Rabu, 18 November 2009

Ngateno

Ngateno’

Ngateno’, remaja tanggung limabelas tahun. Termanis di kelasnya walau bukan yang tertampan. Kalau bukan karena sepeda tua itu, tak ada yang tahu Ngateno’ hanyalah anak seorang pensiunan penyadap karet miskin, karena kulitnya yang putih terang, matanya kecil jernih serta senyumnya yang manis tipis. Setiap pagi nafasnya ngos-ngosan sambil mengayuh sepeda menuju sekolah alih-alih naik truk sekolah seperti anak kebanyakan karyawan lainnya yang lokasi rumah mereka jauh dari sekolah. Truk sekolah, memang, kau tak salah baca atau tulisan ini tak salah ketik. Bus sekolah tidak pernah ada, andaikanpun ada juga tak terlalu berguna. Jalanan tanah perkebunan tebal berdebu di musim panas dan jadi bubur di musim hujan plus permukaannya bisa membuat penumpang mana saja mabuk kepayang bila naik. Keluarganya tak punya alasan finansial apapun yang bisa menyebabkan Ngateno’ naik truk itu.
Sekolah terletak di antara dua danau kecil di sebuah bukit di balik rapatnya perkebunan karet PTPN XIII sejauh hampir duapuluh kilometer dari rumahnya. Bila sampai, dia letakkan sepeda BMX tua berkaratnya di tempat parkir sepeda. Berhenti sejenak untuk membiarkan rambutnya yang berombak berwarna kecoklatan biar di lambaikan angin sejuk yang berhembus dari arah danau di bawah sambil menegak udara banyak-banyak. Indah sekali gelombang air danau yang kemilau itu, beriak ditiup angin lembut di balik ilalang rawa yang merunduk-runduk hormat, mengedip keemasan ditimpa matahari pukul setengah delapan pagi, Ngateno’ pun serasa jadi Ceasar sehari.
Semua orang di kelasnya kenal Ngateno’ dengan sepeda bututnya, selalu berkata kalau dia bukan apa-apa, tetapi Heri Sanjaya adalah yang terhebat di sekolah. Pemuda gemuk besar dengan kacamata super tebal yang membuat matanya nampak berukuran dua kali super besar pula. Tak kalah dengan badannya. Ayahnya sesumbar pada bapakku kalau ke WC pun si Heri membawa bukunya. Tapi aku lebih kagum pada Ngateno, yang mengayuh sepeda cepat melintasi perkebunan karet pada subuh hari dan yang suka duduk-duduk di bawah pohon akasia dekat parkiran sepeda pada istirahat kedua. Ngateno’ tak pernah jajan.
Kakakku yang otaknya tidak terlalu cemerlang sekelas dengannya di kelas favorit 3 C bilang kalau sebenarnya dia lebih cerdas dari Heri, tapi sepeda butut Ngateno’ yang berkarat mengalahkan popularitas kecerdasannya. Ngateno’ tidak terkenal di kalangan murid-murid, juga tidak populer di mata guru-guru. Aneh! Semua orang terpukau pada Heri Sanjaya, putra guru pelajaran Sejarah kami. Nampaknya sudah diramalkan kalau di masa depan hidup dan karir si anak berkacamata akan gilang-gemilang.
Kalau hari minggu atau tanggal merah lainnya Ngateno’ tidak bisa santai untuk nonton Doraemon jam sembilan pagi atau Power Rangers di pukul sepuluhnya. Sehabis subuh dia sudah harus menggendong keranjang berisi puluhan mangkuk-mangkuk latex dan menjinjing ember aluminium besar yang berat menuju kebun karet untuk membantu bapaknya. Berjalan agak terhuyung-huyung ke kanan tempat keranjang mangkuk latexnya bergelayutan, menembus kabut kebun karet yang dingin lembab. Tidak ada seragam monyet, kostum kebesarannya hanyalah celana pendek hitam selutut yang kumal dan kaus oblong sewarna kulit badak yang lehernya kelewat molor, di keduanya bertaburan tumpahan-tumpahan sadapan latex cair disana-sini, baunya juga sangat luar biasa, memuakkan! Menyadap karet perlu keuletan dan kesabaran tinggi, karena musim dan cuaca bisa bikin senewen. Musim hujan datang berarti saatnya membaca gerakan dan warna awan. Terlambat dari hujan sama artinya dengan menyadap lebih siang dan hasil sedikit. Menyadap pada saat hujan turun sama saja dengan malapetaka karena latex jadi tercampur air. Musim kering datang bermakna ember pulung dan kantung uang lebih ringan. Semuanya serba ambigu di dunia ini. Begitu juga dunia Ngateno’, tertarik ke kiri dan ke kanan antara mengejar mimpi dan uang pensiunan bapaknya.
Pengumuman ujian tiba dan Ngateno’ secara tidak populer menjadi yang terbaik di angkatannya. Mereka menengokkan kepala padanya meski tak terlalu peduli, tokh Ngateno’ tidak akan meneruskan sekolahnya setelah ini. Dia bukan pemeran utama mereka karena yang dicintai hanya Heri Sanjaya. Lagi pula, apa pedulinya, dia tak sakit hati. Memang, setelah perpisahan Ngateno takkan pergi atau pulang ke mana-mana. Dia hanya kembali, kembali ke rumah tua keluarganya. Menekuni pohon-pohon karet yang senantiasa setia menunggu untuk disadap.
Bukan ongkos transport sekolah yang menghentikannya. Ngateno’ kita bisa saja mengayuh sepeda BMX tua itu sekali lagi. Tapi mungkin Ngateno’ cuma manusia biasa yang lelah dan boleh saja kalau sedikit putus asa. Ngateno mungkin juga tak tega pada senyum keriput bapaknya yang semakin renta jika ia tinggalkan. Takut pria itu suatu hari akan terjatuh tak berdaya saat sedang menyadap karet. Ia, dengan senang hati akan menggendong keranjang dan ember latex untuk menyadap, mengayuh sepeda jengki bapaknya mengantar hasil ke tempat penimbangan, setiap pagi, setiap hari. Selewat tengah hari dia akan duduk kelelahan, kepanasan, di atas tanah sambil berkipas diri dengan topi purun jeleknya, menunggu giliran. Ngateno’ tak keberatan. Ngateno’ ingin ayahnya kali itu benar-benar pensiun menyadap karet di perkebunan.


November 18th 2009

Ngateno’ was truly an exist story who was also my sister’s classmate.
I have no reason to fictional this life journey because since the first time I heard him from my sister, I’d been very touched to his life story.
I saw him those days, riding his bicycle passed on the rubber trees.
Years go on, I never saw him anymore.
There are a lot of Ngateno’ around the world whom I know them or not.
And how lucky we are who have chance to change our life.

1 komentar: