Selasa, 10 Agustus 2010

Kanker itu menguatkan kami

Kanker itu menguatkan kami

Sahabatku Nina pernah menghiburku, “Ketika seseorang sakit, maka Tuhan sebenarnya sedang menggugurkan dosa-dosanya seperti rontoknya daun-daun pepohonan di musim gugur”, terima kasih Nina, untuk mengingatkanku pada hadits yang indah ini.

Kanker, kata yang kedengarannya sangat ekslusif. Tidak pernah membayangkan kalau dia akan singgah ke rumah kami. Rumah dari orang-orang sederhana seperti aku, ayahku, keluargaku. Selama ini kami tak pernah merasa punya sesuatu yang terlalu berharga, ya, rasanya demikian, sampai ia mengambil milik kami yang paling berharga. Ibuku, permata rumah kami.
Akhir tahun 2003, tepat satu minggu setelah hari raya Idul Adha, Ibu masuk rumah sakit. Dia memang agak mengeluhkan kurang sehat akhir-akhir itu. kami mendesaknya untuk melakukan medical check up lewat rumah sakit perusahaan. Kejutan, dokter menyuruhnya tinggal di rumah sakit. Satu dua hari setelah itu, dokter masih belum mau bicara, ia mengunci mulutnya rapat-rapat. Kenapa sih dokter ini? Pikirku. Ia senang sekali membuat orang cemas.
Rasanya aneh kalau ada yang menyenangkan terjadi di kala ada orang yang sedang sakit. Ya, senang saja, karena di atas meja dan kabinet di kamar perawatan ibu ada bertumpuk-tumpuk oleh-oleh dari orang-orang yang mengunjunginya. Ada beragam limus, buah, biskuit, juga roti. Yang mengantar tentu saja tahu kalau ibu takkan bisa menelan semuanya, jadi dengan senang hati kami membawanya pulang lalu membuat sesak lemari es.
Akhirnya ayah memanggil kami semua untuk berkumpul di ruang tamu. Aku tak ingat lagi hari apa hari itu. tapi itu adalah siang yang sangat memilukan. Dokter sudah membuka gembok mulutnya. Kabar yang sama sekali tidak sedap. Pertama, jujur ku katakan dulu kalau aku sebenarnya benci setiap kali harus mengulang kata ini. Ibuku divonis mengidap kanker liver yang tak ada obatnya, stadium akhir. Hidupnya mungkin tinggal beberapa bulan lagi. Dokter bilang kalau ia takkan sanggup berbuat apapun. Tiba-tiba bayangan tentang lemari es yang penuh sesak dengan oleh-oleh rumah sakit tak lagi menyenangkan. Siang itu kami habiskan dengan menangis. Ibu dibawa pulang ke rumah setelah berada di rumah sakit selama sepuluh hari.
Untuk selanjutnya, menyakitkan sekali harus menyaksikan berat badannya yang sudah di prediksi akan semakin menurun selama beberapa bulan itu. Tak ada ranjang dengan kasur empuk berseprei putih motif garis-garis dengan sandaran kepala yang bisa dinaik–turunkan sesuai selera, atau juga peralatan komputer pencatat denyut jantung, apalagi alat bantu pernapasan. Tidak ada dokter atau perawat yang akan datang mengeceknya dua atau tiga kali sehari. Dan yang paling penting, takkan ada lagi lorong-lorong serta kamar-kamar berbau karbol dan desinfektan.
Dokter bilang kalau kasus kanker liver seringkali telah dimulai jauh waktu sebelum akhirnya stadium lanjut terdeteksi dan bisa jadi disebabkan oleh luka hati yang dalam selama bertahun-tahun dan telah terpendam. Aku tak tahu bagaimana tepatnya perasaan anggota keluargaku yang lain, tapi ini melukaiku. Keadaan ini membuatku ingin menjerit pada Tuhan. Bagaimana mungkin ia telah ada di sana dan hidup dalam diri ibuku tanpa kami mengetahuinya. Apa yang telah menyakiti ibu kami sehingga ia menyimpan beban hidupnya sendiri? Apakah itu luka yang datang sebelum kami ataukah karena kami. Aku tak ingin Tuhan mengatakannya, karena ibu sangat mencintai kami dan kami juga sangat mencintainya, hanya itu yang kami tahu. Terkadang di hari-hari ini kami masih mencoba membicarakannya dan sungguh berat sekali mengingat bahwa ibu telah melewati hampir semua kesulitan hidupnya dengan penuh kesabaran. Lalu kini, setelah semua tinggal selangkah lagi, kenapa ia takkan bertahan.
Orang-orang datang berkunjung sekali lagi setelah tahu ibu sudah keluar dari rumah sakit, masih membawa oleh-oleh yang sama. Ibuku, selama hidupnya telah mengenal banyak orang yang rata-rata menjalin hubungan sangat baik dengannya. Aku tak ragu mengatakan bahwa ia adalah wanita terhormat yang sikapnya selalu baik dan manis pada siapa saja meskipun disiplinnya di rumah bisa dibilang keras. Ibuku senang mereka datang berkunjung, juga ketika murid-murid TKnya datang sambil bernyanyi dan berbaris. Pagi yang sangat manis. Saat itu ibu masih bisa berdiri dan berjalan. Ia tersenyum melihat anak-anak kecil itu membuka bekal mereka lalu makan bersama di beranda depan rumah kami. Senyum ibuku, senyum bahagia.
Tuhan telah menata jalanNya. Kami sudah berusaha semampu yang kami bisa meskipun dalam kesederhanaan. Namun tak ada yang mampu mencegah waktu yang datang untuk membuat ibu tak mampu lagi bangun dari ranjang. Menyedihkan. Itu membuatku teringat pada kunjungan-kunjungan terakhirnya ke rumah kos ku di kota tempatku kuliah. Aku selalu ingin dia menciumku dua tiga kali sebelum pulang. Ciuman saat ia masih bisa bangun adalah saat berada di rumah nenek untuk menjalani sebuah terapi pengobatan tradisional. Ia mengantarku sampai beranda depan sebelum menciumku di pipi kiri dan kanan, tanpa pernah ku kira kalau ia akan meninggalkanku selamanya. Aku selalu percaya bahwa Tuhan akan membiarkannya hidup lebih lama lagi untuk melihatku mencapai mimpiku, karena ia selalu percaya bahwa aku akan bisa jadi apapun yang ku inginkan. Ciuman itu ciuman yang tak pernah bisa ku lupakan. Ibuku, aku sungguh mencintai wanita baik hati ini, tapi kenapa aku tak bisa berbuat yang lebih baik untuknya. Dan untuk selanjutnya, aku selalu sedih jika harus mencium dia yang terbaring lemah tanpa daya di atas kasur. Mencium pipi kurus keringnya yang tinggal tulang. Apakah ciuman itu bisa menyakitinya pikirku. Jika situasi bisa lebih baik, mungkin ibu bisa mendapat obat penghilang rasa sakit.
Tuhan adalah maha pemberi kekuatan. Ia menguatkan hati kami setiap hari dan mengisinya dengan harapan-harapan baik bahwa ibu akan sembuh sepenuhnya. Bagiku pribadi, aku tahu kanker itu mengerikan, tapi aku tak pernah berpikir kalau itu bisa merenggutnya begitu cepat. Kakak perempuanku sudah ditakdirkan akan menjadi wanita kuat seperti ibu. Aku tahu, karena dia telah merawat ibuku dengan penuh kesabaran dan tanpa keluhan. Ini membuatku berpikir, mungkin seharusnya aku terminal saja semester itu agar bisa ikut merawat ibu. Namun, kurasa ibu takkan setuju. Baginya, pendidikan anak-anaknya adalah yang utama.
Satu bulan sebelum kepergiannya, tubuh ibuku hanya tinggal tulang dibalut kulit tipis. Cekungan di matanya bertambah dalam dan ia hanya makan beberapa sendok saja dari porsi hariannya. Dulu sewaktu berada di rumah sakit, ia masih bisa menghabiskan satu mangkuk buburnya yang ku suapkan. Bagaimana Tuhan bisa menguatkan dan membuatnya bertahan masih jadi misteri bagiku. Di hari-hari itu dia sering bermimpi atau kadang-kadang sedikit mengigau. Saat di rumah sakit ia pernah bercerita tentang mimpinya bertemu kakek, sosok ayah yang paling dicintainya sepanjang hidup. Kisah itu membuatku menangis diam-diam di atas ranjang di sebelah ranjangnya dan meninggalkan bekas tanda air pada kasur yang tak beralas itu.
Ibuku sangat dekat dengan kakek, seorang pria lembut dan baik hati seperti juga dirinya. Ibu selalu mengatakan kalau kakekku adalah orang yang sulit sekali mengeluhkan apa saja, pekerja keras, dan taat pada Tuhan. Ibuku adalah bayangan yang muncul dari cermin kakek setiap kali ia melihat dirinya, karena mereka begitu serupa. Kebijaksanaan kakek telah membantu ibu melewati semua fase kehidupannya dengan baik.
Semakin hari cerita ibu semakin banyak. Katanya ia berjumpa dengan orang-orang yang telah meninggalkannya di dalam mimpi. Ia juga berkata melihat taman indah di luar jendela. Apakah itu surga Tuhan untuk ibuku yang baik? Mungkin waktu baginya semakin menyempit, namun kami terus berdoa bagi kebaikan ibu tanpa putus harapan. Dan kemudian, aku tak ada di sana saat ia pergi empat bulan kemudian setelah vonisnya. Kenapa? Aku menyalahkan diri selama bertahun-tahun. Bayangan wajah ibuku yang sudah tertutup kain tak bisa ku lupakan. Aku selalu berharap bisa melakukan sesuatu.
Seumur hidup ibuku selalu jadi sosok yang tegar, juga sifat-sifat lain yang mungkin tak pernah ku lihat dalam diri saudara-saudaranya, bahkan juga nenek. Semua kerabat, kolega, serta orang-orang yang mengenalnya sangat berduka atas kepergian itu dan merasa kehilangan. Karena kebijaksanaan, kebaikan hati, dan keramahan menjadi miliknya, dan itu telah menyentuh hati mereka. Kanker itu telah mengambil jiwa ibuku, tapi bukan semangat dan kenangannya. Ibuku tetap hidup dalam prinsip-prinsip, nilai-nilai, juga cara hidup yang ia wariskan dan kami terapkan sampai hari ini. Rasa sakit serta penderitaannya membantu kami agar menjadi kuat, bahwa apapun yang terjadi, sebagai keluarga, kami harus selalu merasa saling memiliki serta menjaga satu sama lain. Aku takkan membiarkan apa yang telah terjadi padanya di masa lalu juga terjadi pada keluargaku. Aku akan menjaga mereka.
Dia yang sambil berjalan kaki pernah bilang padaku kalau ingin jadi teman anak-anaknya ketika mereka remaja, yang memeluk dan mencium anak-anaknya setelah bertengkar dengan mereka, guru yang baik bagi siapa saja, juga istri yang setia pada keluarga ini telah pergi. Pesan ibu selalu pada kami adalah agar menjunjung tinggi Tuhan, kejujuran, kerendah-hatian, dan kemurahan hati untuk memberi kepada orang lain sebagai kunci kebahagiaan hidup. Wanita yang mengajarkan bahwa sebesar apapun penderitaan, takkan pernah ada artinya dibandingkan cinta Tuhan. Bukankah sifat-sifat baik Tuhan itu terus hidup sepanjang masa? Begitulah seharusnya kita mengenang orang-orang yang meninggalkan kita, maka kanker itu sungguhnya tak pernah benar-benar bisa membuat ibuku pergi meninggalkan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar