THE CITY PARK
Wanita akhir duapuluhan itu masih berhenti di sana. Menatap penuh arti pada sebuah tempat yang dulu semasa kecil ia kenal sebagai sebuah taman. Taman bermain dengan beberapa permainan jungkat-jangkit, ayunan, sepeda mini dan rumput hijau untuk diduduki. Tapi kini ia sudah tidak nampak lagi. Sebuah kafe dengan beberapa bangunan semi permanen dan tenda-tenda parasutnya berjajar-jajar memenuhi reruntuhan taman kecil miliknya. Kursi-kursi plastik warna hijau tua disusun ala kadarnya di bawah tenda-tenda bermotif putih biru dengan meja-meja kayu bundar berpotongan kasar di tengahnya untuk tiap-tiap empat kursi. Padu-padan semua hal itu sama sekali tidak bisa dibilang atraktif.
Ditempat yang dulu sebuah patung roket semen setinggi dua meter pernah ada itulah berdiri bangunan yang tampak bisa dikenali sebagai dapur si kafe. Di sisi-sisi yang mengelilingi patung roket itu dulu terdapat lantai semen dimana ayah dan ibunya sering duduk-duduk sambil memperhatikan dan menungguinya bermain. Dapur kafe itu sebenarnya lebih kelihatan bagai pos ronda ketimbang tempat di mana sang koki utama menunjukkan kebolehannya membuat sandwich isi selai dan jus apel atau mangga seadanya. Dinding kayunya yang separuh bagian ke atas dibuat saling-silang membentuk lubang-lubang tembus pandang dimana kau bisa melihat botol-botol minuman bersoda beragam warna serta toples-toples kaca bening berisi macam-macam buah-buahan dan sirup berjajar rapi di etalase-etalase kacanya yang berdebu. Lantai tanah berkarpet rumput hijau itu sekarang sudah jauh berkurang ditutupi jalan-jalan setapak menyilang ke kiri, ke kanan, ke segala arah terbuat dari semen berwarna kelabu yang permukaannya bermotif lingkaran-lingkaran tahun batang pohon.
Di sisi kanan taman itu dulu ada sebuah bangunan yang menyewakan sepeda untuk anak-anak. Pernah suatu hari ia minta orang tuanya meminjamkan untuknya satu dari sepeda-sepeda itu tapi karena statusnya yang disewakan maka mereka urung melakukannya. Meskipun begitu tidak lantas membuatnya kecewa karena ia masih bisa menikmati fasilitas lain yang gratis. Bermain kuda-kudaan kayu berkaki pegas terbuat dari besi yang bisa bergoyang ke depan dan ke belakang juga cukup menyenangkan. Bibirnya tersenyum mengingat bagaimana dulu ia sering berebut dengan kakak perempuannya untuk bisa menaiki salah satu kuda-kudaan yang kepalanya paling bagus.
Membathin tentang apa yang dipikirkan oleh-orang-orang sekarang. Tergelitik untuk menanyakan apakah kini masih cukup banyak anak-anak yang sebahagia dirinya dulu. Apakah masih cukup luas ruang untuk mereka bergerak, bermain, dan berlarian di tengah tingkat kepadatan penduduk yang semakin bertambah setiap hari. Tempat rekreasi dimana ayah, ibu dan anak-anak bisa menghabiskan akhir pekan atau sore bersama-sama. Terbersit pula apakah para orang tua sekarang sudah terlalu sibuk bekerja hingga terlalu lelah untuk mengajak anak-anak mereka ke taman sampai akhirnya satu kesimpulan muncul di masyarakat bahwa tidak ada taman-taman kota yang hijau dan lapang untuk keluarga berekreasi bukanlah sebuah masalah.
Egoisme berpusar dalam pikirannya. Mungkin hanya dia yang terlalu mencintai taman itu karena kenangan-kenangannya yang terlalu indah, hingga ia tak rela kalau orang-orang yang memikirkan kapitalisme semata merenggut kebahagiaannya begitu saja. Taman itu yang seharusnya bisa tetap jadi bagian dari kehidupannya juga banyak anak-anak lain, mencetak momen-momen hebat dalam hidup mereka, serta menjadi salah satu kekuatan dari perkembangan dalam hidup manusia-manusia kecil kini telah beralih fungsi menjadi sebuah tempat yang bahkan kurang layak disebut sebagai kafe.
Banyak anak-anak itu mungkin tidak perlu taman dengan water boom yang memiliki pancuran air setinggi sepuluh meter dan kolam renang luas bertingkat-tingkat yang harga tiket masuknya kurang terjangkau bagi banyak orang tua biasa. Mereka hanya butuh taman dengan lapangan rumput hijau tempat di mana bisa berlari sepuasnya tanpa perlu tersandung, pohon-pohon rindang yang membuat bayangan-bayangan teduh di atas tanah agar mereka bisa duduk di saat lelah, papan seluncur, jungkat-jangkit, atau ayunan dan kuda-kudaan sederhana beserta bangku-bangku semen agar orang tua mereka bisa duduk tenang sambil mengawasi mereka bermain. Tempat yang bisa mereka kunjungi di sore hari atau setiap akhir pekan. Rekreasi yang murah lagi menyenangkan. Bukan sebuah tempat yang hanya akan mereka jangkau saat hari libur besar seperti Hari Raya atau tahun baru saja.
Waktu terus berjalan seiring berputarnya bumi di porosnya, begitu juga dengan berbagai kejadian. Selayaknya manusia dewasa, anak-anak pun butuh penyegaran atas keseharian mereka. Taman membantu mereka membentuk pikiran serta tubuh yang sehat dan dinamis. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga akan mengajarkan anak-anak akan pentingnya ikatan yang kuat antar setiap anggota keluarga disamping mendekatkan diri mereka terhadap alam dan lingkungan.
“Aku suka taman dan sering pergi ke taman. Aku mau beli tas ini buat jalan-jalan ke taman”, katanya suatu hari pada temannya Lina sambil menunjuk ke sebuah gambar tas.
“Ngapain kamu ke sana. Kok kayaknya senang banget pergi ke taman. Kamu ngecengin paman keripik ya?” seloroh Ichand, seorang teman sekampusnya yang kebetulan juga ada di sana. Pria muda lucu yang suka bercanda itu tenggelam antara rasa kagum dan heran, akan hobby salah satu temannya yang menurutnya tidak lagi umum di kalangan para gadis jaman sekarang.
“Perasaan yang suka ke taman itu J-Lo di film Wedding Planner, itupun dia ke sana buat nonton film-film hitam putih jaman dulu atau Meg Ryan pas janji ketemuan sama Tom Hanks di film You’ve got mail,” tambah Ichand lagi dengan intonasi yang dinaikkan di akhir kalimat.
“Wah, aku pikir kamu cuma nonton Final Fantasy aja bro, bukan yang lain, apalagi drama!”
Gadis itu lalu tertawa kecil yang membuat bahunya berguncang pelan. Ia lalu fokus kembali pada gambar sebuah tas lucu berbentuk baju anak-anak berwarna putih, biru, dan merah muda yang ingin ia beli pada salah satu majalah belanja yang ditawarkan Lina temannya. Hatinya tergelak bahagia membayangkan membawa tas itu untuk jalan-jalan ke taman. Mungkin Ichand benar pikirnya. Ia bisa menaruh uang dalam tas itu untuk membeli sekantung besar keripik sambil duduk di atas lantai semen keras menunggu air mancur berhenti mengalir saat petang tiba di taman kota pada akhir pekan.
Tapi taman kota itu tidak punya lapangan rumput yang luas. Yang ada hanyalah empat buah ayunan gantung karatan yang berbahaya, dua permainan jungkat-jungkit dan satu seluncuran berlantai tanah yang kalau terinjak oleh anak-anak maka sepatu dan sandal mereka jadi kotor karenanya, apalagi saat musim hujan tiba dengan pengunjung taman membludak di segala tempat. Di taman itu juga bisa ditemukan kandang-kandang kotor hewan-hewan liar seperti beberapa jenis kera pemalu yang galak, beberapa species burung menggemaskan yang nampak depresi dan sejenis reptil berwajah terintimidasi yang tidak berbahaya bila berada dalam kandang.
Bukan, bukan masalah kalau kadang-kadang kera-kera itu jadi berbahaya karena bisa dengan tiba-tiba menjambak rambutmu dari balik jeruji saat kau berada terlalu dekat dengannya untuk melempar pisang dan kacang-kacangan, lalu sedikit mencakar lenganmu ketika kau berusaha menyelamatkan diri, atau ketika burung-burung itu menjerit-jerit histeris memekakkan telinga, frustasi akan sempitnya privasi yang diberikan manusia pada mereka atau juga pada saat sang reptil bergerak-gerak gelisah dalam kandangnya. Yang menjadi masalah adalah ketika kita menjadi berbahaya bagi hewan-hewan malang itu karena telah dengan sengaja atau tidak menjadikan mereka sebagai objek olok-olok alih-alih sebagai buah dari kekaguman kita terhadap ciptaan Tuhan yang patut kita selamatkan, dengan memberi mereka tempat yang lebih layak dari sekedar kebun binatang ala kadarnya pada pojok-pojok taman kota. Hewan-hewan itu sudahlah jadi makhluk malang terabaikan tanpa ditambah minimnya kepedulian tulus dari tiap-tiap mata yang memandang dan keinginan kita untuk melestarikan mereka. Satu-satunya tempat lumayan bersih menyenangkan hanyalah taman air mancur kecil itu yang hanya menyala selama sore hari hingga sebelum adzan magrib berkumandang.
Jika pergi ke taman ia mampu melupakan masalah-masalah yang datang dalam hidupnya. Pergi ke taman menjaganya tetap bahagia dan memberinya kekuatan akan kehidupan juga salah satu cara membantu sisi psikologisnya tetap berjalan dengan seimbang. Taman membantu membentuk dirinya yang sekarang. Kebahagiaan dan kenangan akan taman menguatkan hubungan antara ia dan kedua orang tua juga saudara-saudaranya, mengobati banyak luka hati, serta mengajarkannya arti mencintai sebuah peradaban baik dari sisi manusia maupun alam. Sebelum menginjak usia duapuluhan ia tak pernah tahu jawaban dari pertanyaan seorang Ichand tentang kenapa ia suka sekali pergi ke taman kota dan begitu mencintainya. Baru disadari bahwa kebiasaan itu muncul akibat orang tuanya yang dulu sering mengajaknya ke taman. Mereka menanamkan padanya pentingnya mencintai alam, keluarga, dan kehidupan. Taman begitu berarti baginya.
Pulang ke rumah dan menceritakan pada ayahnya bahwa taman kota yang ada sekarang terlalu padat bagi wadah berkumpul semua orang. Nampaknya semua pengunjung jadi kurang leluasa bergerak dan menikmati rekreasi mereka. Berkesimpulan bahwa seharusnya ada lebih banyak taman-taman kota yang bisa jadi arena bermain, rekreasi sekaligus pendidikan bagi anak-anak dan keluarga. Jika kita peduli kita bisa memberi pilihan yang lebih baik kepada warga kota.
“Dulu bapak sama ibu sering mengajak kamu, mbak, dede ke taman yang ada di sebelah kantor polantas”, kata ayahnya bernostalgia.
Kemudian ia bercerita tentang taman bermain itu yang sekarang lahannya sudah dijadikan kafe tenda. Ayahnya berkomentar bahwa kini semakin berkurang kesadaran dari banyak kalangan untuk menyediakan tempat yang lebih luas dan baik bagi anak-anak bermain sekaligus belajar serta ruang hijau di tengah kota yang bertambah padat mengacu kepada isu pemanasan global.
“Sepertinya masih ada yang tersisa”, ujarnya pada bapak. “Ternyata tanaman bougenville berbunga merah yang dulu ada di bagian depan taman sebelah polantas itu pak, masih tumbuh. Padahal sudah duapuluh tahunan. Tanaman itu kuat sekali ya? Hebat”.
Senyumnya mengembang setelah menyelesaikan kata-kata terakhirnya. Sedikit banyak ia merasa bahagia bahwa setidaknya masih ada yang tersisa dari taman kecil cantik kesayangannya. Dalam hati berharap tidak hanya tanaman dan pohon-pohon saja yang mampu bertahan ditempa zaman tapi juga tanah-tanah lapang tempat anak-anak bermain dan berlarian. Ia ingin orang lain peduli tentang pentingnya memberi ruang bermain dan berekreasi yang sehat kepada anak-anak. Tempat di mana mereka belajar tentang arti persahabatan dan keluarga juga menghargai arti dari keberadaan sebuah kehidupan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar