari belajar menghadapi serta memahami hal-hal yang benar-benar baru dalam hidup kita. Ada kata-kata bijak yang berbunyi “Keberhasilan bukanlah hasil akhir kecuali ia merupakan sebuah proses”. Begitu banyak jenis sugesti positif lain yang tidak menuntut kita untuk bergantung pada ramalan. Mario Teguh pernah mengucapkan kalimat yang sangat baik, Ia berkata bahwa dengan percaya pada ramalan, mitos, serta takhyul, sebenarnya kita tengah menjadikan diri kita lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar