Sahabat Dede, Danan.
Danan namanya. Anak SD berumur sebelas tahun dengan kulit putih, bibir merah tebal yang selalu basah, hidung mancung besar, dan mata bulat berair. Badannya gempal, wajahnya bulat lucu, serasi benar dengan rambut tebal berombak agak kecoklatan yang menghias kepalanya. Penampilannya jauh sekali bila dibandingkan dengan Dede sahabat yang dekat di hatinya yang berfigur kurus tinggi, kulit coklat tua, dan rambut lurus kaku mengikuti gravitasi bumi.
Setiap hari bila berangkat sekolah ia akan lewat depan rumah Dede dengan menaiki sepeda BMX tua milik kakaknya yang diwariskan padanya dengan penuh rasa bangga. Mengayuh lamban sepeda yang pedalnya terlihat lebih panjang dari kaki Danan yang pendek gempal, sehingga ia harus sedikit susah payah menginjaknya. Lucu sekali melihat Danan menaiki sepeda yang memang lebih besar dari badannya layak orang yang memakai pakaian serba terlalu kecil dari ukuran tubuh mereka. Begitu juga ketika ia berusaha berhenti di depan rumah untuk menjemput Dede sebelum berangkat bersama-sama.
Dede punya tiga sahabat kental yang dekat dengannya. Orang kedua dan ketiga masing-masing adalah Upik yang secara fisik paling mirip dengannya dari mata hingga gigi kecuali rambut berombak dan kulitnya yang sedikit lebih coklat muda. Upik juga punya badan yang lebih berisi daripada Dede juga sifat paling lembut dari tiga temannya yang lain. Yang terakhir bernama Samsul. Badannya paling besar dan tegap diantara mereka berempat. Ia bahkan lebih terlihat seperti anak kelas 3 SMP daripada anak kelas enam SD. Wajah Samsul bisa dibilang tampan meskipun kulitnya berwarna coklat kusam dan pakaiannya sering terlihat paling lusuh oleh lumpur sawah dan getah pohon nira. Dan satu hal yang dapat dipelajari darinya, bahwa bila seseorang sudah berbakat punya wajah yang enak dipandang mata, memakai apapun mereka, wajahnya masih akan tetap terlihat bagus. Bahkan bagi seorang anak kampung seperti Samsul. Tak ayal lagi diantara mereka berempat Samsul jadi favorit para gadis di sekolah. Tapi Dede paling disiplin dan tegas karenanya ia terpilih menjadi ketua kelas biarpun badannya paling kurus.
Danan, Dede, Upik, dan Samsul seperti si Bolang cs. Mereka sudah bersama hampir selama enam tahun terakhir. Itupun belum dihitung dengan masa-masa di taman kanak-kanak. Rupanya masa-masa aktif Dede lebih banyak dia habiskan bersama sahabat-sahabatnya daripada dengan orang rumah. Kemana-mana selalu bersama, sekolah, bermain, sampai petualangan di sawah, mencari cacing, memancing, memetik jeruk di kebun keluarga Danan yang jauh di hutan belakang kampungnya dan macam-macam lagi. Bila tidak kemana-mana biasanya mereka suka bermain gundu atau kartu bergambar di depan rumah si Upik yang tanahnya keras dan rata. Atau bisa juga menghabiskan sore di rumah Samsul sambil memperhatikan anak itu membelah kayu bakar sementara ibunya mengaduk-aduk adonan gula aren di halaman. Dan kalau mereka beruntung bisa ngobrol dengan adik Samsul yang berada di kelas empat. Aida namanya, gadis manis berhidung mancung kecil, mata belo, rambut ikal mayang yang kulitnya sawo matang. Dia bagaikan sepotong kayu manis kualitas ekspor yang punya karakter kuat baik fisik ataupun sifat. Meskipun masih kecil, gadis itu sudah memiliki kepribadian kuat karena tempaan kehidupan.
Dede dan Upik bisa dibilang yang paling sedikit pengalamannya dengan alam dibandingkan Samsul dan Danan. Maklum saja karena mereka berdua tinggal di komplek perumahan perusahaan swasta sedangkan Samsul dan Danan tinggal di perkampungan setempat. Rumah Samsul tepat di perbatasan antara kampung dan komplek sebelah selatan. Danan tinggalnya paling jauh karena kampungnya berada di sebelah timur komplek. Seringnya untuk menuju ke rumah Danan mereka harus melewati areal perladangan dan persawahan yang cukup luas. Namun perbedaan jarak di antara mereka urung membuat anak-anak itu malas saling mengunjungi. Sekolah dasar yang cuma ada satu-satunya rupanya menjadi berkah sekaligus pengikat bagi para bolang itu.
Musim ujian nasional sudah tiba. Dede beserta teman-teman petualangnya sekarang banyak menghabiskan sore mereka kembali ke sekolahan untuk mengikuti les-les tambahan. Tapi ada satu hal yang janggal sekarang. Dengan semakin dekatnya bulan ujian maka Danan semakin jarang ke sekolah. Ia pun hampir tidak mengikuti les sama sekali. Ketiga sahabatnya dibikin bingung dengan sikapnya. Ada kala mereka mencari Danan ke rumahnya selepas waktu ashar tapi ia tidak ada. Mau tanya orang tuanya juga tidak bisa karena mereka sibuk menyawah dan meladang maka jarang dirumah kecuali petang tiba. Alhasil mereka pulang dengan tangan kosong.
“Muhammad Adenansi”, panggil ibu Chici, wali kelas mereka yang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.
“Absen Bu!” jawab Dede si ketua kelas.
“Kenapa lagi De?” tanya beliau
“Kurang tahu Bu. Gak ada pesan, gak ngirim surat”, jawab Dede tegas.
Bu guru Chici pun menggeleng pelan. Beberapa spekulasi berkelebat di benaknya tentang kelakuan murid gempalnya itu akhir-akhir ini. Ujian nasional sudah tinggal sebulan lagi. Danan absen semakin sering. Pertanyaan terakhirnya setelah bel tanda istirahat pada anak itu tentang kenapa tiga hari berturut-turut tidak masuk sekolah minggu lalu sama sekali tidak dijawab. Danan malah menjawab dengan kata “Sakit bu!” yang pendek atau cuma lewat seringai kekanakannya lantas berlari menyusul ketiga temannya yang sudah antri untuk membeli es potong. Saat ia dititipi surat panggilan untuk orang tuanya mereka tidak bisa datang. Danan beralasan bahwa surat itu sudah disampaikan tapi orang tuanya sibuk di sawah karena musim panen sudah dekat. Ada kala ia pernah mengunjungi sendiri orangtua muridnya itu tapi mereka malah menggelengkan kepala seperti pasrah terhadap anak bungsunya. Kedua orangtua itu bilang kalau Danan sangat keras kepala dan bilang mau berhenti saja sekolah karena ia sudah tergila-gila memancing. Minggu ini sudah tiga hari sejak Senin dan Selasa ia tidak masuk lagi. Kesibukannya mempersiapkan bulan-bulan ujian sekaligus ulangan kelas membuat ibu guru di sekolah kecil yang serba kekurangan ini sedikit lalai untuk lebih memperhatikan seorang Danan. Kini ia harus melakukan tindakan tegas terhadap Danan yang suka libur sendiri berselang hari yang sudah dua minggu lebih itu. Maka saat bel istirahat berbunyi pagi itu ibu Chici memanggil Dede si ketua kelas beserta dua kroninya yang lain. Ia meminta mereka menemui Danan sekali lagi. Ia pikir jika ia dan orangtuanya sudah tidak berhasil maka sahabat-sahabatnya pasti bisa membujuknya.
Rabu sore yang cerah dengan banyaknya sinar matahari menghujani mereka serta derasnya angin sawah, Dede, Upik, dan Samsul melakukan perjalanan melewati ladang dan pematang persawahan yang ranum berwarna keemasan menuju rumah Danan. Besar harapan di hati mereka kali ini bisa bertemu Danan. Samsul bahkan rela mengorbankan waktu untuk membantu ayahnya menurunkan nira demi menemui sahabatnya. Nyanyian sumbang Upik serta ayunan tongkat ranting pohon di tangan Dede menandakan keberangkatan perjalanan mereka diiringi hati yang gembira.
Saat jalanan setapak semakin melebar dan pepohonan bertambah rapat mereka telah sampai di batas kampung Danan. Di kampung ini hanya terdapat beberapa belas rumah dan terletak di pinggir sebuah sungai kecil. Tidak seperti kampung Samsul yang berada tepat di sepanjang aliran sungai besar yang mencakup puluhan rumah. Tanah gembur lunak berwarna hitam menyambut ramah langkah-langkah kaki penuh jihad mereka untuk mengembalikan sahabat yang gempal itu agar menuntut ilmu di sekolah. Upik melirik pada jam tangan plastik warna merah kebanggaannya yang menunjukkan pukul empat lewat lima menit. Ibu Danan pernah berkata bahwa anaknya akhir-akhir ini suka sekali memancing sejak pagi hingga siang dan kembali lagi mengail setelah shalat ashar. Nah, mereka berpikir harus mencegatnya lebih dulu sebelum ia berangkat.
Tepat saat Danan mulai mengenakan sandal jepit butut dan memanggul pancing di pungung, Dede, Upik, dan Samsul memergokinya. Mulut Danan mengeluarkan suara “Ahh…” panjang yang sulit dipahami sebagai arti “kena deh aku” atau “wah kebetulan, ayo mancing bareng”. Tawa khas menghiasi wajah si gempal itu. Mata bulatnya berbinar dan bibir merah tebalnya basah oleh air liur karena sekarang mereka bisa melihat lagi kebiasaannya bicara sambil tertawa yang juga memperlihatkan dua gigi kelinci besar-besar yang agak bertumpuk. Samsul menepuk punggung sahabatnya keras sementara Dede merangkul bahu yang satu.
“Mancing terus neh?” kata Samsul.
“Iya. “ggak ngajak-ngajak”, kata Dede.
“Ayolah! Kami ikut ya?” tanya Upik sedikit memaksa.
Apa daya Danan tak dapat menolaknya. Ia mengajak mereka ke pinggiran kampung yang berbatasan dengan persawahan di mana ia suka menghabiskan waktunya hampir seharian di tempat itu untuk memancing. Meskipun sudah musim panas dan burung-burung belibis beserta anak-anak mereka bersembunyi untuk sementara ini karena sedang musim dangkal, tapi air di rawa-rawa yang menghubungkan kampung-kampung mereka tidak pernah sampai kering. Jika kau memancing maka masih bisa menemui belut-belut dibalik lumpur juga ikan-ikan gabus, sepat, lais, dan anak-anaknya lalu lalang tanpa rambu-rambu lalu lintas yang pasti. Bergerak-gerak harmonis mengikuti irama dalam air. Sementara kau terhanyut dengan gerakan ikan juga kail pancingmu sendiri, angin sepoi lembut masuk lewat sela-sela rambut dan kerah baju. Kali ini pohon kasturi besar rimbun yang menyebarkan wangi khas dari kayu dan daunnya menaungi mereka. Danan mengajak Dede, Upik, dan Samsul duduk di sebuah batang pohon besar yang tumbang di pinggir rawa sebelum melemparkan mata kailnya jauh-jauh. Dede mencelupkan kedua kakinya ke air yang dingin lalu bergidik geli. Upik dengan tenang mengamati sekitarnya hingga seberkas cahaya atap seng sekolah tua mereka yang tertimpa sinar mentari berkilau di kejauhan. Akhirnya ia jadi ingat tujuan mereka.
“Dan, kenapa ‘ggak sekolah lagi. Bolos terus?” kata Upik dengan masih menatap ke atap sekolah.
“Iya, kalo lewat belakang kampungmu sini terus jalan di atas pematang kan cuma jalan sekiloan lebih dikit lah”, kata Dede. “Itu atapnya aja keliatan ujungnya”, tunjuknya semangat.
“Males ah!” jawab Danan pendek dengan sedikit rasa bersalah.
“Sebentar lagi ujian loh! Kan sayang kalo ‘ggak diterusin Dan…”, kata Samsul sambil merangkul Danan.
“‘Ggak ah, enakan di sini. Capek belajar”, tukas Danan dengan mata menerawang pada pemandangan cantik di sekelilingnya.
“Ya ampun Dan, tinggal sedikit lagi kok. Masa segitu aja nyerah. Payah,” komentar Dede.
Hati Danan seperti tersengat mendengar kata-kata para sahabatnya. “Aku lebih suka mancing, titik!” katanya polos lalu berdiri dan berjalan memeriksa lukah yang ia pasang di balik rumput rawa. Wajahnya diliputi cemberut penuh raut kekanak kanakan.
“Benar berarti yang mamak kamu bilang kalo kamu keranjingan mancing sampai lupa sekolah”, kata Samsul. Sekarang ia sudah berdiri tegap di sebelah Danan yang membungkuk menghadapi lukahnya yang kosong. Kedua tangannya mengacak pinggang tanda kejengkelan.
“Katanya kamu mau sama-sama aku sekolah di madrasah Al Husaini. Ya udah, kalo gitu aku pergi sekolahnya bareng Samsul aja”, bohong Upik.
Wajah Dede diliputi sedikit keanehan saat mendengar kata-kata Upik. Kakinya berhenti bermain-main di air. Ia tahu persis kalau Samsul akan sekolah di SMP terbuka sore hari alih-alih sekolah di madrasah. Keluarga Samsul tidak akan sanggup menyekolahkannya ke madrasah kecil lokal sekalipun karena masih harus menanggung beban delapan saudaranya yang lain, juga karena ia harus membantu orangtuanya di pagi hari. Mata Samsul bertatapan agak nanar dengan mata Upik sebelum akhirnya menelan ludahnya sendiri dengan pahit dan berkata dengan suara sedikit tercekat.
“Iya! Nanti aku naik sepeda berangkat sama-sama Upik sekolah sore di madrasah. Pamanku udah ngasih aku sepeda buat sekolah. Dede juga ‘ggak bisa lagi nemenin kamu main soalnya dia mau dikirim orangtuanya sekolah ke pesantren yang jauh dari sini”, ujar Samsul perih.
“Sepeda kamu yang mana? Yang jelek terus rantainya putus karatan itu, dikasih paman kamu”, kata Danan ketus. Sekarang hatinya diliputi kecemasan.
Wajah Samsul tiba-tiba nampak letih sendiri. Sementara dua sahabat lainnya diliputi kengerian luar biasa. Keadaan sunyi sekejap kemudian di antara mereka. Alam diam-diam meresapi sengitnya pertempuran kata-kata ini. Hanya bunyi blup-blup dan kecipak kecil air oleh gerakan ikan lewat yang terdengar. Hening bunyi kecipak ikan yang menjauh ketakutan lalu digantikan gemerisik daun-daun rumput rawa yang digoyangkan angin deras dan menjadi latar empat sahabat yang mematung dalam posisi mereka masing-masing hingga rambut-rambut mereka diterbangkan angin. Seekor bangau menyaksikan lewat kaki putih panjangnya yang bertengger di atas ranting pohong hanyut yang mencuat dari dalam air di kejauhan, membisu. Hanya seekor katak muda cuek yang melompat menyanyikan nada-nada gembiranya persis dibawah kaki Dede dan membuat keruh air. Sekeruh diamnya para sahabat ini hingga bening warna biru langit dan hijau bukit yang bercampur kuning dan kemerahannya daun-daun pohon yang menjadi landscape mereka seakan tanpa arti.
“Bener De kamu jadi mau sekolah ke pesantren yang di luar itu?” suara lirih Danan akhirnya memecah kesunyian. Hati anak berumur sebelas tahun itu sedikit terpukul. Danan merasa ia lebih dekat dengannya dari yang lain meskipun Dede sendiri merasa lebih lekat dengan Upik.
“Iya!” jawab Dede pendek. Takut jawaban panjang akan melukai hati sahabatnya itu lebih dalam.
“Ayo pulang!” kata Samsul agak sakit hati lalu melangkah cepat diikuti Dede dan Upik, mengacuhkan keinginan hati yang masih ingin duduk sejenak menikmati alam indah ini, meninggalkan Danan yang masih memegangi lukah kosongnya dengan mata menatap tanpa makna ke air tembus pandang beriak berkilauan tempat kakinya terendam. Hati kecil Danan diisi penuh dengan kesunyian dan ketakutan.
Pagi ini Dede sudah mengenakan sepatu hitamnya yang disemir bersih oleh ibu. Tas ransel juga penuh buku berisi PR yang sudah dikerjakan. Jam tangan hitamnya menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit yang artinya ia harus segera berangkat sekolah. Kali ini untuk yang ke sekian kalinya atau bahkan untuk yang terakhir kalinya tanpa suara panggilan Danan di halaman. Setelah mencium tangan ibu, Dede berlari tergesa dengan memakai sepatunya di dalam rumah karena ia sudah terlambat lima menit untuk berangkat. Kakak perempuannya yang sedang meminum susu mengernyit menyaksikan pemandangan itu.
“Ibu, Dede berangkat. Assallamualaikum!” teriaknya sembari menuruni teras depan rumah.
Di pinggir jalan seseorang sudah menunggunya dari atas sepeda butut tua, seseorang yang berbadan gempal. Bibir basah khasnya mengembangkan tawa kecil jenaka tanpa ragu. Keningnya di basahi keringat penuh semangat sebab mengayuh sepeda. Serta-merta Dede naik ke atas boncengan sepeda seperti yang biasa ia lakukan. Sahabatnya ini begitu bangga dengan sepeda tuanya sehingga Dede tak punya alasan untuk mencegah Danan yang memboncengnya. Jalan tanah penuh kerikil di komplek bergemeretak menahan beban mereka. Hari ini ibu Chici gembira melihat empat sahabat duduk bersama lagi. Persahabatan anak-anak memang tulus dan murni. Pertentangan mereka umumnya tak pernah bertahan lebih dari dua hari bahkan menit. Hari ini juga Danan memuji sepeda tua baru milik Samsul yang dibawanya ke sekolah dan sudah dicatkan warna biru oleh ayah Dede. Jam-jam istirahat mereka dipenuhi riang tawa dan antri membeli es potong lagi sekarang, mereka tidak pernah tahu bahwa saat-saat seperti itulah yang di masa mendatang akan membuat mereka masih saling merindukan dan mencari sembilan tahun kemudian meskipun sudah terpisah jarak, waktu, tempat, dan nasib.
***
Nurul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar