Selasa, 10 Agustus 2010

The Road (Jalan)

The Road (Jalan)

Suatu sore setelah pemilu caleg, aku bertemu dengan istri mbah Waris, jalannya tertatih-tatih kiri dan kanan. Bukan karena kaki tua dan rentanya itu. Bukan juga karena beratnya setumpuk kayu bakar yang ia panggul di atas punggung. Jalan, jalan berkerikil, berbatu, dan berlobak-lobak sana-sini itulah yang membuatnya nampak berjalan sempoyongan.
“Mbah!” Sapaku ramah seperti biasa setiap kali ia lewat depan rumah sambil memanggul kayu, rumput, atau hasil pertanian dari ladang kecil yang ia dan suaminya usahakan dengan susah payah.
“Nggeh, monggo mbak”, balasnya berirama jawa lembut mendayu-dayu. Persis seperti lantunan langgam jawa.
Sebagai pensiunan BUMN perkebunan dengan status tenaga buruh kasar yang bahkan tak punya ijazah SR, mbah Waris lanang, suaminya, begitulah orang kampung sering memanggil, hanya menerima uang sebesar seratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan. Ia seorang pekerja yang rajin meskipun fisiknya telah dimakan usia. Iris matanya kian hari kian sewarna saja dengan sisa pembakaran rokok kretek yang sering ia hisap. Bila diperintahkan sesuatu maka kata favoritnya adalah “enggeh, enggeh” sambil terbungkuk-bungkuk memegangi cangkul. Ayah sering memintanya membersihkan halaman rumah yang penuh rumput atau menggali lobang untuk tanaman, kadang-kadang juga membersihkan pinggiran jalanan kampung yang ditumbuhi rumput liar. Sedangkan mbah Waris wedo, biarpun kerut-kerut serupa rimpel baju menghiasi wajahnya di sana-sini tapi senyumnya tetap menawan. Kilau matanya yang berbinar tetap bertahan meskipun sudah tidak sehitam dulu, menyisakan berkas hatinya yang setiap orang bisa membaca, tulus dan tidak suka berprasangka.
Sudah bertahun-tahun berselang semenjak aku tidak pernah lagi bisa menyapa mbah Waris wedo sepulang meladang ataupun bahkan sekedar memandangi sosoknya dari dalam rumah dinas mungil ayah yang sudah kami tinggalkan. Tiba-tiba aku ingat pada mereka karena iklan-iklan berbau pemilu favorit ayahku. Beliau bersikeras bahwa pemimpin yang dibutuhkan negara sekarang adalah yang mendukung kalangan petani. Sekarang aku baru tahu kekuatan sebuah iklan yang sebenar-benarnya. Sayangnya ayah nampak terbujuk dan semoga ia tidak terjerumus bathinku.
“Nah, tadi malam bapak duduk-duduk di mesjid habis magrib. Ngobrol sama pak Bronto yang caleg itu”, cerita ayah suatu sore.
“Kenapa?” tanyaku sopan meskipun aku tidak tertarik dengan topik pembicaraan bapak-bapak.
“Dia tanya, kira-kira apa ada pesan sponsor buat caleg”.
“Bapak bilang, satu hal penting yang bisa berpengaruh yaitu pembangunan sarana transportasi jalan yang benar-benar bagus”.
Ayahku meyakini dengan segenap hatinya bahwa jalan yang bagus terutama di daerah pedesaan akan mampu mengangkat perekonomian rakyat yakni petani kecil di desa-desa. Hasil bumi pertanian bisa dibawa dengan mudah ke kota dari desa sehingga dengan begini diharapkan harga hasil pertanian tidak akan terlalu tinggi bagi konsumen dan petani mendapatkan pembelan yang adil karena mudahnya akses. Sebenarnya bukan masalah para pemborong telah memberi hasilnya dengan harga mahal tapi karena biaya transportasi yang membuat harga sayuran dan hasil pertanian lainnya menjadi mahal. Para petani rakyat sesungguhnya tidak pernah menjual hasil mereka dengan harga mahal. Bayangkan saja, masa untuk sepohon jeruk nipis berbuah lebat, mungkin ada ratusan jeruk di sana, hanya ditawar pemborong limabelas ribu. Pantas saja mbah Waris sulit kaya. Kaum pemborong berdalih bahwa medan yang sulit berimbas pada biaya pengangkutan yang tinggi mengharuskan mereka memeras otak agar bisa memperoleh untung. Dan ini dilakukan salah satunya dengan membeli murah dari petani agar bisa menutupi ongkos angkut. Padahal petaninya sendiri tidak pernah bisa menutupi ongkos tanam. Dan aku lebih suka beli jeruk nipis kalau yang menjual adalah nenek-nenek kempot yang sandalnya capal, dan kerudungnya lunglai, dan keranjang jeruknya tak kalah peyot. Benar deh, coba cek kalau kamu suka berbelanja ke pasar tradisional. Rata-rata mereka datang dari desa yang menjual hasil kebunnya sendiri ke kota-kota kecil terdekat.
Kami mengunjungi desa tempatku dibesarkan berbulan-bulan yang lalu. Tampilan desa kecil ditengah-tengah perkebunan itu pun tidak kalah semerawut dengan suasana kotaku berada. Bendera-bendera serta spanduk-spanduk kampaye bertebaran disana-sini. Terpancang miring-miring bekas ditiup angin di pinggiran jalan desa yang berbatu dalam ukuran sedang juga kecil, dan yang berukuran raksasa terhuyung-huyung menanggung bebannya, ditalikan pada batang puncak pohon kelapa, nangka, akasia. Ramai benar, bendera-bendera bergambar caleg hiruk-pikuk satu sama lain dan tampak damai berkibar bersisian saling-silang karena ada yang mencuat dari kiri dan mencuat dari kanan dengan tiang kayu seadanya. Ahh…andaikan setelah pemilu mereka bisa sama setenang ini nantinya. Tapi ada satu bendera bergambar caleg yang paling menonjol dan paling banyak jumlahnya. Di setiap sudut, tiap beberapa blok saja dipasang gambar seseorang yang ku kenal sebagai tetanggaku, pak Sido.
Pak Sido wajahnya kurus panjang dengan rambut padat bergelombang yang kering kerontang kemerahan. Penampilannya dalam foto seperti tak biasa dengan rambutnya yang disisir rapi belah pinggir sebelah kiri, licin mengilap, plus jas hitam kaku dan dasi yang warnanya terlalu ramai dengan wajah yang tampak berbedak. Setengah mati aku mehanan tawa saat sepeda motor tua bapakku terantuk-antuk jalanan yang berbatu melewati poster besar itu. Kenapa semua orang pada saat kampanye seperti ini sibuk merubah diri mereka. Bukankah sangat baik sekali kalau mereka jadi diri sendiri saja? Tidak perlu sampai melakukan extreme makeover semacam itu.
Konon, Pak Sido berjanji kalau dia terpilih nanti, maka dia akan mengaspalkan jalanan desa. Warga desa sama seperti mbah Waris, manggut-manggut atau bilang “Enggeh-enggeh” saat mendengarnya. Jelas saja kan harus nurut saja. Pak Sido itu turun-temurun adalah orang kaya di desa. Keluarganya punya banyak tanah. Termasuk tanah yang dijadikan jalanan utama desa adalah milik keluarganya, jalur penting yang menghubungkan warga dengan sawah atau ladang mereka, sekaligus jalur keluar masuk desa. Pak Sido selalu saja suka membangga-banggakan silsilah keluarganya yang sudah punya banyak jasa pada warga desa.
Seminggu berlalu setelah pemilu caleg diadakan. Tiba-tiba sebuah berita mengejutkan muncul di televisi. Warga desa tempat tinggalku dulu yang seumur-umur tidak pernah berdemo, tiba-tiba berdemo. Mereka menuntut supaya jalanan desa dibuka kembali. Rupanya, Pak Sido yang kalah dalam pemilu caleg itu kecewa dan merasa telah dikhianati oleh warga. Dia beranggapan mereka tidak pantas lagi memperoleh belas kasih keluarganya yang selama ini sudah berbaik hati. Dia memblokir jalan desa yang menjadi jantung jalur utama. Terlihat di layar tivi, sebuah batang kayu besar membentang di tengah-tengah jalan, belum lagi tumpukan-tumpukan batu, ranting pohon, dan kawat berduri. Dan Pak Sido, meskipun sudah jadi headline news di desa-desa sekitar, tetap saja ogah berubah.
Terakhir kali aku dan ayahku pergi ke desa sebulan kemudian adalah bahwa kami harus melewati jalan desa yang dibangun secara bergotong-royong oleh warga desa. Jalan desa baru yang tidak melewati tanah-tanah pak Sido tapi dibangun diatas tanah-tanah warga desa yang lain, yang ikhlas tanahnya dipakai untuk jalan. Memang jalan baru ini lebih sempit, lebih menanjak, lebih berbatu, lebih becek kalau musim hujan, dan pastinya lebih jauh, karena warga kini harus memutar setiap kali hendak ke ladang, ke sawah, atau keluar desa. Kalau sudah begini, siapa coba yang mustinya pantas merasa kecewa, orang besar yang berhati kecil, atau orang kecil yang jiwanya besar? Pengertian tentang siapa yang mau mengayomi dan siapa yang harusnya diayomi nampaknya semakin menjadi absurd saja.
Pikiranku melayang pada sosok tua mbah Waris lanang dan mbah Waris wedo. Kasihan sekali, sekarang mbah Waris wedo harus menggendong tumpukan kayu dipunggungnya lebih lama lagi. Belum lagi ketika musim hujan datang, dapat dipastikan kaki-kaki yang tua itu akan bingung melangkah, di kanan bebatuan, di kiri lumpur dalam. Tak tahu apakah kaki rentanya bisa kuat berjalan dua kali lebih jauh dari sebelumnya.
Terakhir kali aku mengobrol dengan mbah waris wedo, dia berkata, “Nggeh pripun mbak-mbak. Wong mboten purun lewat, nggeh nurut mawon”.
“Ndak jadi masalah to mbah?” Tanyaku. “Kan jalannya tambah jauh”.
“Mboten!” jawab mbah Waris alon.
Sabar-sabar. Semoga Allah memberi kesabaran yang berlimpah pada orang-orang desa yang arif ini, doaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar