Rabu, 10 Februari 2010

Karir, bentuk perlindungan diri oleh Ego

Apa Ego itu? Mungkin kita lebih mengenalnya dengan istilah “Aku” atau berbagai hal yang berhubungan dengan “rasa kedirian” (egoisme) yang ada dalam diri manusia. Menurut Eckhart Tolle, ego secara bahasa dapat dikatakan dengan istilah “Saya”, “Milikku” dan “Diriku”. Ia juga berpendapat bahwa “Aku” dalam penggunaan normal setiap hari mengandung kesalahan primordial, suatu kekeliruan persepsi tentang diri anda sebenarnya, suatu rasa atau identitas ilusioner atau palsu, inilah yang disebut dengan “ego”. Kenapa dia bisa menjadi sesuatu yang ilusioner atau palsu, karena ego sebenarnya bukan merupakan bagian dari diri sejati anda, ia layaknya benalu yang mendapatkan tubuh inang dan makanannya dari energi negatif kita.
Ego seringnya memainkan begitu banyak peranan dalam kehidupan anda ataupun juga saya. Bahayanya adalah ego telah hadir lewat banyak peranan dari hidup manusia yang berimbas pada terciptanya sebagian besar kekacauan serta reaksi negatif berdampak fatal yang timbul di muka bumi. Seperti; perang, penghasutan, pengrusakan diri, tindak kriminal, teror, anarkisme, ekstrimisme, dan sebagainya.
Isi dan struktur ego muncul dalam bentuk pikiran yang beridentifikasi dengan benda-benda (fisikal) yang duniawi. Benda-benda ini akan berbeda-beda dari satu pribadi ke lainnya, sesuai umur, gender, kelas sosial, tren, latar belakang budaya, latar belakang spiritual, dan lain-lain. Hal-hal tersebut itulah yang dinamakan dengan isi, sedangkan dorongan (pikiran) untuk melakukan identifikasi itu yang bersifat struktural.
Bentuk-bentuk ego bisa diidentifikasi dalam; kemarahan, kebencian, keluhan, kecemburuan, ketidakpuasan, ketidakbahagiaan, kebosanan, rendah diri, sombong, gengsi, dan lain-lain. Sedangkan peranan ego bisa dalam bentuk karir, jabatan, kedudukan, atau posisi apapun yang tengah kita mainkan sekarang. Bisa jadi itu adalah kita sebagai; orang-tua, anak, guru, dokter, pengacara, karyawan, artis, polisi, politisi, dan banyak lagi. Tapi sekarang kita akan bicara tentang ego dan kaitannya dengan karir beracun dimana karir sebagai bentuk perlindungan diri oleh ego.
Ego oleh Tolle dikatakan selalu membutuhkan suatu peranan agar kebutuhannya tercapai, baik itu material, kekuasaan, superioritas, atau keistimewaan, bisa jadi bersifat fisik atau psikologis. Dan peranan-peranan ini banyak dimainkan hanya dengan tujuan mendapatkan perhatian dari pihak lain. Barangkali pula ego telah mengambil bentuk peranannya dalam karir kita. Bagaimana bisa?
Begitu banyak orang yang mengidentifikasi karir mereka sebagai sebuah peranan alih-alih fungsi. Egoisme mengisiki kita bahwa fungsi kita itulah peranan kita, meskipun pada dasarnya keduanya terpisah. Lalu apa perbedaan antara peran dan fungsi? Peran adalah menjadi apa kita, tapi fungsi adalah apa yang seharusnya menjadi tugas kita. Peranan dapat menjerumuskan kita pada sikap terlalu berlebihan dari fungsi itu sendiri.
Karir beracun bisa dikaitkan dengan makna pekerjaan yang; tidak anda nikmati, tidak anda inginkan, menghambat perkembangan anda sebagai manusia, atasan yang menyebalkan, gaji rendah, rendahnya kesempatan promosi, rekan kerja egois dan masih banyak lagi istilah lainnya, bergantung pada masalah yang muncul pada tiap-tiap individu itu sendiri. Dalam kata-kata kalau bisa saya tuliskan mungkin bunyinya akan demikian; “Pekerjaan ini sangat membosankan”, “Aku lelah dengan keadaan yang begini-begini saja”, “Kenapa bos ku orang yang sangat cerewet dan penuntut”, “rekan kerjaku selalu membuatku kesal”, “gaji ku terlalu sedikit”, “Aku benci pekerjaan ini”, “aku bosan harus mengerjakannya setiap hari”, “karir ini begitu menyebalkan”, dan lain-lain.
Rata-rata kekuranghati-hatian manusia adalah memposisikan karir sebagai sebuah peran alih-alih sebagai fungsi yang ingin kita capai. Jika kita mau jujur pada diri sendiri, berapa banyak dari kita yang sungguh-sungguh menikmati peranan dalam karir kita? Namun kita terus bertahan dengan asumsi rasa ketidaknyamanan sebagai tantangan dalam pekerjaan. Ketika kita menjadi menyerah pada keadaan yang sungguhnya membelit diri kita, merasa takut jika tidak memiliki status, kehilangan identitas diri dan nama baik, kekurangan secara materi, serta berbagai macam pikiran negatif lain yang berhubungan dengan kedirian / keakuan, maka itulah waktunya dimana karir menjadi sebuah perlindungan diri atau tameng yang sifatnya absurb atau palsu, dan pada saat itu pula ego bekerja. Ego mendapatkan energinya melalui perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran negatif yang kita ciptakan sendiri. Ia berupa penyakit yang ada hubungannya dengan mental seseorang. Misalnya, berbuat kebohongan demi terlihat lebih penting, lebih baik, lebih tinggi, lebih khusus atau cuma demi sebentuk citra. Dan karir bisa menjadi salah satu pelarian ego yang paling nyata. tanpa diingini seringkali kita memberi umpan terhadap munculnya ego dengan secara tidak sadar berbahagia menyalahkan keadaan.
Namun sering pula kita melihat ada orang yang benar-benar melakukan pekerjaan mereka dengan segenap hati, mereka terlepas dari semua keinginan-keinginan diatas kecuali ingin memenuhi fungsi mereka. Bekerja demi pekerjaan itu sendiri, tidak mencari jati diri apapun dalam karir karena mereka merasa telah menemukan apa yang tepat, menerima dan menyatu dengan pekerjaan sesuai apa yang telah ditawarkan alam pada mereka. Meyakini seutuhnya bahwa inilah jalan mereka, tak peduli apa pendapat orang luar tentang itu. Tolle berpendapat bahwa “Setiap orang yang menjadi satu dengan apa yang dilakukannya sedang membangun suatu dunia baru”.
Terdapat pula orang-orang yang tampak dari luar tengah melakukan kerja mereka dengan sangat bagus, namun ini hanyalah secara tehnisnya saja. Karena di dalamnya ego terus menjadi halangan bagi mereka untuk mengembangkan sayap, khususnya dalam bidang karir yang mereka geluti. Kebutuhan untuk menjadi diakui secara personal, kehausan demi meraih materi maupun kekuasaan dan perhatian yang tidak pernah menemukan kata cukupnya bagai tembok batu di depan wajah mereka yang tak diketahui kata kunci untuk membukanya. Rasa kedirian kita menentukan apa yang kita lihat sebagai kebutuhan-kebutuhan kita dan apa yang penting dimata kita secara pribadi bagi kehidupan. Apapun juga itu yang menurut pikiran kita penting, maka ia akan memiliki suatu kekuatan untuk menyatukan emosi yang mengganggu (Eckhart Tolle). Ego menggiring kita pada suatu konsep bahwa hal-hal tersebut di ataslah yang sejatinya merupakan tujuan utama kita. Inilah yang dinamakan Tolle dengan “Saat kerja tidak lebih dari sebuah sarana untuk mencapai suatu tujuan, ia tidak akan pernah berkualitas tinggi”, karena ia bukan suatu pemenuhan fungsi jiwa. Itu merupakan dampak dari ketika kita merasa segala hal berjalan dengan buruk, di luar kendali, rencana, serta keinginan kita. Dengan demikian pilihan yang paling sering dilakukan orang adalah menjauh dan melawan keadaan alih-alih berdamai dengan keadaan itu sendiri. Namun harus disadari pula bahwa berdamai dengan keadaan berbeda dengan memaksa diri menghadapi. Karena berjalan di atas karir beracun memiliki makna jika kita rela untuk membuka diri pada dunia luar dari karir kita sekarang, keyakinannya adalah kita bisa mendapatkan manfaat yang lebih besar bagi keuntungan spiritual kita mungkin juga ditambah dengan material secara sekaligus dibandingkan jika kita terus bertahan.
Mari kita telaah, apakah ego yang memainkan peranan dalam karir kita atau tidak. Tilik kembali apa tujuan semula dari yang kita harapkan dengan pekerjaan ini. Apakah kita telah cukup dapat memenuhi fungsi kita alih-alih peranan kita? Jika jawabannya adalah “Tidak”, maka perananlah yang aslinya menjadi fokus kita, bukan fungsi yang ingin diisi atau dicapai oleh jiwa kita. Pertimbangkanlah, apakah baiknya kita mengambil sikap berdamai dengan keadaan tersebut ataukah memaksa diri untuk menghadapi dengan semua pil pahit, amarah, serta kebencian yang kita pertahankan.
Mungkin termasuk saya, mungkin juga termasuk anda, beserta kita turut pula jutaan orang lainnya di muka bumi, pada saat ini bekerja dan pada saat yang bersamaan juga berusaha menyembunyikan penderitaan atas pekerjaan, sayangnya ini banyak yang dilakukan seumur hidup, sepanjang usia kita bekerja. Berat untuk mengakui kalau kita tengah menyiksa diri. Apakah ini yang disebut dengan menerima? Jawabannya mungkin tidak, karena pekerjaan kita juga diiringi dengan membuat keluhan tentang apa saja. Dari hal yang paling kecil dan sepele apalagi hal yang besar lagi rumit. Mencoba-coba mengalihkan perasaan tidak nyaman lewat sikap yang menyalahkan keadaan, mengutuk apa saja dan siapa saja yang kita anggap telah membuat situasi kita menjadi sulit baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Inilah yang dimaksud dengan perilaku tanpa sadar berbahagia menyalahkan keadaan. Perilaku ini ada yang nampak jelas, samar-samar, dan tidak teridentifikasi sama sekali. Terlepas dari nampak ataukah tidak, kita sadari atau tidak, inilah wajah ego yang sedang memainkan perannya dengan menggunakan tubuh, jiwa, dan pikiran kita. Ia berusaha meyakinkan kita bahwa inilah hal-hal yang kita butuhkan dalam rangka merasa lebih baik meskipun hasilnya malah sebaliknya. Buruknya adalah, kita kecanduan dengan sikap mengasihani diri sendiri ini.
Ada saat dimana kita menyadari dan dengan jujur mengakui kalau kita telah menenggelamkan diri kita pada karir yang beracun. Meskipun kita tahu bahwa kita tak punya pilihan lain atau hanya pilihan karir inilah yang bisa kita dapatkan, banyak dari kita lebih suka tetap bersikap resisten sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Jika dua hal tersebut merupakan opsi terbatas kita, ada baiknya jika kita mencoba berdamai dengan keadaan saja dalam arti; pertama, menerima, bersikap lapang, dan terbuka dengan apa yang kita rasakan. Dalam buku The Secret oleh Rhonda Byrne dikatakan bahwa alam semesta selalu merespon positif sesuai dengan pikiran dan keyakinan positif / negatif kita terhadap sesuatu. Ketika kita berkata bahwa “Keadaan sangat kacau bagiku” maka semesta pun akan mengabulkan pikiran negatif ini secara positif “Ya, permintaanmu adalah keadaan sangat kacau bagimu, maka terimalah!”. Jika anda berkata “Aku tidak menderita / aku tidak memiliki penderitaan” maka semesta bereaksi dengan jawaban “Ya, aku menderita / aku memiliki penderitaan, inilah yang terjadi”. Pada dasarnya setiap kita tersusun atas energi yang sangat besar, maka ketika kita melakukan sesuatupun, kita sedang melontarkan energi kita ke alam semesta. Energi yang kita lontarkan ini kemudian akan berbalik kembali pada diri kita dalam bentuk energi lagi yang memengaruhi cara kita bertindak atas setiap hal dan ia bergantung seutuhnya pada seberapa positif atau negatif tindakan tersebut. Sementara “Semesta tidak mengenal kata negatif “tidak”, Itulah sebabnya mengakui secara positif terhadap hati nurani kita sangat penting. Dan kita tidak dapat melihat energi itu secara kasat mata kecuali memperhatikan ciri-ciri fisik dari apa yang telah kita hasilkan. Allah SWT berfirman; “Berbaik sangkalah terhadap Tuhanmu”. Bukankah tokoh Lintang yang jenius dalam novel Maryamah Karpov oleh Andrea Hirata juga pernah berkata bahwa “Kesulitan dapat dipecahkan hanya dengan mengubah cara pandang”. Tentu saja ini berlaku terhadap apa saja dimana pola pikir kita mempengaruhi segala sesuatu. Hidup seseorang menjadi baik akibat berpikiran baik, dan hidup seseorang menjadi buruk akibat berpikiran buruk.
Perlu diingat bahwa berpikir termasuk percaya, bertindak, dan berusaha, kita seringkali kurang begitu sadar akan hal ini. Jadi salah besar bila hanya harus duduk berpangku tangan lalu menunggu keajaiban datang. Namun dengan berpikir setidaknya telah mengantarkan diri kita selangkah lebih maju menuju kesadaran yang mengalirkan kepositifan datang ke arah kita. Salah satu tokoh kartun dari Nickolodeon yang saya tonton pernah mengatakan dialog yang saya sangat sukai yakni, “Aku tidak percaya pada keberuntungan, Aku percaya pada usaha”, katanya. Meskipun ini hanya kartun yang juga telah dibuat oleh orang lain tapi saya menyukai jalan cerita bagaimana pola pikir ini akhirnya membawa si tokoh pada pencapaian hidup yang luar biasa.
Ada suatu kasus dimana saya pernah berhadapan dengan seorang kolega yang mencoba mengutarakan semua alasan negatif atas kegagalannya meraih sesuatu. Tak satupun kalimat dari argumen-argumen itu yang pernah menyebut-nyebut bahwa ada sesuatu yang kurang dari percobaannya kecuali bahwa keberuntungan agaknya malas menyertainya. Dia senang berkata bahwa dia tak punya keberuntungan seperti yang dimiliki Andrea Hirata karena selalu saja sial. Dia menyalahkan segala hal kecuali pada apa yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Andrea Hirata memang menulis dalam bukunya bahwa semua pencapaiannya adalah keberuntungan yang ia miliki, tapi saya tak pernah sekalipun membaca bahwa keberuntungan itu datang sekonyong-konyong tanpa kerja keras tak kenal henti darinya. Mungkin ada baiknya jika kata-kata Andrea Hirata itu diartikan bahwa tak ada keberuntungan tanpa usaha karena mereka sungguhnya saling berkejaran. Keberuntungan dan kesialan bagai dua arah pada sebuah jalan yang bersimpangan. Mereka ada di depan mata kita, sedang menunggu dan sama-sama begitu menggoda, menggiurkan. Keputusan untuk mengejarnya ada di tangan kita. Untuk menjadi sial tak perlu banyak usaha, tapi untuk menjadi si beruntung kita harus mengupayakan segala daya. Itu sebabnya Tuhan berkata bahwa manusia dilahirkan dengan anugerah bukan keberuntungan, anugerah itu baik dan meminta untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya pula. Pikiran adalah anugerah, begitulah, ia tidak hanya memiliki sifat bekerja tapi juga harus dikerjakan. Hindari mencampur-adukkan pemahaman bahwa kita mendapat takdir beruntung atau tidak beruntung. Takdir adalah takdir saja, sisanya adalah kerja keras. Merubah keadaan harus lewat pola pikir yang percaya, bertindak, dan berusaha.
Kedua, berdamai dengan keadaan berarti melepaskan diri sama sekali dari keadaan yang membelenggu tersebut. Mencoba mengakui bahwa kita pasti bisa memperoleh kebaikan yang lebih besar jika berada di tempat lain dan membangun kehidupan yang baru. Pencarian sejati dan murni dalam hidup sejatinya takkan pernah berakhir, oleh karena itu manusia harusnya menyingkirkan keraguan. Pandanglah penderitaan sebagai sebuah pengalaman yang membangkitkan kesadaran kita akan hidup yang lebih baik. Maka, apabila ingin berdamai dengan keadaan yang membelit, kita harus menerimanya dengan lapang dada, dengan menyingkirkan semua emosi negatif, pikiran negatif, beralih pada membangkitkan emosi serta pikiran positif mengenai sesuatu. Dalam Islam inilah yang dikenal dengan istilah “Ikhlas” (Pasrah). Bukankah Islam bermakna pasrah. Saran The Secret, katakan pada diri sendiri hal-hal positif yang ingin kita dengar, yang bisa jadi terdengar seperti ini; “Aku baik-baik saja”, “Semuanya akan berlalu”, “Aku pasti bisa mengatasinya”, “Aku harus dapat meraihnya”, “Aku bahagia”, dan beragam pikiran positif lain lalu selangkahlah lebih maju menuju kesadaran positif. Pilihlah satu, ada begitu banyak kata hingga hitungan tak terhingga untuk dikatakan pada hati, jiwa, serta pikiran kita. Jika kita telah bahagia, perbanyaklah mencintai sesama lalu berbagilah kebahagiaan dengan orang lain. Karena satu kata bijak di sebuah film mengatakan “Kebahagiaan menjadi berharga bila dibagi” (Chris McCandles - Into the Wild).
Hiduplah selaras dengan alam dan kehidupan. Kerjakan setiap hal dengan alasan pekerjaan itu sendiri sebagai fungsi yang ingin jiwa kita penuhi, bukan karena peranan yang harus kita jalankan dengan segenap ragam latar belakang penuh kepalsuannya yang tersembunyi dalam lubuk hati kita. Pencarian kesejatian diri itu tak pernah ada ujungnya dan tak menemukan istilah malu, gengsi, atau takut. Jika tidak, itulah saat dimulainya bab ketidakbahagiaan dalam buku kehidupan. Kenalilah apa yang menjadi fokus utama dari karir yang kita jalani ini. Jujurlah atas apa yang menurut jiwa sejati kita benar dan jadilah inti sejati diri kita.


“Untuk menarik kesuksesan, anda perlu menyambutnya kapanpun anda melihatnya” (Eckhart Tolle).


Disarikan dari buku : A New Earth - Awakening to your Life’s Purpose oleh Eckhart Tolle (Dunia Baru – Bangkit Meraih Tujuan Hidup Anda)
Other References : The Secret (Rahasia) oleh Rhonda Byrne
Thank you to Program Mario Teguh - Golden Ways (MetroTV)
Into the Wild (A movie of Chris McCandles)
The tetralogy of Laskar Pelangi by Andrea Hirata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar