Rabu, 18 November 2009

Soul’s part

Tak pernah ku bayangkan di masa kanak-kanakku bahwa ini akan menjadi impian seumur hidup yang paling ingin ku lakukan, melebihi semua hasratku terhadap apapun juga. Yang aku tak bisa menolaknya atau bahkan berpura-pura tidak merasakannya. Aku bersyukur dengan semua ini walaupun terasa begitu berat untuk dijalani. Karena banyak orang berkata idealismeku melambung terlampau tinggi atau bahwa aku sedang menggali sumur yang takkan pernah berair.
Rasanya sulit membayangkan bagaimana cerita-cerita bapak akan sedemikian mempengaruhi hidup dan tujuan hidupku. Aku masih ingat dengan baik bagaimana dia selalu mengantarkan anak-anaknya pergi tidur lalu menceritakan dongeng tradisional sebelum tidur. Ya, bapakku pandai mendongeng. Suatu siklus yang telah diturunkan dari nenek dan ibunya. Ia telah menceritakan kisah-kisahnya berulang-ulang kali sepanjang masa kanak-kanakku dan saudara-saudaraku. Kisah-kisah yang senantiasa membiusku dengan imajinasi yang berkeliaran. Tentang kebijaksanaan, keberanian, dan kebaikan hati. Bapak adalah wujud nyata ayah impian semua anak-anak. Dia begitu mencintai sastra meskipun tidak pernah membaca The Great Gatsby atau The Old Man and the Sea, satu-satunya novel yang dimilikinya hanyalah Tenggelamnya Kapal Van der Wick oleh Hamka dan bacaan favoritnya saat remaja yakni novel-novel koboy.
Monsoon awal-awal tahun 1990, setiap sore bapak akan duduk di atas ranjang kayu kamarku yang berderit sambil memutar radio tua kami, mencari-cari frekuensi RRI programa tiga atau saluran lainnya yang tak kalah berkerisik, bunyinya itu juga senang sekali naik turun dan timbul tenggelam, Wuuit-wuuit. Selama itu yang sering ku tangkap adalah bapak gemar mendengarkan berita tentang Perang Teluk.
“Kok perang terus sih Pak? Kapan selesainya?”, itu tanyaku di sore yang gerimis itu.
Bapak yang duduk di sebelahku lalu menjawab diplomatis “Ya, ini perang antara Irak, Kuwait sama Amerika”.
Sebenarnya itu bukan jawaban pasti yang kuharapkan, namun sebagai anak-anak aku segera melupakannya walau tak pernah mengurangi rasa kagumku pada bagaimana berita dibuat. Hingga aku tersentak menyadari perang sudah usai sepuluh tahun kemudian pada pelajaran sejarah saat aku kelas dua SMA.
Bapak menyukai opera sabun tahun 80an seperti Bill Cosby dan Full House yang pernah tayang di TVRI. Dan aku akan duduk di lantai ikut-ikutan menonton juga. Bapak menularkan banyak kebiasaannya padaku. Aku menelan apa saja yang dia lakukan; membaca, menonton, mendengarkan RRI, VOA, Deutsche Welle, BBC, Radio Australia, berkebun, bercerita dan banyak lagi. Semua orang yang dekat denganku mengenalku sebagai si gadis yang suka ngomong. Aku juga mendapatkan bakat ini dari bapak yang suka bercerita tentang apa saja hingga ingin rasanya aku menuliskan semua itu.
Tapi ada satu yang paling mengena di hatiku. Bapak terus menyukai film-film dokumenter flora dan fauna dari National Geographic. Bagiku juga mereka sangat memesona. Aku kagum dengan bagaimana film itu dikisahkan, ditulis, digambarkan, sampai dibawakan oleh naraternya. Bill Burud, aku senantiasa mengingat nama itu. Seorang pria setengah baya berkulit putih yang jadi agak tanned* karena sering disiram matahari. Berpakaian safari, Ia akan membawakan acaranya sembari mengelus-elus macan atau singa Afrika. Aku menontonnya mulai dari rambutnya berwarna hitam keabu-abuan sampai jadi putih keperakan. Kenangan yang sudah lama sekali tapi masih begitu dekat di ingatanku sampai sekarang.
Saat kelas empat SD aku tertarik membaca artikel-artikel pada majalah warna sari bapak yang banyak berisi pengetahuan umum. Dan bagian yang paling kusukai adalah banyak artikel tentang putri Diana. Ada juga artikel tentang bom atom di Jepang, lengkap dengan gambar jamur payung raksasanya. Aku juga mulai rajin menjadi pengunjung perpustakaan sekolah untuk membaca novel-novel sastra anak-anak. Tapi sebuah buku kumpulan cerita pendek dari Enyd Blyton adalah yang paling membuatku jatuh cinta. Berisi beberapa judul cerpen yang mengajarkan kebaikan hati, mencintai binatang, serta menjaga lingkungan, selamanya bagiku mereka bukan sekedar cerita.
Aku menyukai hampir semua kisah hingga membuatku ingin menjadi bagian dari semua itu. Aku ingin terlibat di dalamnya. Aku mulai jatuh cinta pada dunia menulis. Diam-diam hatiku dirayapi obsesi ini. Tumbuh jadi gadis kecil yang menyukai pelajaran mengarang walaupun dalam pelajaran Bahasa Indonesia waktu itu jarang sekali dilakukan. Kakak perempuanku bercerita bagaimana sulitnya ulangan CAWU Bahasa Indonesia setelah berada di kelas empat, karena murid-murid diharuskan membuat karangan dari urutan gambar. Tak ku sangka dalam kecemasanku, semuanya berjalan begitu mudah. Aku tidak menemukan kesulitan pada debut menulis amatir pertamaku di tahun 1994. meskipun tulisanku hanya terbatas saat pelajaran mengarang saja.
Aku menginjak masa remaja, kelas dua SMP saat untuk pertama kalinya menulis sebuah cerita pendek tentang dua orang adik dan kakak. Sampai sekarang aku bahkan sulit percaya kalau aku telah menulisnya dalam bahasa Inggris. Dan saat ku cek bertahun-tahun kemudian ketika di bangku kuliah, ku temukan hanya sedikit sekali kesalahan grammar dan vocab yang telah ku buat. Di kelas tiga aku mulai membuat cerpen pendek berbau tema cinta monyet. Mungkin karena pengaruh majalah Aneka Yes atau Gadis Sampul yang ku baca waktu itu. Aku mencoba mengirimkannya ke Gadis Sampul, tapi aku tidak pernah menerima surat penolakan dengan pengembalian apalagi cerpen itu dimuat. Tapi ini menjadi awal dari keseriusanku untuk menggeluti menulis. Aku belum tahu bagaimana rasanya patah hati karena ditolak editor.
Masa-masa ini aku mulai senang mengurung diri di kamar sepulang sekolah. Berenang dalam hamparan kertas-kertas bekas dan buku tulis, aku mencoba mulai menulis novel. Novel pertamaku yang pertama berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Laura dengan setting masyarakat western abad 18. Ini terpengaruh dari sebuah serial klasik Canada di TVRI Road to Avonlea. Novel kedua bertema petualangan tiga sahabat semacam milik Enyd Blyton dengan Lima Sekawannya. Petualangan jadi sasaranku selanjutnya karena aku sering menonton film-film drama western anak-anak di televisi. Aku berencana menyelesaikan dua judul, tapi hanya satu judul yang selesai. Yang ketiga adalah menulis beberapa judul novel remaja, dulu belum kenal istilah teenlit. Mulai ditulis saat kelas satu SMA. Ini juga karena aku mulai suka nonton film drama remaja dan dewasa. Aku masih menyimpan buku-buku tempat aku menuliskan novel-novelku. Satu buku untuk tiap judul, dan semuanya tidak ada yang selesai. (Z.i.i.g.h.h..)
Kelas dua SMA, teman sebangkuku yang agak dibenci teman-teman sekelas waktu itu (tapi mereka tidak membenciku) suka menulis puisi. Aku yang agak melupakan hobi menulis karena harus konsentrasi pada pelajaran akibat persaingan yang ketat supaya bisa masuk peringkat sepuluh besar mendapat gairah kembali. Yang tidak pernah membuat puisi mulai menulis beberapa puisi norak. Tentunya saja yang paling penting yaitu, aku menulis beberapa judul cerpen lagi (semuanya selesai ditulis). Inspirasinya datang dari teman sebangku yang naksir teman sekelas juga (menerawang ?@!#$?%, MODE: ON, mungkin itu sebabnya dia agak dibenci). Ku anggap cerpen-cerpen itu bagus plus menarik. Tapi sayang, waktu aku kuliah keluargaku pindah rumah dan kakak perempuanku yang egois cuma ingat menyelamatkan barangnya saja (waktu itu aku kos). Alhasil naskah-naskah cerpen itu hilang tanpa jejak sampai sekarang (aku putus asa) L. Aku juga sempat menulis satu naskah drama pendek sebagai tugas pelajaran Bahasa Indonesia di kelas dua yang malah mirip iklan layanan masyarakat tentang TBC dengan hasil akhir pertunjukanku dan teman sebangku kalah PAMOR (menerawang mode ON: mungkin harus mulai memikirkan potensi jadi penulis naskah iklan layanan masyarakat). Kesempatan yang lain lagi guru Bahasa Indonesia kami menugaskan membuat naskah deskripsi di hari hujan yang kelabu. Beliau bilang inspirasi bisa datang dari mana saja, tapi tidak ku nyana, objek yang ku pilih malah lalat yang bersliweran jorok depan kelas. Kalah HEBOH dibanding teman sebangku yang menulis tentang “cowok kecengannya” (Waktu itu aku berusaha menyaingi judul anak kelas II. 5 yang menulis tentang kotoran kucing lalu menjadi naskah terbaik di kelasnya). WHAT AN UNBELIEVABLE ME!!!
Dua tahun semenjak mulai kuliah pada 2002, aku bertemu teman-teman sesama pemimpi (Izama) dan pengkhayal (Piqri) yang juga hobi menulis saat duniaku yang satu itu vakum lagi. Bersama mereka aku mulai semangat 45 menulis kembali satu judul novel yang sudah ku pikirkan selama dua tahun. Novel ini agak berbau India-Indonesia (Izama kalau baca ini pasti ketawa HAHAHA...J dan aku pasti kebanyakan nonton Shah Rukh Khan), novel ini juga belum kelar sampai sekarang plus beberapa judul novel lagi yang terkatung-katung. Hmmffh... Saking kelewat berhasratnya, aku dan dua kroniku mendirikan sebuah perkumpulan menulis amatir yang namanya secara egois ku pilih sendiri yakni Independence Ink* (teganya aku yang tak peduli apa mereka setuju atau tidak / masih ku simpan sampai sekarang karena di masa depan aku juga ingin menjalankan penerbitan sendiri dengan nama ini*). Perkumpulan amatir ini anehnya jadi seperti perkumpulan SPEW* milik Hermione Granger yang cuma beranggotakan tiga orang plus Harry dan Ron, kami juga begitu (naas). Tanpa perkembangan, tanpa uang, tanpa hasil. (Hueksz...)
Masa-masa kuliah berakhir, hidupku agak tertekan dengan status baru sebagai pengangguran. Tapi ini jadi inspirasi yang lainnya lagi. Benar, kau takkan pernah tahu apa yang bisa dibawakan waktu kepadamu. Saat-saat sulit ini membantu mengembangkan bakatku ke arah tulisan yang lebih dewasa dan berbobot. Tulisanku mulai banyak terpengaruh ide-ide filosofi kehidupan dari masalah-masalah yang sedang ku hadapi; puisi, essay, cerpen sampai artikel. Aku juga mulai menemukan gaya menulisku sendiri yang banyak dipengaruhi buku-buku yang ku baca khususnya chicken soup. Aku suka gaya ini, natural dan personal walau banyak orang bilang bahasanya kurang segar namun selalu berusaha untuk menyampaikan sesuatu dan jauh dari sifat menggurui (I keep learning). Aku ingin menulis buku semacam ini yang berisi kisah-kisah nyata inspirasional. Kadang rasa GEER pada tulisanku sendiri berkata bahwa kisah nyata dan fiksi yang ku tulis hampir tak ada bedanya. Sekarang ini menulis jadi ajang curhatku yang khas. Aku menjadi tertarik pada hal-hal yang berbau psikologi manusia dan alam serta bagaimana dua hal ini berpengaruh pada cara manusia berjalan di muka bumi. Mencontek kutipan tokoh favoritku Yulika Satria Daya, “Wanna be the agent of change!” J.
Hanya ada satu hal yang membuatku benci dengan keadaan ini, aku belum punya kedisiplinan yang cukup untuk menuntunku menjadi penulis profesional. Karena Mike Price bilang “Lebih banyak orang mempunyai bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar lebih tinggi”. Sekarang, aku harus punya disiplin itu. Jika dia tidak mengejarku sekarang juga, maka aku yang akan mengejarnya sampai dia lari terbirit-birit. Hoshh hoshh... DICIPLINE! COME TO MAMMA!!! Alex Haley juga bilang “Sikapmu adalah segalanya. Yakinlah kepada dirirmu sendiri dan percayalah pada materimu. Untuk menjadi penulis berhasil, menulislah setiap hari entah kau menginginkannya atau tidak. Jangan pernah putus asa, dan dunia akan memberimu anugerah yang melampaui impianmu yang paling mustahil”. (Arrggghh... aku bahkan belum pernah baca tulisan dua orang ini kecuali kutipannya di Chicken Soup :P, tapi aku percaya ini). Suatu hari aku harus mencari tahu lebih banyak tentang tulisan mereka.
Melakukan ini membuatku belajar melihat berbagai hal secara unik. Setiap saat selalu ada beragam hal sebagai inspirasi untuk dikisahkan, untuk dijadikan artikel, essay, cerpen, novel, atau karya ilmiah. Tak peduli pakah itu topik berat sampai yang paling tidak penting (semuanya penting!). Tulisan membantuku mengungkapkan hal-hal yang tak pernah ku katakan secara verbal atau ku tunjukkan lewat tindakan. Ada satu hal yang paling berharga adalah bercerita tentang bapak lewat tulisan membuatku tahu betapa besar rasa sayangku untuknya, sesuatu yang tak sanggup ku sampaikan lewat cara lainnya. Tulisanku sendiri maupun tulisan-tulisan orang lain membantuku melewati masa-masa sulit, membagi kebahagiaan, mengungkapkan cinta, mempelajari hal-hal baru, dan mencari tahu siapa diriku. Ia adalah sesuatu yang ingin ku lakukan tanpa aku harus tahu apa alasannya. Saat-saat menulis membuatku merasa dapat melepaskan egoku pergi. Setiap hal yang ku tulis tak pernah terpikirkan untukku membuat siapapun atau apapun menjadi terpojok atau terhakimi (maafkan aku bila kau pernah merasa begitu L). Aku menulis demi tulisan itu sendiri karena memang itulah yang sedang ku pikirkan. Berharap lewat tulisan dapat berbagi dan belajar sesuatu bersama orang lain. Sewaktu mata menerawang menyambut inspirasi datang, sewaktu tangan menggenggam pena erat di atas kertas, sewaktu jari-jariku menyentuh keyboard di depan layar komputer, saat itulah aku seperti seorang pemadat candu dan tak ada yang dapat menghentikanku.
Aku menyukai caranya yang membantuku menjadi jujur pada diriku sendiri tentang setiap hal yang ku rasakan, ku lihat, dan ku dengar. Dia membuatku jatuh cinta pada banyak hal yang menjadi inspirasiku. Melihat kebesaran Tuhan, anggunnya kehidupan, serta pesona manusia adalah cara menjalani hidup yang memuaskan, terlebih lagi jika semua itu dituliskan. Tulisan mengenalkanku pada bermacam-macam dunia yang tak pernah ku tahu sebelumnya dalam ensiklopedia, memahami anugerah Tuhan sebagai surga seperti yang dituturkan dalam La Tahzan, mengajakku melihat ragam pola hidup lewat sastra. Dia membawaku berkeliling tempat-tempat asing dan mencium harumnya padang rumput Inggris musim panas di novel-novel Enyd Blyton, tamasya tur Eropa-Afrika bersama Andrea Hirata, Rowling menolongku memahami dunia sihir yang tak jauh beda dengan dunia normal, memberitahuku bahwa impian selalu mungkin seperti yang The Secret katakan, juga mengajarkan hidup itu indah lewat Chickensoup. Aku mencintai caranya mencintaiku dan mencintai caraku mencintainya. Aku masih belum begitu baik sekarang; apakah itu secara kepribadian, pekerjaan, keuangan, atau apapun, namun menulis memberiku kekuatan untuk memperbaikinya pelan-pelan -- karena tiap kali menulis, aku juga sedang menganalisa sesuatu dalam diriku sendiri.
Aku ingin berada di sini, melangkah di atasnya, dan terbang bersamanya. Ia sungguh dunia yang membuatku memandang keluar jendela lebar-lebar, merentangkan tangan, melompat dan melonjak, menangis-bahagia, tersentuh-terharu. Tahukah kau Harry Potter terbang bersamaku saat menangkap snitch pertamanya? Aku juga berlari terburu, terkesiap bersama Andrea Hirata menuruni bis saat melihat Edensor, begitu terharu seolah mimpinya adalah mimpiku juga. Di lain waktu hatiku hancur di sebelah Tonia Zhivago saat dia menulis surat perpisahan pada suaminya (Hiksz..). Tulisan adalah cermin di mana aku sering melihat diriku sendiri yang sesungguhnya, jauh dari berpura-pura.
Aku ingin berada di jalur ini dan memberi sumbangsih pada dunia lewat tulisanku. Aku bercita-cita bahwa suatu hari aku akan belajar menulis secara profesional meskipun banyak orang berkata bahwa menulis tidak perlu dipelajari dari balik beton kampus. Berada di kampus terkadang memang bisa begitu melelahkan, bagaimanapun juga inilah yang kuinginkan. Aku jatuh cinta pada bagaimana ilmu diraih lewat sekolah seperti halnya jatuh cinta pada bagaimana membuka pikiran lewat membaca. Entah kapan aku akan menempatkan diriku duduk di sebuah bangku di ruang kelas fakultas sastra Inggris dan menelan berbagai karya Shakespeare, Jean Austen, atau Ernest Hemingway. Atau bisa jadi tenggelam dalam berbagai artikel serius tentang lingkungan dan manusia untuk studiku di jurusan jurnalistik. Yang kutahu hanyalah aku akan segera berjalan ke sana. Aku akan menyelesaikan apa yang telah kumulai, dan saat ini bermimpi adalah langkah pertama yang tepat.
Sejarah manusia dimulai lewat tulisan. Tak ada yang benar-benar dapat kita hasilkan tanpa menuangkannya ke dalam tulisan. Bahkan Tuhan bicara pada kita lewat tulisan (Qolam). Karena itulah bukti kehidupan, T.U.L.I.S.A.N! Di dunia inilah aku mau menjalani hidupku. Menulis akan selalu menjadi bagian terpenting dalam jiwaku, bahkan ketika seluruh dunia luruh pada ketakmungkinan. Syukur tetap ada bersamaku karena anugerah dan bakat ini telah Ia turunkan. Biarlah terus ku gali sumur ini, sumur cita-citaku. Sampai airnya memancar keluar deras. Karena ketika momen itu datang, dia tidak hanya akan menghilangkan dahagaku saja, tapi juga dahaga orang lain.

Terima kasih buat Allah SWT yang sudah memberi anugerah sebesar ini (Thank you Allah). Bapakku tersayang yang selalu jadi inspirasi dan semangat seumur hidup yang pernah bilang kalau aku bisa menjadi penulis sambil melakukan hal yang lain (Beliau selalu menghargai cita2 seseorang). Dedeku yang memberi pengakuan sama bakatku. My very best friend Nina yang selalu mendukung minatku ini dan sudah membuktikan mimpinya sendiri. My dear friends Izama, Piqri and Sam who have the same conciousness as much as I do. Thank you to chicken soup for the writer’s soul. The last is for someone out there who has given me strenght and inspiration to keep this dream. Thank you very much. (I love <3 you all)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar